Hiwar
KH Ahmad Bahauddin Nursalim, Cara Ulama Ajarkan Kearifan
KH Bahauddin Nursalim mengkhidmahkan hidupnya untuk mengajarkan kitab turos, tradisi yang semakin ditinggalkan umat Islam.
OLEH MUHYIDDIN
Dalam kamus bahasa Indonesia, kata arif disepadankan maknanya dengan bijaksana, berilmu, paham, dan mengerti. Pada faktanya, sifat arif cukup sukar ditunjukkan setiap orang. Menurut KH Ahmad Bahauddin Nursalim, betapapun sulitnya dilaksanakan, kearifan mesti terus diupayakan, baik dalam diri individual maupun kolektif Muslimin.
Ulama muda yang akrab disapa Gus Baha’ itu mengatakan, kearifan berkelindan dengan kemauan untuk terus berintrospeksi. Sebab, langkah awal untuk memiliki sifat arif ialah tidak memandang diri sendiri lebih baik daripada orang lain. Dalam konteks yang lebih luas, sifat tersebut pun dapat membimbing bangsa dan umat dalam membangun masa depan yang lebih gemilang.
Mubaligh asal Rembang, Jawa Tengah, itu mengutip pandangan Ibnu Atha'illah as-Sakandari, sang penulis kitab al-Hikam. Dikatakan bahwa muhasabah ternyata tidak hanya mengevaluasi hal-hal yang jelek, tetapi juga kebaikan. “Muhasabah itu, kata (penulis) kitab al-Hikam, harus mengevaluasi bahkan dalam hal-hal yang baik,” ujar pakar ilmu tafsir Alquran itu.
Bagaimana memahami makna sifat arif, sesuai tuntunan Islam? Apa saja pelajaran yang bisa dipetik dari orang-orang alim terdahulu ihwal kearifan dalam kehidupan? Berikut petikan ceramah salah satu santri kebanggaan almarhum KH Maimoen Zubair (Mbah Moen) itu yang disampaikan dalam acara bertajuk “Musahabah dan Munajat Kebangsaan.” Acara yang digelar secara virtual oleh Universitas Ivet Semarang itu diikuti wartawan Republika, Muhyiddin, beberapa waktu lalu.
Mengapa kearifan penting dalam kehidupan?
Kearifan ini penting. Saya beri contoh (kisah) tentang seorang preman. Jadi, ketika Nabi Isa jalan-jalan dengan al-hawariyyun (murid-murid Nabi Isa), preman ini spontan ingin bergabung bersama.
Tetapi, al-hawariyyun tersebut mempercepat langkahnya karena tidak mau sejajar dengan preman. Sedangkan, si Preman memperlambat jalannya karena tidak ingin setara dengan muridnya Nabi Isa. Dia merasa tidak pantas berjalan berdampingan dengan orang saleh.
Saat itu juga, Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Isa, “Wahai Isa, katakan kepada santri kamu itu yang hawariyyun, semua kebaikannya Saya hapus. Dan, bilang sama yang preman itu, semua keburukannya Saya hapus.” Jadi, yang al-hawariyyun itu dihapus kebaikannya karena dirinya angkuh. Sementara, yang preman dihapus kejelekannya karena tawadhu. Kata Allah, keduanya harus memulai dari nol lagi untuk menjadi orang baik.
Berangkat dari cerita-cerita seperti ini (dari) kitab Ihya Ulumuddin, saya menyaksikan sendiri bagaimana guru saya KH Maimoen Zubair atau bapak saya. Mereka mengajarkan bahwa bertetangga dengan siapapun tidak masalah. Sebab, ada orang yang sedang fasik atau sedang jadi preman. (Kondisi) itu dibahasakan sedang, artinya tidak ada jaminan bahwa dia akan berakhir dengan sifat seperti itu.
Bagaimana sebaiknya kearifan diajarkan?
Yang menjadi ciri khas persantren atau ulama adalah berpesan bahwa berbuat baik kepada orang lain itu gampang. Gampangnya itu dimulai dengan (keyakinan) bahwa dengan berbuat baik, kita akan mendapatkan pahala. Kemudian, diajarkan dengan cara tawadhu atau tidak merasa benar sendiri. Tidak merasa superior sendiri. Tidak merasa paling top sendiri.
Dalam realitasnya, metode itu mungkin tak mudah dilakukan?
Ada beberapa paradoks yang mungkin bisa menjadi pelajaran kita. Barangkali, di antara kita ada yang menjadi doktor, profesor, kiai alim, atau pengusaha top. Namun, seringnya orang tua mereka itu tidak tamat sekolah SD atau SMP. Jadi, orang tua yang awam bisa menjadikan anaknya alim sebagai doktor atau kiai. Sedangkan, yang (bergelar) doktor, mungkin karena hidupnya mapan atau jabatan mentereng, mendidik anaknya itu susah. Pertanyaannya: yang pintar itu siapa? Maka di sinilah orang harus berlatih kearifan.
Yang menggerakkan orang-orang dulu itu adalah kearifan. Sehingga orang itu bawaannya sudah bijak. Meskipun mereka mengalami masalah apa pun, tetap bijak. Contoh, ketika tidak mempunyai uang, mereka tetap mempunyai harapan.
Tapi, kalau sekarang, belum-belum (uang) sudah ditabung, diasuransikan. Kepercayaan kepada materi itu luar biasa. Seakan-akan, bergantung pada materi. Sementara, kita yang menekuni dunia ulama atau dunia fikih kemudian belajar bahwa orang-orang top itu sebenarnya dilahirkan dari kearifan, bukan hal-hal yang bersifat materiel.
Orang mungkin sudah ingin bersikap arif, tetapi kemudian dipandang berbeda. Bagaimana bila begitu?
Dalam kitab (tasawuf) al-Hikam diajukan pertanyaan, manusia itu apa? Penulisnya (Ibnu Atha'illah as-Sakandari) menjelaskan, manusia itu orang yang saat baik saja masih ada jeleknya, apalagi saat jelek. Kitab itu juga memberikan suatu pemikiran besar bahwa yang kita kira baik itu tidak mesti selalu baik.
Ibaratnya, kita mau bikin toko besar di daerah-daerah tertinggal. Niatnya baik supaya daerah itu maju dan pasokan kebutuhannya terpenuhi. Namun, yang warung-warung kecil menjadi terancam.
Misalnya lagi, kiai-kiai kecil itu. Mereka kan lakunya di acara-acara kecil. Jika kemudian kiai besarnya datang, pasti kiai-kiai kecil itu tidak laku. Ketika ada seminar di SMP, yang datang adalah rektor. Maka narasumber yang kecil-kecil menjadi tidak laku. Jadi, di balik kedatangan orang yang niatnya merakyat justru menutup orang-orang yang seharusnya bisa menjadi aktor di situ. Itulah pentingnya muhasabah.
Seperti apa muhasabah yang Anda maksud?
Dulu, bapak saya sering guyon, kalau ada orang yang menjadi imam masjid terus sampai tuanya, maka imam itu biasanya sering dipuji orang-orang lantaran istikamahnya. Padahal, kata bapak saya, gara-gara dia istikamah, maka tidak ada kader. Jadi, di balik istikamahnya itu sebetulnya membuat kader lain tidak berani menjadi imam. Akhirnya, tidak ada kaderisasi. Tapi, kalau misalnya dia plin-plan juga dinilai kurang baik. Mosok imam kadang hadir, kadang tidak?
Orang yang terlalu mencintai istrinya juga begitu. Kalau terlalu harmonis, pasti ibunya atau saudara-saudaranya terancam. Sehingga, hubungan sosial dengan keluarganya pun menjadi kurang baik. Begitu juga dengan teman-temannya. Tapi, kalau disarankan agar tidak mesra dengan istri pun keliru.
Inilah maksudnya muhasabah. Muhasabah itu, kata (penulis) kitab al-Hikam, bahwa kita harus mengevaluasi bahkan ketika dalam hal-hal yang baik. Misalnya, ditanya, kenapa kamu mencintai istri kamu? Karena dia cantik atau baik. Sebenarnya, kalimat itu bahaya. Sebab, berarti kalau suatu saat istri sudah tua, maka dia bisa tidak mencintainya lagi.
Nah, evaluasi-evaluasi seperti ini membutuhkan muhasabah. Karena, kita bernegara sampai sebaik ini juga karena barokahnya ilmu, barokahnya tawadhu. Tawadhu itu tidak pernah memvonis bahwa kelompok lain atau orang lain lebih baik ketimbang kita.
Maknanya, hanya Allah yang berhak memberikan penilaian?
Allah SWT menetapkan status sebenarnya itu di akhir, apakah husnul khotimah atau su’ul khotimah. Banyak diceritakan orang-orang dahulu, misalnya, (kisah tentang) orang yang niatnya nyantri, tetapi tidak menjadi wali. Sebaliknya, Sunan Kalijaga yang pertama kali kenal Sunan Bonang ingin merampok atau begal, justru (Sunan Bonang) menjadi santrinya dan akhirnya wali.
Nabi SAW pernah kurang berkenan sama orang yang namanya Wahsyi bin Harb. Karena, Wahsyi itu pernah membunuh Sayyidina Hamzah, paman yang paling dicintai Nabi SAW. Sebagai manusia, Nabi SAW juga mangkel. Namun, Wahsyi justru dikasih hidayah oleh Allah. Ia menjadi Muslim dan Islamnya baik sekali.
Dulu juga ada seorang sahabat, Tsa'labah ibnu Hatib al-Anshari. Dia adalah pecinta masjid, dan sering ibadah. Namun, akhirnya dia malah menjadi orang yang tidak benar. Cerita-cerita seperti itu memang tidak bisa digeneralisasi untuk menaruh curiga terhadap orang-orang saleh. Tapi, saya pastikan bahwa cerita-cerita seperti ini melahirkan kearifan. Manusia akan selalu dalam keadaan “ketakutan” atau khawatir tidak bisa mengakhiri hidupnya dengan baik.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, bagaimana sikap arif mesti dijalankan?
Dengan bersikap arif, kita akan baik dalam bernegara. Sebab, kita tidak mungkin menstigma kelompok lain sebagai sangat buruk atau sangat berbahaya atau mengancam. Salah satu kearifan yang diajarkan kiai-kiai (adalah) tidak pernah menstigma bahwa orang lain lebih buruk ketimbang kita. Sehingga, kita nyaman saja. Nyaman berteman dengan siapa saja karena kita tidak pernah merasa lebih baik.
Dalam bahasa umumnya, itu disebut tawadhu. Ketika orang merasa lebih baik (daripada orang lain), maka akan timbul keangkuhan. Keangkuhan ini kemudian melahirkan sentimen. Sentimen ini lama-lama menjadikan (kehidupan) sosial yang tidak sehat atau bisa chaos.
Mewujudkan masyarakat dan pemimpin yang arif, mungkinkah terlaksana?
Dahulu, Rasulullah SAW pernah mengingatkan kita semua akan hak-hak bersosial. Ada tiga golongan dalam masyarakat. Pertama, orang yang mempunyai tiga hak. Karena dia pertama sebagai seorang Muslim, maka (haknya) berarti (sebagai) saudara seagama. Hak kedua (diperoleh) karena dia juga sebagai kerabat. Hak ketiga (diperoleh) karena dia sebagai orang dekat, seperti tetangga.
Kedua, orang yang mempunyai dua hak. Orang ini (tetangga) dekat dan seagama pula, tetapi tidak termasuk kerabat atau keluarga. Sedangkan yang ketiga, orang yang mempunyai satu hak saja, yaitu mereka yang tinggal dekat meskipun berbeda agama.
Sehingga, dari dulu Islam tidak pernah bermasalah ketika berteman dengan non-Muslim dan berbagai komunitas. Ketika kita bertetangga, siapapun dia punya satu hak atas kita untuk berbuat baik. Lalu, ada komunitas yang lebih besar bernama negara, baik yang bersistem republik, kerajaan maupun lain-lain. Di dalamnya, kita tetap diharuskan bersosialisasi secara baik.
Dan di dalamnya, kita hendaknya sama-sama mempunyai kearifan untuk berkawan atau bersosialisasi. Dalam kitab-kitab yang saya baca, muhasabah yang sejatinya itu dimulai dengan hal-hal seperti ini.
Memberi Lebih Baik daripada Menerima
Semaju-majunya negara-negara maju, masih lebih baik Indonesia bila mereka ternyata jauh dari syiar Islam. Hal itu disampaikan seorang ulama asal Rembang, Jawa Tengah, KH Ahmad Bahauddin Nursalim. Sosok yang akrab disapa Gus Baha’ itu mengungkapkan alasannya. Sebab, dalam pandangan Allah iman dan Islam itu lebih bernilai daripada perkara-perkara duniawi.
Maka dari itu, santri (almarhum) KH Maimoen Zubair itu mengaku kadang kala menangis terharu ketika mendengar kabar adanya orang-orang Indonesia yang giat berkontribusi untuk dakwah saat mereka merantau di negeri orang. Gus Baha mengatakan, barangkali tingkat keimanan para perantauan itu biasa-biasa saja.
Namun, melalui perannya dalam syiar Islam—seperti membangun komunitas masjid di negara minoritas Muslim dan sebagainya—itu membuat mereka lebih baik ketimbang orang yang tinggal di kampung halaman sendiri tetapi tak tergerak hatinya untuk berdakwah.
“Jadi kalau di daerah yang Islamnya sudah sehat agak-agak komplain, kerannya buntu saja sudah geger. Tapi ketika dia di daerah yang tidak ada masjid, (perantau Muslim) berikhtiar untuk bikin masjid,” ujar dai muda tersebut dalam acara bertajuk “Musahabah dan Munajat Kebangsaan” yang digelar Universitas Ivet Semarang secara virtual baru-baru ini.
Kemapanan yang berlangsung terlalu lama terkadang hanya memunculkan orang-orang yang gemar berkomplain. Bandingkanlah dengan orang-orang yang harus berjuang di luar kampung atau negerinya. Pengibaratan itu juga bisa ditarik secara lebih luas.
Gus Baha’ menuturkan, pada zaman sekarang banyak orang yang menuntut kepada negara karena merasa negara seharusnya menyediakan kemapanan. Padahal, lanjut dia, dahulu sebelum negara terbentuk, semua orang justru ingin memberikan harta dan bahkan nyawanya untuk kemerdekaan. Karena itu, ahli ilmu tafsir Alquran tersebut berpesan, semestinya di manapun dan bagaimanapun keadaan seseorang, tidak kehilangan semangat untuk ingin memberi.
Rasulullah SAW juga mengingatkan, “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” Hadis tersebut dapat menjadi tuntunan dalam kehiduapn berbangsa dan bernegara yang sehat. Apalagi, kini banyak problem besar membebani beberapa negara, termasuk Indonesia. Semua rakyatnya ingin mendapatkan sesuatu dari negara, bukan justru berusaha memberikan sesuatu kepada negara.
“Kalau semua orang yang pintar, yang bodoh, setengah-pintar, hubungannya dengan negara ingin mendapatkan (sesuatu), maka negara bisa keteteran. Tapi kalau hubungamnya ingin memberi, insya Allah semuanya akan selamat,” ucap pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu.
“Intinya agama ini menitikberatkan supaya, kalau bisa, hubungan kita dengan orang lain atau dengan negara (didasarkan) ingin memberi, bukan ingin mendapatkan,” imbuhnya lagi.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.