Nasional
Eks HTI Bakal Dilarang Ikut Pemilu
Larangan eks HTI ikut pemilu kemungkinan diatur secara teknis di Peraturan KPU.
JAKARTA—Draf Rancangan Undang-Undang tentang Pemilu yang dimutakhirkan per 26 November 2020 memuat larangan eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengikuti pemilihan presiden, legislatif dan pemilihan kepala daerah. Larangan itu tertuang dalam Buku Ketiga Penyelenggaraan Pemilu, BAB I Peserta Pemilu Bagian Kesatu Persyaratan Pencalonan.
Draf RUU ini menjadi usulan Komisi II DPR. Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustofa mengaku, larangan eks anggota HTI dalam draf RUU Pemilu bersifat normatif. "Kalau itu menurut saya normatif saja bahwa semua warga negara Indonesia, ya, harus patuh dengan konstitusi. Jadi, dia harus mengakui yang namanya ideologi kita, dasar negara kita, Pancasila," katanya, di Jakarta, Selasa (26/1).
Artinya, kata dia, bagi mereka yang tidak mau mengakui dasar negara Indonesia, tidak diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pemilu. Menurut Saan, bisa saja nanti larangan ini diatur secara teknis dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang mengecualikan bagi bekas HTI dengan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, sebagaimana larangan terhadap narapidana koruptor.
"Seperti eks napi-lah, napi korupsi gitu kan. Dia tidak boleh mencalonkan legislatif walaupun diuji kalah, misalkan, diuji materi kalah di Mahkamah Agung. Tapi, kan tetap nanti dia di PKPU-nya diatur secara teknis, dia harus mengumumkan ke publik dan sebagainya," tutur politikus Partai Nasdem itu.
Jadi, kata Saan, RUU Pemilu itu akan dijabarkan secara lebih lanjut dan diterjemahkan secara teknis dalam PKPU, termasuk mengenai larangan bagi eks-HTI tersebut. Aturan larangan bekas anggota HTI dan bekas PKI dalam RUU Pemilu terdapat dalam Pasal 182 ayat 2 yang mengatur syarat peserta pemilu baik pilpres, pileg, dan pilkada.
Pada huruf jj disebutkan syarat bukan bekas anggota HTI. Kemudian pada huruf ii disebutkan bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G30S/PKI.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Zulfikar Arse Sadikin menjelaskan, untuk menjadi pejabat publik harus memenuhi syarat yang ada. Salah satunya adalah berkomitmen pada Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Sedangkan HTI, diketahui sebagai organisasi yang dinilai ingin mengganti ideologi Indonesia.
"Dengan pandangan dan sikap seperti itu, lalu mereka (mantan anggota HTI) tetap diperbolehkan menjadi pejabat publik? Tentu tidak kan,” ujar Zulfikar, Rabu (27/1).
Berlebihan
Sementara, anggota Badan Legislasi (Bales) DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bukhori Yusuf menilai larangan eks HTI di pemilu sebagai bentuk ketidakadilan. Ia khawatir rencana pencabutan hak mengikuti pemilu itu disalahgunakan. Bukhori menyampaikan penguasa di tingkat pusat hingga daerah berpeluang mempermainkan pencabutan hak pemilu eks HTI.
Mereka bisa saja menjegal saingan politiknya dengan pelabelan HTI agar tak bisa ikut berkompetisi dalam pemilu. "Klausul itu bertentangan dengan UUD dan sangat karet, tidak tetap, sehingga berpotensi jadi kekuatan politik tertentu," kata Bukhori pada Republika, Rabu.
Ia menyinggung pemerintah seakan tak percaya dengan tiap orang yang ingin mengikuti pemilu. Sebab jika ingin mengikuti ajang Pemilu maka calon kepala daerah wajib menyertakan keterangan setia pada NKRI sekaligus bukan eks HTI. "Kalau itu kemudian dilakukan berarti sama halnya menuduh seluruh bangsa Indonesia 270 juta orang adalah mantan HTI karena disyaratkan supaya tidak dianggap HTI maka harus ada surat keterangan dari kepolisian," ujar Bukhori.
Terpisah, akademisi Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Johannes Tuba Helan menilai larangan eks anggota HTI berlebihan. "Menurut saya dari segi negara hukum dan demokrasi kita larangan terhadap eks anggota HTI ikut mencalonkan diri dalam pemilihan itu berlebihan karena ini seperti menghukum mereka berulang-ulang," katanya.
Dosen Fakultas Hukum Undana itu mengatakan orang yang sebelumnya bergabung dengan HTI bisa saja tidak merasa bahwa organisasi ini berbahaya karena semula ada izin pendiriannya. Dengan demikian, ketika HTI dibubarkan dan ada eks anggota yang memilih untuk ikut bertarung dalam kontestasi pemilihan, tidak perlu dilarang.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.