Fatwa
Lahan tanpa Ahli Waris, Bagaimana Hukumnya?
Apakah boleh seseorang yang bukan ahli waris berinisiatif mengelola dan memanfaatkan lahan yang terbengkalai?
OLEH ANDRIAN SAPUTRA
Sering kali kita menjumpai lahan yang terbengkalai karena pemiliknya menghilang tanpa informasi yang jelas tentang keberadaannya atau lahan tersebut terbengkalai karena pemiliknya meninggal. Sementara pemilik lahan pun tak meninggalkan wasiat serta tak ada ahli waris yang dapat meneruskan kepemilikan lahan tersebut.
Lantas, bagaimana status lahan yang seperti itu? Dalam kondisi tersebut apakah boleh seseorang yang bukan ahli waris berinisiatif mengelola dan memanfaatkan lahan yang terbengkalai sejak lama itu? Apakah lahan itu bisa menjadi lahan wakaf untuk kemaslahatan umat?
Ketua Divisi Humas Sosialisasi dan Literasi dari Badan Wakaf Indonesia (BWI) Ustaz Atabik Luthfi memberikan penjelasan berkaitan dengan status lahan yang terbengkalai karena pemiliknya meninggal atau menghilang sejak lama tanpa diketahui informasi keberadaannya. Ustaz Atabik menjelaskan, dalam Islam setiap bentuk harta bergerak atau tidak bergerak seperti tanah yang menjadi peninggalan orang yang meninggal, statusnya menjadi hak ahli waris. Sebagaimana keterangan Alquran yang dapat ditemukan pada surah an-Nisa ayat 7 dan 11-12.
Ahli waris pokok sendiri, di antaranya dari pihak laki-kaki yang berhak mendapatkan harta waris adalah anak laki-laki, cucu laki-laki, sampai ke atas dari garis anak laki-laki, ayah, kakek sampai ke atas garis ayah, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, saudara laki-laki seibu, anak laki-laki saudara kandung sampai ke bawah, anak laki-laki saudara seayah sampai ke bawah, paman kandung, paman seayah, anak paman kandung sampai ke bawah, anak paman seayah sampai ke bawah, dan suami.
Sementara itu, ahli waris dari perempuan adalah anak perempuan, cucu perempuan sampai ke bawah dari anak laki-laki, ibu, nenek sampai ke atas dari garis ibu, nenek sampai ke atas dari garis ayah, saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan istri.
Dengan adanya hukum tersebut, menurut ustaz Atabik, seseorang atau pun nazir wakaf --baik nazir individu maupun lembaga-- yakni pihak mengelola atau memanfaatkan lahan yang ditinggalkan pemiliknya maka harus terlebih dulu menemui ahli waris dan meminta izin untuk mengelola lahan yang terbengkalai tersebut.
Mendapatkan izin dari ahli waris sangat penting agar tidak terjadi sengketa di tengah perjalanan pengelolaan wakaf.
Menurut Ustaz Atabik, mendapatkan izin dari ahli waris sangat penting agar tidak terjadi sengketa di tengah perjalanan pengelolaan wakaf. Agar lahan yang terbengkalai dapat dikelola nazir, perlu adanya akta ikrar wakaf (AIW)di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat untuk mengurus wakaf lahan atau benda tak bergerak.
Karenanya perlu dicari ahli waris dengan mencari data di Kelurahan tentang status tanah tersebut.Jangan sampai tujuan yang mulia, namun tidak mengindahkan ketentuan yang berlaku, kata Ustaz Atabik kepada Republika, beberapa hari lalu.
Karena itu, seseorang yang bukan ahli waris tidak boleh begitu saja mengelola lahan terbengkalai, meskipun bertujuan untuk menghidupkan lahan tersebut agar bisa dimanfaatkan. Ustaz Atabik menjelaskan, dalam ushul fikih terdapat kaidah al-ghayatu laa tubarrirul wasilah, yakni tujuan tidak boleh menghalalkan cara.
Dalam hadis Umar RA jelas bahwa pengelolaan wakaf atas inisiatif wakif atau ahli warisnya, sehingga tanah terbiar itu tidak otomatis menjadi tanah wakaf. "Tugas nazir dalam pengelolaan wakaf dapat dijalankan manakala sudah clear status tanah dari berbagai aspeknya," kata Ustaz Atabik.
Tugas nazir dalam pengelolaan wakaf dapat dijalankan manakala sudah clear status tanah dari berbagai aspeknya.
Namun, bagaimana bila upaya maksimal untuk mencari keberadaan ahli waris telah dilakukan dan mendapati informasi yang kuat bahwa pemilik lahan tersebut benar-benar tidak memiliki ahli waris? Apakah lahan tersebut masih bisa menjadi tanah wakaf?
Menurut Ustaz Atabik, bila kondisi tanah tidak bertuan dan tidak diketahui pemiliknya, menjadi kewenangan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Program wakaf baru bisa dilaksanakan bila ada surat keterangan kejelasan status tanahnya.
"Persoalan status tanah yang tidak bertuan atau tidak diketahui pemiliknya, menjadi ranah kementerian ATR/BPN, jika ada SK tentang kejelasan status tanah tersebut, program wakaf bisa diselenggarakan. Karena persyaratan wakaf tanah adalah kepemilikan penuh individu atau lembaga yang dipindahkan menjadi kepemilikan umat," kata dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.