Opini
Sakralitas Wakaf di Negara Turki
Selama masa Turki Utsmani, wakaf berperan penting membangun struktur ekonomi negara.
HENRI SHALAHUDDIN, Dosen Pascasarjana UNIDA Gontor dan Peneliti Senior INSISTS
Islam sangat mementingkan karya-karya di bidang amal sosial untuk memelihara kedamaian dan solidaritas dalam masyarakat. Wakaf menjadi salah satu sarana ibadah terpenting untuk mendistribusikan kekayaan pribadi demi maslahat orang banyak. Fungsi dan peran wakaf telah dilestarikan sejak generasi awal Islam, dan telah memainkan peran kunci sebagai sebuah institusi dalam memenuhi kebutuhan di hampir setiap bidang kehidupan sosial dan ekonomi.
Bantuan sosial dan kerja-kerja philanthropist dalam Islam telah dilembagakan melalui sistem wakaf. Wakaf juga memiliki fungsi mengubah tabungan menjadi investasi, dimana umat Islam mendirikan “Wakaf Tunai” untuk tujuan ini (Prof. Mehmet Bulut: 2016). Bagaimana Turki Utsmani sukses membangun negaranya berbasis wakaf? Apa faktor utama yang membuat masyarakatnya mudah diajak berwakaf oleh pemerintah Turki Utsmani kala itu? Artikel ini adalah uraian kesan singkat penulis selama setahun melihat langsung beberapa aset wakaf Turki Utsmani di daratan Asia dan Eropa.
Fakta wakaf Turki Utsmani
Selama masa pemerintahan Turki Utsmani (± 633 tahun), wakaf memainkan peran penting dalam membangun struktur ekonomi negara. Lembaga-lembaga wakaf menyediakan banyak layanan sosial untuk masyarakat apalagi ketika negara dalam kondisi sulit. Misalnya:(i) pembangunan infrastruktur kota, seperti saluran air, jalan, jembatan, trotoar, dll., (ii) layanan pendidikan seperti mendirikan universitas (madresedan darülfünun), perpustakaan, kulliye (kompleks bangunan yang berpusat pada masjid dan dikelilingi lembaga pendidikan, rumah sakit, dapur umum, toko roti, pemandian, dan berbagai layanan sosial lainnya), dll., (iii) layanan kesehatan, (iv) sarana keagamaan seperti masjid, musalla, pondok, dll., (v) sarana perdagangan dan ekonomi seperti han (penginapan untuk pelancong atau pedagang), karavan (penginapan di jalur perdagangan), bazaar, dll. Semua fasilitas publik tersebut dapat diakses secara gratis oleh siapa pun.
Lembaga-lembaga wakaf yang berdiri di berbagai penjuru wilayah Utsmani dikelola semaksimal mungkin untuk mewujudkan segala bentuk amal sosial di semua lini kehidupan. Sebagai contoh wakaf pasar Kozahan yang hasil pengelolaannya digunakan untuk mendanai operasional Masjid Ulucamii Bursa (1399). Bahkan ada hasil unit usaha wakaf yang fokus menyediakan pelayanan perlengkapan malam pertama bagi pengantin baru, mainan anak-anak, hingga wakaf untuk burung, mengurus kucing dan anjing. Maka tidak berlebihan jika peneliti Barat menyatakan, "Sesungguhnya Islam telah menjadikan masyarakat Turki sebagai bangsa yang lebih terpercaya di muka bumi". (Harits al-'Abbasi: 2018)
Sultan kedua Turki Utsmani, Orhan (1326-1362 M), dikenal sebagai sultan pertama yang menciptakan sistem pengembangan wakaf dengan mengintegrasikannya antara pertumbuhan ekonomi dan kebijakan politik. Misalnya, ketika Sultan Orhan memerintahkan membangun medrese di Iznik (Nicaea), beliau mewakafkan tanah dan aset tidak bergerak untuk mendanai biaya operasional medrese, kemudian diikuti dengan wakaf aset lainnya yang hasil pengelolaannya untuk bermacam-macam keperluan sosial, dll.Dengan demikian lembaga wakaf menjadi lembaga konglomerasi di Turki Utsmani yang mempunyai proyek-proyek jangka panjang maupun pendek.
Faktor keberhasilan Wakaf
Masyarakat Turki Utsmani mempunyai pondasi kesadaran beragama yang tinggi, khususnya tentang wakaf dan budaya memberi. Di samping itu, ada beberapa faktor utama keberhasilan wakaf untuk membangun negara, antara lain:(a) tingkat kepercayaan masyarakat Turki Utsmani yang tinggi pada pemerintah. Kepercayaan ini tumbuh karena adanya (b) keteladanan dari Sultan dan keluarga istana yang menjadi contoh dalam mewakafkan harta mereka untuk digunakan dalam bentuk amal sosial khusus yang ditentukan oleh lembaga wakaf yang mereka dirikan. Keteladanan ini kemudian diikuti sadrazam (perdana menteri), para pejabat tinggi, bureaucrats, dan masyarakat umum.
Faktor (c) konsistensi Sultan dalam menjalankan pemerintahan yang adil juga sangat menguatkan kepercayaan rakyat. Sultan tidak segan-segan menghukum pejabat negara yang berkhianat, zalim dan korup, baik dengan pemecatan, penjara hingga hukuman mati. Bahkan Sultan Suleiman yang merupakan sultan terkuat Daulah Utsmaniyyah harus tunduk pada fatwa şeyhülislam Ebussuud Efendi untuk menghukum mati putra beliau, Şehzade Mustafa, karena terlibat tindak khianat dan merugikan negara. (Prof. Ahmed Akgunduz: 2011)
Di samping faktor keteladanan, ada faktor (d) profesionalisme (itqan) dalam pengelolaan harta wakaf dandiawasi langsung oleh nazir, sehingga manfaat wakaf terus berkembang dan bertahan selama mungkin. (e) faktor keamanan aset yang diwakafkan benar-benar dijamin negara. Ini bisa dilihat dari dokumentasi akta wakaf yang terjaga selama berabad-abad di berbagai kantor mahkamah Daulah Utsmaniyyah. Manuskrip tentang akta wakaf masjid Ayasofya, masjid Fatih, darüzziyafe (hotel) dan imaret (public kitchen) Sultan Suleiman, dan berbagai wakaf lintas zaman dikawasan Yunani, Makedonia, Edirne, Tekirdağ, Kırklareli, Ciprus dan wilayah lainnya hingga kini tersimpan rapi.
Termasuk wakaf tunai di provinsi Balkan dan Rumelia dari awal abad XVI sampai dekade pertama abad XX yang saat itu termasuk wilayah Turki Utsmani tersimpan di Direktorat Jenderal Wakaf Turki. Dalam akta wakaf tersebut diinformasikan secara spesifik nama pewakaf, nazir, jenis aset, bidang yang dituju, honor pengelola, dll.
Faktor (f) kesakralan harta wakaf. Istilah “wakaf” bagi Muslim Turki adalah sakral, dan membawa pada ketenangan, dan tidak mungkin diganti dengan nama lainnya. Pada tahun 1926, rezim republik sekular Turki pernah mengganti nama wakaf dengan nama “Ta’sis”. Pengubahan nama “wakaf” selama 41 tahun (1926-1967) berdampak pada merosotnya minat masyarakat beramal (vakıf).
Akhirnya nama wakaf dikembalikan dalam UU sipil pada 13 Juli 1967. Pengembalian nama wakaf ini langsung menarik masyarakat kembali berwakaf. Setidaknya dalamrentang waktu 10 tahun sejak dikembalikannya nama “Wakaf”(1967-1977) jumlah pewakaf jauh melampaui periode nama “Ta’sis”selama 41 tahun.
Ini dimaklumi karena Muslim Turki tidak mau mengorbankan hartanya hanya untuk negara tanpa landasan agama. Bahkan banyak kalangan Barat mengamati dengan penuh heran bahwa ternyata kaum Muslimin Turki mau menjadikan nyawa mereka sebagai tebusan dalam menjaga aset wakaf jika ada yang mau merampasnya. Namun pembelaan mati-matian ini justru tidak terjadi jika ada yang mau merampas harta milik pribadi mereka. Oleh karena itu, mereka selalu mendokumentasikan aset wakaf secara tertulis dan membentenginya. (Ahmet Akgünduz: 2014)
Wakaf punya peran besar dalam membangun negara, menaikkan taraf kesejahteraan sosial dan standard of living masyarakat Utsmani selama lebih dari 6 abad. Tradisi wakaf telah menjadi salah satu pondasi terpenting dalam peradaban Daulah Utsmaniyyah. Di masanya, lembaga-lembaga wakaf mendirikan pusat-pusat perniagaan, supermarket, dan unit-unit usaha perekonomian untuk mendanai bermacam-macam amal usaha yang menjadi spesifikasi setiap lembaga wakaf.
Dengan pengelolaan aset-aset produktif yang rapi dan disiplin, lembaga-lembaga wakaf ini mampu membangun berbagai bentuk amal sosial. Lembaga-lembaga wakaf Turki Utsmani juga berkonstribusi dalam mengembangkan seni kaligrafi, dekorasi, seni melapisi dengan emas (gilding), seni melukis di atas air (paper marbling), seni menjilid, folklore, dll sehingga khazanah kesenian berkembang pesat.
Singkatnya, lembaga-lembaga wakaf tidak menyisakan satu pun jenis amal sosial melainkan menjadi lahan garapannya; dan tidak meninggalkan satu pun daerah dalam wilayah Daulah Utsmaniyyah kecuali lembaga wakaf telah masuk kedalamnya dan memberikan pelayanan amal sosialnya. Bahkan hingga di masa-masa krisis di internal negeri Utsmani maupun krisis internasional dan kawasan di sekitarnya, pelayanan lembaga wakaf tetap berjalan.
Keberhasilan membangun negara berbasis wakaf tidak luput dari beberapa faktor utamanya, di antaranya: tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi kepada pemerintah, keteladanan berwakaf dari sultan, keluarga istana dan pejabat tinggi negara, konsistensi sultan dalam menjalankan pemerintahan yang adil, profesionalisme (itqan) dalam pengelolaan harta wakaf, keamanan aset wakaf dijamin negara, dan kesakralan harta wakaf.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.