Kabar Utama
Sejuta Kasus Covid-19, Jangan Lengah!
Lapor Covid-19 mendapatkan 34 laporan kasus pasien yang ditolak rumah sakit karena penuh.
JAKARTA -- Satgas Penanganan Covid-19 merilis, jumlah kumulatif kasus Covid-19 nasional mencapai 999.256 pada Senin (25/1). Menimbang keterlambatan pencatatan laporan dari daerah dan rerata harian kasus, angka sejuta kasus tak terhindarkan hari ini.
Kemarin, satgas merilis penambahan kasus konfirmasi positif sebanyak 9.994 orang per hari. Angka itu meneruskan tren peningkatan tajam penularan dua pekan belakangan. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang diterapkan sejak 11 Januari lalu tak juga menahan laju lonjakan sejak Pilkada Serentak 2020 dan liburan akhir tahun tersebut.
Jumlah kasus kematian juga bertambah 297 orang kemarin. Jumlah keseluruhan pasien yang meninggal dunia dengan status positif Covid-19 mencapai 28.132 orang.
Rumah sakit di daerah episentrum tak lagi bisa menampung penambahan pasien. Pemprov DKI Jakarta terpaksa menambah 1.941 unit tempat tidur isolasi karena kapasitas RS kian terdesak.
RS Lapangan Bogor yang baru didirikan sebagai langkah darurat juga tersisa satu tempat tidur dari 30 yang disediakan. Gerakan relawan Lapor Covid-19 mencatat, kepenuhan ini mengakibatkan kematian pasien dalam penantian seperti di Bantul, Tangerang Selatan, Surabaya, dan sejumlah rumah sakit di Jabodetabek.
Pemakaman khusus Covid-19 juga lekas terisi. TPU Srengseng Sawah di DKI menyisakan empat liang lahat dari 560 petak makam. TPU khusus terdahulu di Pondok Ranggon dan Tegal Alur juga sudah penuh terisi. Di TPU Bambu Wulung, dalam empat hari belakangan telah terisi 114 petak.
Terkait kondisi ini, Satgas Penanganan Covid-19 kembali meminta masyarakat secara konsisten menerapkan protokol kesehatan 3M, yakni mengenakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.
"Jangan lengah," ujar Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Reisa Broto Asmoro, Senin (25/1). Menurutnya, upaya kecil dari inidvidu-individu bisa menekan angka kasus aktif yang makin tinggi, serta mengurangi beban rumah sakit.
Penambahan beban rumah sakit ini dikhawatiran akan mengganggu pelayanan bagi pasien non-Covid-19. Tak hanya itu, pasien Covid-19 yang baru pun, ujar Reisa, juga akan kesulitan mengakses layanan kesehatan yang memadai. Bila kondisi tersebut terjadi, maka ujungnya adalah angka kematian berpotensi meningkat, khususnya akibat Covid-19.
"Sebagian dari kita mungkin terkejut dengan angka kumulatif penambahan kasus hampir satu juta. Hari ini total kasus terkonfirmasi dari 2 Maret 2020 sampai 25 Januari 2021 per pukul 12.00 WIB adalah sebanyak 999.256 orang," kata Reisa.
Kendati begitu, Reisa juga menggarisbawahi bahwa dari angka positif Covid-19 yang nyaris menyentuh satu juta orang, lebih dari 80 persen di antaranya yakni 809.488 orang telah dinyatakan sembuh. Bahkan kelompok penyintas Covid-19 ini membentuk satu wadah komunitas sendiri dan secara kolektif mendonorkan plasma convalescent.
"Mereka juga sering mengingatkan jangan anggap sepele Covid-19. Kita tahu bersama bahwa penyakit ini dapat berujung pada gejala berkepanjangan atau long Covid," katanya.
Kementerian Kesehatan juga mengakui belum optimalnya langkah pemerintah. "Secara epidemiologi, rasio tracing (pelacakan) Indonesia belum memenuhi sasaran. Jadi kami paling banyak bisa melacak 10-15 orang kontak erat, padahal WHO bilang 30," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Ditjen P2P Kemenkes Siti Nadia Tarmizi, Senin.
Sebab, katanya, kemampuan mengingat seseorang termasuk pasien terkonfirmasi tidaklah mudah, termasuk dalam sehari bepergian ke mana saja dan bertemu dengan siapa. Kendati demikian, ia mengakui kemampuan tracing memang harus diperkuat. Misalnya dengan memanfaatkan teknologi, tidak hanya mengandalkan wawancara.
Nadia menyebutkan di negara-negara lain bisa diketahui dari telepon genggamnya. Artinya, posisi lokasi orang yang dilacak itu tidak boleh mati dan bisa dipetakan.
Nadia mengakui, ini telah dilakukan di Korea Selatan. Namun, ia menyebutkan kendala pelacakan tidak hanya masalah teknologi. Ia menyebutkan ketika melacak kontak erat dan ketika dicurigai tertular virus maka kontak erat harus menjalani pemeriksaan swab Polymerase Chain Reaction (PCR).
"Sementara untuk periksa PCR kan antre, ada yang empat hari bahkan 10 hari baru keluar hasilnya. Padahal, orang yang dites itu bisa jadi orang tanpa gejala dan dia sudah jalan-jalan ke mana, berhubungan dengan orang lain kan," katanya.
Akibatnya, penularan virus ini tidak bisa diputus. Ia mengakui kemampuan Indonesia masih sangat bergantung pada laboratorium hingga kemampuan untuk memeriksa real time PCR. Beruntung, WHO tiga bulan lalu memperbolehkan rapid antigen untuk diagnostik.
Oleh karena itu, Kemenkes memperluas pemeriksaan dengan mengirimkan rapid antigen ke seluruh puskesmas di Tanah Air. "Ini sedang proses pendistribusian rapid antigen ke seluruh puskesmas," ujarnya.
Rencananya, dia menambahkan, peraturan menteri kesehatan (permenkes) akan keluar pekan depan mengatur penggunaan rapid antigen ini. Ia menambahkan, payung hukum ini penting karena pihaknya tidak bisa mengedarkan rapid antigen tanpa ada aturan.
Setelah aturan dibuat, pihaknya butuh waktu untuk pendistribusian. "Diharapkan akhir Februari 2021, sebagian puskesmas menggunakan rapid antigen tersebut," ujarnya. Jadi, dia melanjutkan, puskesmas saat melacak bisa langsung melakukan pemeriksaan sehingga bisa menjangkau lebih luas.
Artinya, langkah pencegahan dan penanganan pandemi ini membutuhkan keseriusan dua pihak sekaligus; masyarakat dan pemerintah pusat maupun daerah.
PPKM dipertanyakan
Sementara, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang berlangsung pada 11-25 Januari 2021 dipertanyakan efektivitasnya. Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan, penerapan PPKM selama dua pekan terakhir ini belum mampu menekan angka penyebaran Covid-19.
Menurut Ariza, selama dua pekan kebijakan itu dilaksanakan, angka penularan virus korona masih cukup tinggi. "Sehingga, kami masih terus memperpanjang PSBB atau PPKM yang kedua tanggal 26 (Januari) sampai 8 Februari ya," kata Ariza di Balai Kota Jakarta, Senin (25/1).
Wagub DKI tidak menjelaskan secara perinci terkait peningkatan kasus tersebut. Namun, ia menilai kenaikan kasus Covid-19 selama dua pekan itu akibat dampak libur akhir tahun. Ariza menyebut, pihaknya pun akan terus meningkatkan testing (pemeriksaan), tracing (pelacakan), dan treatment (perawatan).
Sepekan terakhir, Pemprov DKI sudah melakukan testing sebanyak 129.333 tes. "Itu artinya hampir mencapai 13 kali dari standar WHO," tutur dia.
View this post on Instagram
Sejauh ini, DKI terus memuncaki jumlah kasus Covid-19 di Indonesia. Pada Senin (25/1), DKI Jakarta kembali menjadi provinsi yang menyumbang angka tertinggi, yakni 2.451 orang. Posisi kedua ditempati Jawa Barat dengan 2.022 kasus baru. Kemudian, menyusul Jawa Tengah dengan 1.513 kasus, Jawa Timur dengan 888 kasus, dan Sulawesi Selatan dengan 606 kasus.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat, total jumlah kasus konfirmasi secara total di Jakarta telah melampaui 250 kasus dengan 24.224 kasus aktif. “Jumlah kasus aktif sebesar 24.224 ini melampaui titik tertinggi kasus aktif yang ada di Jakarta. Sehingga, ini merupakan pesan kepada kita semua bahwa pandemi belum berakhir,” kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Widyastuti, dalam keterangan tertulis resminya, Ahad (24/1).
Widyastuti juga mengungkapkan, dalam periode yang sama, kondisi ketersediaan tempat tidur di ruang isolasi hanya menyisakan 14 persen. Ia memerinci, jumlah tempat tidur isolasi 8.055 unit dan telah terisi sebanyak 6.954 unit.
Hal ini, ia menjelaskan, membuat Pemprov DKI Jakarta menyiapkan rencana untuk menambah kapasitas tempat tidur isolasi sebanyak 1.941 unit. Dengan demikian, nantinya total tempat tidur isolasi sebanyak 9.996 unit.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengajak seluruh pihak untuk menjaga Jakarta dengan menggalang seluruh sumber daya guna menekan laju paparan virus Covid-19. Salah satunya, kata Anies, dengan semakin memperkuat Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 di tingkat paling kecil, yakni rukun warga (RW).
“Satgas Covid-19, terutama pada tingkat RW yang sudah ada, akan lebih kami maksimalkan. Terlebih, mereka telah berpengalaman selama hampir setahun," ujar Anies.
Koordinator Tim Pakar dan Juru Bicara Pemerintah Penangangan Covid-19 Wiku Adisasmito belum mengomentari efektivitas PPKM selama ini. Soal usulan karantina wilayah akhir pekan untuk menggantikan PPKM, ia menyatakan mengapresiasi.
"Saya apresiasi usulannya. Namun, kebijakan penanganan pandemi bisa ditetapkan setelah melalui banyak pertimbangan dari kementerian/lembaga terkait," katanya saat dihubungi Republika, Senin (25/1).
Sebelumnya, epidemiolog dari Universitas Andalas (Unand) Sumatra Barat Defriman Djafri mengatakan, pemerintah harus mengevaluasi kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang diterapkan.
Menurut dia, pada dasarnya pembatasan pergerakan masyarakat seharusnya berimbas pada penurunan jumlah kasus Covid-19. Namun, kebijakan PPKM Jawa dan Bali pada 11 hingga 25 Januari belum menunjukkan hasil yang diharapkan.
Pasien ditolak
Sementara itu, gerakan relawan Lapor Covid-19 menerima laporan pasien yang meninggal di perjalanan, termasuk transportasi umum, di rumah, di selasar rumah sakit, di UGD, serta di puskesmas karena kesulitan mendapatkan perawatan intensif. "Sejak akhir Desember 2020 hingga 21 Januari 2021, setidaknya Lapor Covid-19 mendapatkan 34 laporan kasus pasien yang ditolak rumah sakit karena penuh," ujar Co-Initiator and Co-Leader Koalisi Masyarakat untuk Covid-19 Irma Hidayana dalam konferensi pers virtual pada Senin (25/1).
Irma menyebut, sejak awal Desember 2020, rumah sakit di sekitar Jabodetabek dan berbagai daerah lain di Pulau Jawa mulai kesulitan menampung pasien. Hal ini menyebabkan terjadinya antrean pasien untuk mendapatkan perawatan sehingga meningkatkan risiko kematian. "Tanda-tanda kolapsnya rumah sakit ini semakin bertambah memasuki Januari 2021," ungkap Irma.
Menurut Irma, sepanjang Desember 2020, mobilitas penduduk cenderung meningkat dengan adanya pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 dan libur panjang Natal-tahun baru. Akibatnya, sejumlah kasus pasien yang ditolak karena rumah sakit penuh semakin banyak terjadi.
Salah satu contoh kasus penolakan pasien terjadi pada warga Kota Depok yang meninggal dalam perjalanan mencari rumah sakit pada 19 Desember 2020. Lapor Covid-19 juga menerima laporan pasien meninggal karena tidak mendapatkan layanan atau tengah mengantre ICU rumah sakit, misalnya, pasien meninggal di rumah di Kota Bantul, Yogyakarta, di Puskesmas di Tangsel, Banten, selasar rumah sakit di Kota Surabaya, dan UGD di sejumlah RS di Jabodetabek.
Irma menekankan, masalah ketersediaan layanan fasilitas kesehatan salah satunya berakar dari penanganan Covid-19 yang melempar sebagian kewajiban kepada pemerintah daerah. "Akibat lempar tanggung jawab kepada pemerintah daerah, penetapan ini pasti lambat dan membuat persiapan penanganannya, termasuk fasilitas layanan kesehatan, membutuhkan waktu untuk antisipasinya," ungkap doktor bidang kesehatan masyarakat dari Universitas Columbia, Amerika Serikat, itu.
Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) juga menyoroti lemahnya sistem pemantauan kapasitas rumah sakit rujukan Covid-19. "Indonesia praktis buta seberapa cepat dan ke mana saja wabah menyebar. Buktinya positivity rate tetap naik. Terus tinggi. Kapasitas layanan diakui tak bisa dipantau real," kata peneliti CISDI Yurdhina Melissa, kemarin.
Yurdhina pesimistis pemerintah dapat menyelesaikan masalah keterisian RS dalam waktu dekat jika pemantauan lalu lintas pasien tak dilakukan secara real time. "Perlu dipantau mana saja yang kekurangan kapasitas, APD, ventilator. Survei dari April sampai sekarang respond rate-nya rendah," ujar Yurdhina.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.