Oni Sahroni | Daan Yahya | Republika

Konsultasi Syariah

Suami-Istri Cerai, Siapa Harus Menafkahi Anak?

Nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah selama masa iddah, setelah selesai masa iddah, atau setelah si ibu menikah lagi.

DIASUH OLEH DR ONI SAHRONI, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb. Seorang suami bercerai dengan istrinya dan meninggalkan anak-anak kandungnya yang masih kecil. Setelah bercerai siapa yang wajib menafkahi anak-anak tersebut? Bagaimana tuntunan syariah terkait nafkah anak setelah orang tuanya bercerai? Mohon penjelasan Ustaz! -- Apriyani, Bogor

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah selama masa iddah, setelah selesai masa iddah, atau setelah si ibu menikah lagi. Nafkah tersebut mencakup seluruh kebutuhan anak sesuai kelaziman dan kemampuan ayah. Dalam praktiknya, musyawarah dengan mantan istri itu menjadi salah satu pilihan. Kesimpulan ini bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut.

Pertama, nafkah anak menjadi tanggung jawab si ayah baik selama masa iddah ataupun setelah selesai masa iddah ataupun setelah mantan istri menikah lagi. Seluruh ulama sepakat bahwa saat ia mentalak istrinya dan meninggalkan anak-anak yang masih kecil, maka biaya (nafkah) anak-anak tersebut itu menjadi kewajiban si ayah. Ketentuan itu baik si istri dalam kondisi berkecukupan atau tidak.

Lebih lanjut Syekh ‘Athiyah Shaqr menegaskan, “Jika suami memiliki anak dari istri yang diceraikan dan istri yang mengasuhnya, maka suami menyediakan nafkah terhadap anaknya, baik anak-anak tersebut bersamanya ataupun tidak.” (Maushuat al-Usrah, 6/353).

 

 

Walaupun nafkah tersebut menjadi kewajiban ayah, tetapi berapa besarannya itu didasarkan pada kelaziman dan kemampuan suami.

 

 

Sebagaimana dijelaskan regulasi terkait, “Dalam hal terjadinya perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Sedangkan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.” (Kompilasi Hukum Islam, pasal 105).

Begitu pula dijelaskankan dalam undang-undang, “Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya”. (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

Kedua, walaupun nafkah tersebut menjadi kewajiban ayah, tetapi berapa besarannya itu didasarkan pada kelaziman dan kemampuan suami. Di antara kebutuhan asasi setiap anak adalah biaya tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, dan sejenisnya. Sebagaimana firman Allah SWT, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya....”. (QS. AT-Talaq : 7).

Hal itu juga sesuai analogi besaran nafkah tersebut terhadap besaran nafkah istri, sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW, “Dan hak mereka (istri-istri) atas kalian adalah menafkahi mereka dan menyandangi mereka dengan cara-cara yang baik”. (HR. Muslim).

Ketiga, musyawarah pembagian tugas. Dalam praktiknya, musyawarah dengan mantan istri itu menjadi salah satu pilihan. Misalnya, ibu fokus dengan pembinaan anak tersebut sedangkan seluruh biaya anak tersebut itu menjadi tanggung jawab ayah (mantan suami).

Begitu pula dengan besaran nafkahnya, maka musyawarah antara ayah dan ibu untuk menentukan berapa kebutuhan finansial anak itu menjadi adab terbaik.

Keempat, saat ayah enggan memberikan nafkah anak, maka pengadilan berhak untuk mewajibkan kepadanya. Sebagaimana ditegaskan regulasi terkait, “Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.” (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

Hal ini juga senada dengan beberapa penjelasan ahli fikih yang menyiratkan kewajiban tersebut yaitu penjelasan Ibnu Qudamah, “Kewajiban untuk menyusui anak itu kewajiban seorang ayah, dan ia tidak bisa memaksa si ibu untuk menyusuinya saat ia diceraikan. Kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dalam masalah ini”. (Al-Mughni; 11/430).

Begitu juga dengan penjelasan Ibnu Taimiyah, “Sesungguhya upah menyusui itu menjadi hak si ibu sebagaimana kesepakatan para ulama”. (Al-Fatawa al-Kubra, 3/347). Wallahu a’lam.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat