Kisah Dalam Negeri
Sengkarut Pemakaman Covid-19 di Cikadut
Para relawan pemakaman merasa terhina dihujat warganet.
OLEH MUHAMMAD FAUZI RIDWAN
Dede (60 tahun), warga Ciroyom, Kota Bandung, terpaksa memakamkan sendiri jenazah adiknya yang positif Covid-19 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Cikadut, Rabu (27/1) siang. Ia bersama adik-adiknya yang lain mengangkut peti berisi jenazah dari ambulans, lalu membawa ke liang lahat untuk dimakamkan.
Dede mengaku sempat kebingungan karena sebelumnya tidak mempersiapkan diri akan memakamkan jenazah Covid-19. Sebab, almarhum adiknya meninggal pada Selasa malam (26/1) dan baru diketahui positif Covid-19 pada Rabu (27/1) pagi.
Pagi itu, ia pun baru menyadari petugas yang biasa mengangkut jenazah Covid-19 dan memakamkan di TPU Cikadut sedang mogok bekerja. "Waktu ambulans kenapa lama di sana (di parkiran), ternyata alasannya enggak ada orang untuk memikul. Kedua, saya konfirmasi orang sini, memang orang yang angkat jenazah enggak ada," ujarnya saat ditemui di TPU Cikadut, Rabu (27/1).
Ia pun sempat bertanya kepada pihak rumah sakit terkait proses pemakaman. Namun, dijawab tidak ada yang mengangkut dan memakamkan. Akhirnya, pihak keluarga memutuskan memakamkan dengan peralatan alat pelindung diri (APD) seadanya. "Saya bingung masalahnya saya enggak punya APD, saya enggak biasa, harus gimana. Saya kebingungan," ujarnya.
Keluarga Dede bukan satu-satunya yang bingung pada Rabu itu. Ada dua jenazah Covid-19 lainnya yang juga sempat telantar sebelum dimakamkan di TPU Cikadut. Salah seorang ahli waris, Chandra, mengaku mengangkut peti berisi jenazah pamannya. Ia sempat harus menunggu kurang lebih tiga jam hingga akhirnya diambil alih oleh keluarga. "Yang meninggal paman, tadi beli APD sendirian," ujarnya.
Proses pemakaman berjalan dengan cepat. Masing-masing peti jenazah diangkut pihak keluarga dengan didampingi petugas dari rumah sakit. Setiba di area parkiran permakaman Covid-19, jenazah langsung dibawa ke liang lahat. Para ahli waris lantas mulai memasukkan peti jenazah dengan menggunakan APD seadanya, bahkan terdapat pihak keluarga yang tidak memakai APD.
Dede berharap masalah terkait jasa pengangkutan dan pemakaman jenazah Covid-19 bisa segera terpecahkan. Sebab, hal tersebut akan berdampak kepada pihak keluarga atau ahli waris almarhum.
"Kalau dia memberikan jasa, apa salahnya kita memberikan (upah) enggak ada salahnya. Apalagi, orang-orang di sini saya lihat enggak ada pemaksaan," kata dia.
Pagi itu, sejumlah warga yang bisa mengangkut dan memakamkan jenazah Covid-19 di TPU itu memang memulai aksi mogok kerja. Mereka tidak terima karena dituduh melakukan pungutan liar (pungli) kepada ahli waris dan keluarga dari jenazah Covid-19.
Mogok memakamkan
Koordinator pengangkut jenazah Covid-19 di TPU Cikadut, Fajar Tipana yang akrab disapa Apak mengungkapkan pihaknya berhenti melakukan pengangkutan dan memakamkan jenazah Covid-19 sebab merasa dituduh dan dihujat terkait pungutan liar (pungli). Ia membantah telah melakukan pungutan liar kepada keluarga atau ahli waris dari jenazah Covid-19.
"Kita keluar keringat, bekerja mengeluarkan menawarkan jasa, si ahli waris memberi dengan rasa ikhlas," ujarnya saat ditemui di TPU Cikadut, Rabu (27/1).
Ia mengatakan, nilai biaya pengangkutan dan pemakaman jenazah Covid-19 bervariasi dan tidak dipatok. Biaya tersebut disepakati bersama antara pihak keluarga atau ahli waris dengan para pengangkut dan pemakaman jenazah. "Kita gak ada patokan yang penting keluarga ikhlas. Kadang ada yang ngasih Rp 1.5 juta, tergantung kesepakatan," katanya.
Tiap peti berisi jenazah Covid-19 datang, Fajar mengaku butuh 6 orang untuk memikul dan membawanya ke liang lahat. Selanjutnya, sebanyak 4 orang lainnya menurunkan peti dan empat orang lainnya mencabut papan penahan peti jenazah. Sedangkan malam hari dibutuhkan kurang lebih 15 orang mengurus jenazah Covid-19.
Selama itu pula, ia mengaku kondisi kesehatan dan rekan-rekannya baik dan sehat. Beberapa relawan pun seringkali memberikan sumbangan perlengkapan perlindungan APD.
Fajar membantah jika pihaknya tidak memperhatikan sisi kemanusiaan. Namun, tuduhan yang dialamatkan kepada dirinya dan rekan-rekannya oleh warganet dan pejabat dirasa sudah keterlaluan.
Ia pun menyebutkan terdapat tiga jenazah Covid-19 yang akan dimakamkan sempat terlantar pada Rabu (27/1) pagi hingga siang. Selain itu, para ahli waris yang akhirnya memakamkan jenazah memakai APD yang tidak lengkap.
"Sebenarnya kita juga bukan tidak ada rasa kemanusiaan untuk menolong namun kita juga memiliki perasaan dihujat netizen dan pejabat, kata-katanya kurang pas," ungkapnya.
Sejak pandemi Covid-19 terjadi, ia bersama teman-temannya berinisiatif menjadi tenaga pengangkut dan memakamkan jenazah Covid-19. Para tenaga pengangkut berasal dari warga sekitar, pemuda dan dari pihak karang taruna.
"Awalnya ada 8 orang sekarang ada 36 orang," katanya. Fajar mengaku aksi mogok kerja dilakukan sebab selama 11 bulan telah diabaikan dan tidak diperhatikan oleh Pemkot Bandung.
"Mungkin saatnya sekarang pemerintah memperhatikan kita, kita ada disini. Mohon diperhatikan ke depannya mungkin. Pejabat jangan lihat ke atas, lihat ke bawah," ungkapnya.
Ia pun mengapresiasi rencana Pemkot Bandung yang akan merekrut para pengangkut jenazah Covid-19 menjadi pegawia harian lepas (PHL). Namun, pihaknya berharap dapat menjadi PHL secara permanen.
"Ada informasi memang mengakomodir merekrut kita namun merekrut di masa pandemi tidak permanen padahal kita harapan direkrut sebagai PHL permanen," katanya. Ia pun bersama rekannya akan melakukan aksi mogok bekerja hingga terdapat keputusan yang jelas terkait keberadaan pengangkut jenazah Covid-19. Selain itu, pejabat yang telah menuduh pihaknya telah melakukan pungutan liar agar meminta maaf segera.
Wakil Wali Kota Bandung, Yana Mulyana mengatakan pengangkutan jenazah hingga dimasukkan ke liang lahat dalam kondisi normal biasa dilakukan oleh pihak keluarga. Sedangkan penggalian liang lahat dan pengurugan dilakukan oleh petugas Dinas Tata Ruang.
"Di masa pandemi Covid-19, khususnya di Cikadut karena Covid-19 ini keluarga sieun (takut) dan ini katanya inisiatif karena memeng ada kebutuhan tadi, warga sekitar membantu. Awalnya sukarela enggak dipatok ternyata dalam perjalanan ada yang mematok," ujarnya, Rabu (27/1).
Ia melanjutkan, pihaknya saat ini masih mengkaji kemungkinan para relawan tersebut diakomodir menjadi pegawai harian lepas. Hal itu dilakukan agar pengangkutan tetap berjalan namun tidak mematok biaya yang besar. "Sementara diperbantukan, tadi saya tanya PHL di pemakaman lain diperbantukan sementara untuk mengangkut," katanya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.