Mujadid
KH Abdurrahman Syamsuri, Sesepuh Pesantren Muhammadiyah
Kiai Abdurrahman pernah berguru kepada pendiri NU Mbah Hasyim Asy’ari.
OLEH MUHYIDDIN
Jawa Timur merupakan salah satu daerah di Nusantara yang memunculkan banyak alim ulama karismatik. Di antara kalangan mubaligh demikian yang berasal dari provinsi tersebut adalah KH Abdurrahman Syamsuri.
Dai ini masyhur di tengah masyarakat, khususnya warga Paciran, Kabupaten Lamongan. Dalam dunia pergerakan, dirinya juga dikenal sebagai seorang tokoh Persyarikatan Muhammadiyah.
Ustaz Muhammad Ziyad merupakan salah satu murid Kiai Abdurrahman Syamsuri. Menurut dia, sang kiai termasuk ulama-ulama besar yang dimiliki Muhammadiyah. Di samping itu, gurunya itu pernah dididik langsung oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Karena itu, sanad keilmuannya pun diwariskan dari kakek presiden keempat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu.
“Beliau (Kiai Abdurrahman Syamsuri) muridnya langsung Syekh Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Namun, pada akhirnya Kiai Abdurrahman Syamsuri lebih dikenal sebagai seorang ulama besar Muhammadiyah, khususnya di Lamongan,” ujar ketua Lembaga Dakwah Khusus (LDK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu saat dihubungi Republika beberapa waktu lalu.
Beliau muridnya langsung Syekh Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Namun, pada akhirnya Kiai Abdurrahman Syamsuri lebih dikenal sebagai seorang ulama besar Muhammadiyah.
Nama lengkapnya adalah KH Abdurrahman Syamsuri bin Syamsuri bin Fadhil bin Sholeh bin Syahid bin KH Idris bin Kasno. Tokoh karismatik ini lahir dari keluarga santri di Desa Paciran, Lamongan, pada 1 Oktober 1925. Kakeknya bernama Kiai Idris, seorang dai yang cukup terkenal di Kecamatan Paciran.
Adapun ayahnya, Kiai Syamsuri, merupakan seorang guru agama yang juga bermata pencaharian sebagai petani. Ibunya, Walijah, merupakan seorang pedagang kecil sekaligus petani.
Kedua orang tuanya berperan sangat besar dalam mendidik Abdurrahman kecil. Tak mengherankan bila anak lelaki itu pada akhirnya menjadi seorang ulama hebat. Abdurrahman merupakan adalah putera kedua dari tujuh bersaudara. Ia dipandang memiliki keunikan dibanding saudara-saudaranya.
Tidak hanya cerdas, dirinya juga berkemauan keras untuk konsisten belajar ilmu-ilmu agama. Hal itu dibuktikannya dengan pengembaraannya dari satu pesantren ke pesantren lainnya.
Rihlah tersebut tidak hanya mengajarkan sikap disiplin dalam menuntut ilmu, tetapi juga pembentukan karakter. Sebagai contoh, ia sering berpuasa untuk menyiasati minimnya kiriman yang diterima dari orang tuanya.
Tatkala usianya baru 15 tahun, Abdurrahman telah menghafal belasan juz Alquran. Proses hafalan itu pun dilaluinya dalam waktu tujuh bulan. Tidak hanya mendapatkan pengajaran agama dari ayah, ibu, dan kakeknya, ia juga mengenyam pendidikan lembaga formal di Madrasah Islam Paciran (MIP) pada 1935. Begitu lulus dari sana, dia mulai berpisah dari orang tuanya karena menjadi santri kelana.
Tatkala usianya baru 15 tahun, Abdurrahman telah menghafal belasan juz Alquran. Proses hafalan itu pun dilaluinya dalam waktu tujuh bulan.
Perjalanannya menempuh sejumlah pesantren di tanah Jawa. Pertama-tama, anak lelaki ini menjadi santri di Pondok Pesantren Kranji yang diasuh oleh KH Mushtofa Abdul Karim (1871-1950). Sekitar tiga tahun lamanya pendidikan ditempuhnya di sana.
Setelah itu, ia nyantri di Pondok Pesantren Tunggul Paciran yang dipimpin oleh KH Mohammad Amin Mushtofa (1912-1949). Malahan, ia menjadi salah satu santri kebanggaan Kiai Amin.
Tidak jarang sang guru mengajaknya untuk berdakwah dari satu desa ke desa lainnya. Safari dakwah itu menimbulkan kesan yang mendalam pada diri Abdurrahman. Bahkan, kadang kala ia ditunjuk menjadi pengganti (badal) bilamana gurunya itu berhalangan hadir. Kesempatan ini dimanfaatkannya sebagai ajang latihan sebelum benar-benar terjun menyiarkan Islam ke tengah masyarakat.
Abdurrahman belajar di Tunggul antara tahun 1938 dan 1940. Di pondok ini, ia memperdalam ilmu alat, seperti nahwu dan sharaf, ilmu tafsir Alquran dan hadis. Pengalaman baru juga dirasakannya selama menimba ilmu di bawah bimbingan Kiai Amin, khususnya dalam soal akidah dan ibadah.
Pengembaraannya dalam mencari ilmu tidak berhenti sampai di situ. Abdurrahman kemudian meneruskan perjalanannya ke sebuah pesantren yang diasuh Kiai Abdul Fattah di Tulungagung. Di pesantren ini, ia belajar selama empat tahun, yakni sejak 1940 hingga 1944.
Setelah mendalami berbagai ilmu kepada Kiai Fattah, barulah dirinya menjadi santri di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, di bawah asuhan KH Hasyim Asy’ari.
Setelah mendalami berbagai ilmu kepada Kiai Fattah, barulah dirinya menjadi santri di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, di bawah asuhan KH Hasyim Asy’ari.
Meskipun nyantri selama satu tahun, yakni antara 1944-1945, ia menjadi seorang santri unggulan di mata Mbah Hasyim. Disiplin keilmuan yang digemarinya antara lain faraidh dan fikih. Selain itu, hafalan Alqurannya juga disempurnakannya tatkala dibimbing sang pendiri NU.
Selain menjadi santri Mbah Hasyim, Abdurrahman juga pernah berguru kepada KH Muhammad Ma'roef, seorang ulama Nahdliyin asal Kediri. Antara tahun 1945 dan 1946, dirinya belajar di salah satu pesantren yang diasuh Mbah Ma’roef, Pondok Pesantren Kedunglo.
Mendirikan pesantren
Setelah berkelana ke berbagai pondok pesantren, Kiai Abdurrahman Syamsuri telah menguasai berbagai disiplin ilmu keagamaan. Di antaranya adalah nahwu, sharaf, dan ilmu al-arudl wa al-qowafi. Dalam bidang sastra, ia menggubah kitab Nazham Asma’ al-Husna. Buku tersebut menjadi pembuktian kemampuannya dalam disiplin ilmu arudl yang dikaitkan dengan pemaknaan atas Asmaul Husna.
Ia juga terkenal sebagai mubaligh yang dapat menghafal 30 juz Alquran secara fasih dan tartil. Tafsir Alquran pun dikuasainya. Begitu pula dengan ilmu hadis, terutama yang bersumber dari kitab-kitab otoritatif semisal Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Karena itu, dirinya dipandang layak untuk mendirikan sekaligus memimpin sebuah pondok pesantren.
Sejak tahun 1930, kakeknya yang bernama Kiai Idris telah membangun sebuah musala, Langgar Dhuwur, di Paciran. Tempat inilah yang menjadi cikal bakal pesantren yang dirintis Kiai Abdurrahman. Sesuai amanah dari kakeknya, ia kemudian mengembangkan Langgar Dhuwur agar tidak hanya menjadi tempat anak-anak belajar membaca Alquran.
Dalam visinya, langgar tersebut ingin diubahnya sebagai pusat kegiatan pondok pesantren. Karena itu, yang diajarkan di sana meliputi banyak hal, semisal ilmu tafsir Alquran, hadis, dan tata bahasa Arab.
Sebagai langkah awal, dirinya meminjam sebuah lahan luas milik Pak Hadir. Di atas tanah itu, tumbuh pepohonan asam yang cukup rindang. Melihat situasi itu, ia pun terinspirasi untuk menamakan lembaga yang akan didirikannya sebagai Pondok Pesantren Karangasem.
Pada 18 Oktober 1948, dibangunlah Asrama Santri al-Hijrah. Dalam prosesnya, Kiai Abdurrahman mendapatkan dukungan penuh masyarakat Paciran. Mereka bergotong-royong untuk membuat gota’an, sebuah bangunan kayu berbentuk persegi panjang yang kemudian dibaut kotak-kotak untuk memisahkan kamar-kamar santri. Bangunan tersebut menjadi tonggak awal Pondok Pesantren Karangasem Muhammadiyah, Paciran.
Pondok Pesantren Karangasem semakin berkembang. Keteguhan hati dan sikap Kiai Abdurrahman pun semakin kokoh sebagai pengasuh pondok pesantren. Setiap pagi hari sebelum shalat subuh, ia berkeliling pondok untuk melihat langsung keadaan para santrinya.
Seusai shalat subuh, para santri mengaji kitab tafsir Jalalain di hadapan sang kiai. Ulama ini pun menyimak dengan saksama bagaimana mereka membaca dan memaknai teks bahasa Arab.
Berorganisasi
Kiai Abdurrahman mungkin tidak seperti umumnya para pendiri atau pengasuh pondok pesantren di Jawa Timur yang cenderung bergabung dengan NU. Ia memilih aktif berkhidmat di Persyarikatan Muhammadiyah. Dalam persyarikatan tersebut, dirinya pernah menjabat sebagai direktur Pendidikan Guru Agama (PGA) pada 1956.
Selain itu, namanya tercatat selaku anggota Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah sejak 1978, anggota Tanwir Muhammadiyah pada 1979-1984, dan ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Lamongan periode 1977-1982.
Meskipun memilih Muhammadiyah, hal itu tidak berarti bahwa dirinya bertungkus lumus di satu organisasi saja. Sebab, perannya juga sebagai penghubung banyak organisasi atau pergerakan dakwah Islam.
Sebagai contoh, ia menjalin hubungan yang akrab dengan Mohammad Natsir, tokoh Masyumi yang mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia pascaruntuhnya Orde Lama. Menurutnya, kolaborasi antarelemen umat perlu dilakukan dalam rangka mencetak kader-kader Islam yang dapat menjadi dai di seluruh penjuru nusantara.
Kedekatan Kiai Abdurrahman dengan Pak Natsir bagaikan simbiosis mutualisme. Dewan Da’wah bergerak dalam bidang dakwah Islam yang jangkauannya hingga ke pelosok-pelosok negeri. Karena itu, mantan perdana menteri RI itu memerlukan banyak tenaga dai yang siap dikirim untuk mengabdi di tengah masyarakat. Sementara itu, pesantren asuhan Kiai Abdurrahman mencetak alumni yang selalu siap untuk mengamalkan ilmunya.
Kiai Abdurrahman dikenal sebagai seorang alim dengan pribadi yang santun dan lembut dalam bertutur kata. Dalam berdakwah, ia menggunakan metode persuasif dan kontekstual. Sebelum memberikan ceramah di suatu tempat, umpamanya, ia berdialog terlebih dahulu dengan pihak yang mengundangnya. Itu dilakukannya untuk mencari tahu persoalan-persoalan yang aktual yang sedang mereka hadapi.
KH Abdurrahman Syamsuri meninggal dunia pada Kamis, 27 Maret 1997 dalam usia 72 tahun. Ia mengembuskan napas terakhir ketika sedang dirawat di Rumah Sakit Darmo, Surabaya, akibat penyakit gula yang dideritanya sejak lama. Keluarga, santri, dan ribuan orang ikut mengantar jenazah almarhum ke tempat peristirahatan terakhirnya di kompleks permakaman umum Sluwuk Desa Paciran, Lamongan.
Jejak Perjuangan Sang Kiai
KH Abdurrahman Syamsuri (1925-1997) merupakan seorang tokoh dalam sejarah Persyarikatan Muhammadiyah. Kiprahnya terutama dikenang masyarakat Jawa Timur, khususnya Lamongan dan sekitarnya.
Sepanjang hayatnya, sosok yang pernah berguru kepada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari itu konsisten mengabdikan dirinya untuk syiar Islam. Dalam semangat jihad pula, perjuangannya ditujukan kepada kemerdekaan Indonesia.
Saat masih nyantri di pondok pesantren yang diasuh KH Mohammad Amin Musthofa, Abdurrahman muda turut serta di medan juang. Waktu itu, seluruh bangsa baru saja merasakan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Berbagai elemen berusaha mempertahankan kedaulatan negeri.
Di Lamongan, Jawa Timur, Abdurrahman turut serta dalam Laskar Hizbullah. Bahkan, dirinya sampai menjadi komandan laskar tersebut. Dalam hal ini, ia mendapatkan dukungan penuh dari Kiai Amin Musthofa serta para santri setempat.
Pada 25 Oktober 1945, masyarakat Jawa Timur mendapatkan kabar bahwa tentara Sekutu mendarat di Surabaya. Kiai Amin segera menggelar rapat bersama para kiai di daerah Blimbing, Paciran. Maka diputuskanlah untuk mengirimkan sejumlah anggota laskar Hizbullah Paciran ke Surabaya. Tujuannya untuk ikut mengadang gerak pasukan musuh yang saat itu dikomandoi Brigadir Jenderal AWS Mallaby.
Beberapa pekan kemudian, tepatnya pada 10 November 1945, pertempuran besar pun pecah di Surabaya. Bersama dengan Kiai Amin, Abdurrahman turut serta dalam barisan pejuang. Dengan gigih, dirinya bertempur untuk mengusir kekuatan yang hendak menjajah kembali Bumi Pertiwi. Waktu itu, usianya baru 20 tahun.
Dengan gigih, dirinya bertempur untuk mengusir kekuatan yang hendak menjajah kembali Bumi Pertiwi. Waktu itu, usianya baru 20 tahun.
Kepercayaan Kiai Amin begitu besar kepada Kiai Abdurrahman hingga Kiai Amin menjodohkan dengan salah satu putrinya yang bernama Rahimah. Perempuan ini pernah belajar di Pondok Kranji, sama seperti dirinya. Pada 1949, Kiai Amin meninggal dunia.
Meskipun pernikahan dengan Rahimah tidak bertahan, dirinya tetap menjalin hubungan kekerabatan dengan keluarga besar almarhum. Bahkan, Kiai Abdurrahman akhirnya menikahkan salah satu putrinya, Zakiyah, dengan putra Kiai Amin yang bernama Muhammad Sabiq.
Jejak perjuangannya juga tampak pada peristiwa menjelang runtuhnya Orde Lama. Waktu itu, rezim Sukarno begitu dekat dengan Partai Komunisme Indonesia (PKI). Belakangan, pecah pemberontakan G30S/PKI pada 30 September 1965. Di berbagai daerah, militer, khususnya Angkatan Darat, meminta bantuan kepada kalangan pesantren untuk memadamkan dampak kup itu.
Di Lamongan, Kiai Abdurrahman menjadi ketua komando strategi yang bertujuan melawan sisa-sisa kekuatan PKI setempat. Pondok Pesantren Karangasem yang diasuhnya juga difungsikan sebagai salah satu pusat mobilitas pejuang dalam menghadapi keganasan kaum komunis di wilayah Pantai Utara Jawa.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.