Tema Utama
Refleksi 95 Tahun Nahdlatul Ulama untuk Negeri
Nahdlatul Ulama akan terus mendakwahkan wasathiyah, menjadi benteng Aswaja, dan NKRI.
Nahdlatul Ulama (NU) berdiri sejak 16 Rajab 1344 H atau bertepatan dengan 31 Januari 1926 M. Pada hari ini, jam’iyah yang dirintis oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari itu menapaki usia 95 tahun. Menjelang satu abad usianya, NU diharapkan tetap konsisten sebagai salah satu simpul kebangsaan dan keagamaan di Tanah Air.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof KH Said Aqil Siroj mengatakan, organisasi ini akan selalu berkiprah demi kemajuan umat dan bangsa. Adanya NU, lanjut dia, turut menjaga persatuan Indonesia agar tetap lestari.
“Alhamdulillah, Indonesia yang terdiri atas sekian ribu pulau, sekian ratus suku, sekian ratus bahasa, sekian macam budaya dan berbagai agama, dapat terus bersatu. Perbedaan-perbedaan itu terbingkai dalam NKRI yang bentuknya sudah final,” ujar Kiai Said kepada Republika beberapa waktu lalu.
Dalam rangka refleksi 95 tahun NU, ia mengajak segenap pihak untuk kembali merenungi ketokohan KH Hasyim Asy’ari. Pahlawan nasional yang lahir di Jombang, Jawa Timur, itu mewariskan tekad perjuangan. Pada masanya, tutur Kiai Said, Mbah Hasyim menawarkan konsep nasionalisme yang akomodatif sehingga diterima mayoritas Muslimin Indonesia. Itu tertuang dalam semboyan “hubbul wathon minal iman”, cinta tanah air adalah sebagian dari iman.
Konsep demikian menyatukan semangat berjihad di jalan Allah (fii sabilillah) dan kecintaan terhadap Tanah Air. Maka, umat Islam di Indonesia tidak pernah ragu dalam berjuang membebaskan Ibu Pertiwi dari cengkeraman kolonialisme.
Menurut Kiai Said, keadaan itu berbeda dengan kaum Muslimin di Timur Tengah pada paruh awal abad ke-20. Ia mengatakan, mereka umumnya gamang saat hendak mengikuti konsep nasionalisme.
“Apakah (nasionalisme) yang datang dari Ernest Renan (pemikir asal Prancis) yang menulis What is a Nation?, ataukah mengikuti pemikiran nasionalis Michel Aflaq (1910-1989), seorang Suriah yang beragama Kristen Ortodoks? Sementara, Khilafah waktu itu sudah tidak berdaya apa-apa,” ucap dia.
Rumusan yang digagas Mbah Hasyim juga menunjukkan hubungan keseimbangan hubungan antara agama dan negara. Melanjutkan contoh di atas, Kiai Said menjelaskan, Aflaq merupakan pendiri Partai Ba’ath yang berhaluan progresif revolusioner. Selain Ba’athisme, ada pula Ikhwanul Muslimin (IM) yang berdiri pada 1928 di Mesir.
Kiai Said mengatakan, Hassan al-Banna sebagai pendiri IM sesungguhnya berhaluan moderat dan ahlus sunnah waljama’ah (aswaja). Akan tetapi, dalam perkembangannya gerakan ini dianggap berseberangan dengan penguasa Mesir. Bahkan, seorang pengikutnya terseret dalam kasus pembunuhan terhadap seorang petinggi negara setempat.
Al-Banna kemudian menjadi target operasi oleh rezim. Sepeninggalannya, Sayyid Qutb muncul sebagai ideolog baru IM. Salah satu karyanya, Ma’alim fii Thoriq (Petunjuk Jalan yang Benar) berisi pandangan-pandangannya ekstrem. Sebagai contoh, ditegaskannya bahwa nasionalisme adalah paham jahiliyah karena berada di luar Islam.
“Saat Mbah Hasyim Asy’ari di Indonesia mengatakan nasionalisme bagian dari iman, di sana Sayyid Qutb menegaskan nasonalisme bagian dari jahiliyah,” ucap alumnus S-3 Universitas Umm al-Qura, Makkah, ini.
Gagasan hubbul wathon minal iman yang dicetuskan Mbah Hasyim menjembatani antara Islam dan kebangsaan. Seluruh elemen bangsa diajaknya untuk bersatu demi satu tujuan yang utama dan luhur. Kiai Said menegaskan, NU selalu konsisten dalam menjaga semangat persatuan yang telah dinyalakan sang pendiri jam’iyah ini.
“Jadi, teologi yang dari langit diharmoniskan dengan politik yang bersifat ijtihadiyah. Anda beragama, maka harus nasionalis atau cinta Tanah Air. Dan Anda jika nasionalis, harus beragama. Itu konsep yang luar biasa,” kata Kiai Said.
Harmoni agama-budaya
Di samping keseimbangan hubungan antara agama dan negara, NU pun berupaya membangun dan merawat harmoni antara agama dan kebudayaan. Selama tidak bertentangan dengan syariat Islam, menurut Kiai Said, tradisi dan kearifan lokal harus dihormati dan dijaga. Sebab, khazanah budaya menunjukkan jati diri bangsa.
“Kuncinya adalah, kita harmonis dengan budaya. Kecuali kalau sebuah tradisi bertentangan dengan Islam, seperti seks bebas atau minum khamr, kita tolak itu,” jelasnya.
Dalam hal ini, NU mengambil teladan dari para wali songo. Sembilan orang wali itu menyebarkan Islam di Tanah Jawa melalui pendekatan-pendekatan kultural. Dengan demikian, budaya menjadi infrastruktur agama. Hasilnya, ajaran Islam diterima luas dan diresapi mayoritas penduduk negeri.
“Agamanya menjadi kuat, budayanya pun menjadi lestari. Coba kalau cara dakwahnya bertabrakan dengan budaya lokal, tidak akan diterima (masyarakat),” katanya.
Menyambut Hari Lahir (Harlah) NU ke-95, ulama kelahiran Cirebon, Jawa Barat, ini berdoa semoga generasi Nahdliyin semakin menjadi teladan ummatan wasathan, umat yang moderat dan modern. Karakteristik itu tidak berarti meninggalkan akar tradisi. Mereka dapat melanglang buana ke berbagai negeri untuk mencari ilmu pengetahuan. Akan tetapi, jati diri itu hendaknya jangan sampai hilang.
“Generasi muda Indonesia ingin belajar ke negara-negara Arab atau Barat, silakan. Asalkan, ketika pulang ke Indonesia jangan ‘membawa’ budaya mereka, tetapi ilmu. Saya sendiri 13 tahun lebih (menempuh) studi di Arab. Begitu juga Gus Dur, Kiai Mustofa Bisri, Pak Quraish Shihab, dan lain-lain. Tapi kami membawa pulang ilmu, bukan bawa budaya (luar),” jelasnya.
Ia pun mengingatkan kalangan muda agar lebih menghargai proses. Itu pula yang dicontohkan para wali songo saat berdakwah di tengah masyarakat. Ajaran Islam disampaikan secara tahap demi tahap sehingga penduduk lokal dapat meresapi maknanya, untuk kemudian menjadi pengikut agama ini. Terbukti, Jawa dan bahkan seluruh Indonesia kini mayoritas dihuni umat Islam. Malahan, RI kemudian menjadi negara dengan populasi Muslimin terbesar di seluruh dunia.
Karena peka terhadap budaya dan tradisi yang ada, umat Islam di Nusantara pun menghargai kemajemukan. Semangat persatuan di atas perbedaan dipegang teguh seluruh warga Nahdliyin. Kiai Said mengungkapkan, para tamu dari luar negeri yang mengunjungi kantor PBNU kerap bertanya-tanya, apa resep harmoni antarelemen bangsa di Indonesia.
Tentu, bukan berarti negeri ini selalu sepi dari persoalan. Namun, kalaupun ada konflik, sifatnya tidak akan berkepanjangan. “Hanya” berupa letupan-letupan yang kemudian dapat mereda. Tidak seperti, umpamanya, di Timur Tengah.
“Mereka (para tamu dari mancanegara –Red) semua heran, NU ini mayoritas, tapi tidak radikal. Biasanya, di mana-mana yang mayoritas itu menindas minoritas. Kita justru sebaliknya, mayoritas melindungi minoritas, selama mereka juga bertujuan maslahat,” ucap peraih penghargaan Tokoh Perubahan Republika Tahun 2012 itu.
Kiai Said menyebut perlunya revitalisasi gagasan-gagasan besar yang dicetuskan para tokoh NU. Ambil contoh, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Presiden keempat RI itu menyuarakan pentingnya pribumisasi Islam sebagai strategi kebudayaan.
Dalam buku Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (2001), cucu Mbah Hasyim itu memaparkan, memang ada perbedaan antara agama dan budaya. Islam bersumber dari wahyu, memiliki norma-norma tersendiri, dan karena itu cenderung permanen. Adapun budaya merupakan kreasi atau ciptaan manusia. Karenanya, sifat budaya selalu dinamis seiring dengan perkembangan zaman.
Dengan konsep pribumisasi Islam, lanjut Kiai Said, baik agama maupun budaya tidak saling dibenturkan. Bahkan, satu sama lain saling bergandengan. Sebab, kebudayaan berperan sangat penting dalam menginternalisasi nilai-nilai Islam. Harapannya, kehidupan sosial pun dapat lebih manusiawi, kemaslahatan terasa bahkan terhadap orang-orang non-Muslim. Konsep tersebut juga sejalan dengan sifat agama ini, rahmatan lil ‘alamin.
“Agama tanpa budaya, bisa menjadi keras. Ibaratnya, robot. Kaku, tidak toleran. Sementara, budaya tanpa agama bisa menjadi sekuler,” simpulnya.
Selain pribumisasi Islam, pihaknya pun menawarkan konsep tiga jenis persaudaraan, yakni persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah Islamiyah), sesama bangsa (ukhuwah wathoniyah), dan sesama manusia (ukhuwah insaniyah). Trilogi ukhuwah itu diperkenalkan pertama kali oleh seorang tokoh NU, KH Ahmad Shiddiq (1926-1991). Dalam bahasa kini, lanjut Kiai Said, gagasan tersebut hendak menyatukan antara solidaritas umat Islam, nasionalisme, dan pluralisme—yakni penghargaan terhadap kemajemukan.
Benang merahnya terkandung dalam nama Islam sendiri, yang berasal dari istilah salam. Ketika seseorang sudah mendeklarasikan diri sebagai Muslim, maka ia harus menyebarkan keselamatan. Kalau yang terjadi justru sebaliknya, ia belumlah menyadari makna salam.
Memaknai harlah
Peringatan Hari Lahir (Harlah) NU ke-95 mengangkat tema “Khidmah NU: Menyebarkan Aswaja dan Meneguhkan Komitmen Kebangsaan.” Bagi Kiai Said, tema tersebut menjadi upaya untuk mengingatkan kembali kaum Nahdliyin akan motivasi berdirinya jam’iyah ini. Dua di antaranya adalah mempertahankan akidah Aswaja dan membangun nasionalisme.
Ia pun berharap, perayaan Harlah NU ke-95 dapat lebih dari sekadar seremonial, terlebih di tengah situasi pandemi Covid-19 seperti saat ini. Sebab, ada yang jauh lebih perlu diresapi, yakni kesadaran membangun dan merawat jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah.
Tahun berganti tahun, setiap tantangan harus diantisipasi dan dihadapi. Dunia semakin disruptif dan kompetitif. Karena itu, NU harus terus maju. “Kalah-menang, itu urusan nanti, tapi kita harus hadapi. Apalagi, di era IT atau era medsos ini. Tantangan lebih berat sekali,” ucapnya.
Ia menginginkan lapis-lapis generasi muda di NU—apakah itu dari kalangan milenial, Generasi Z, atau Generasi X—bahu membahu dalam membesarkan organisasi ini. Jangan sampai Aswaja yang sekarang menjadi arus utama (mainstream) di Tanah Air justru kemudian tergerus oleh paham-paham transnasional yang abai kebangsaan dan kemajemukan.
Prinsip dan praktik-praktik keislaman yang moderat mesti selalu dikawal. Semangat untuk menguatkan moderasi dan berpikiran modern, itulah yang harus terus diperbarui.
“Generasi NU agar semakin lebih baik lagi untuk menjadi ummatan wasathan, umat yang moderat dan modern, serta mampu berperan sampai hari akhir hayatnya!” tutup dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.