Kisah Mancanegara
Hadiah dari Sesame Street untuk Anak-Anak Rohingya
Ribuan anak-anak Rohingya kehilangan orang tua mereka di pengungsian.
OLEH LINTAR SATRIA
Di dalam sebuah bangunan bambu, sekumpulan anak berimpitan memandang karakter berbulu merah yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. Mereka adalah anak-anak Rohingya yang tinggal di permukiman pengungsian terbesar di dunia dan sebelumnya tidak pernah menonton televisi.
Kini, dengan bantuan proyektor tenaga baterai, mereka dapat tertawa bersama karakter Sesame Street, Elmo. Dalam hari-hari ke depan, para karakter boneka ternama dari Sesame Street akan menjadi bagian penting anak-anak Rohingya.
Para karakter Sesame Street ini akan hadir di permukiman Cox's Bazar yang menampung lebih dari 1 juta pengungsi yang melarikan diri dari kekerasan etnis di Myanmar. Sebelumnya, Sesame Workshop merilis karakter anak Rohingya pertama mereka yang diberi nama Noor Yasmin dan Aziz.
Noor Yasmin dan Aziz diceritakan sebagai anak kembar yang berusia enam tahun. Proyek yang dikerjakan selama satu tahun lebih ini merupakan bagian dari inovasi pendidikan di permukiman pengungsian tersebut yang totalnya senilai 200 juta dolar AS.
"Bila kami dapat membantu anak-anak ini mulai dengan awal yang benar, di mana mereka bisa maju, lalu mereka memiliki begitu banyak kesempatan sukses," kata presiden dampak sosial Sesame Workshop, Sherrie Westin, kepada NBC News, pertengahan Desember lalu.
Westin yakin tanpa intervensi masif dari Sesame Street dan mitra, anak-anak Rohingya terancam tumbuh tanpa bisa membaca, menulis, dan matematika dasar. "Banyak dari anak-anak ini mengalami horor yang tak terbayangkan," ujar Westin.
"Saat ini, Anda memiliki neurosains yang dapat menunjukkan pengalaman traumatis dan stres berkepanjangan melemahkan perkembangan otak anak-anak. Bagi kami menjangkau anak-anak sejak dini sangat penting, tapi terutama anak-anak yang mengalami trauma, peran kami dapat signifikan," katanya menambahkan.
Sejak Agustus 2017 lalu, demi melarikan diri penindakan keras brutal militer Myanmar, ratusan ribu Muslim Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Komisioner Hak Asasi Manusia PBB mengatakan tindakan Myanmar itu sebagai 'contoh nyata proses pembersihan etnis'.
Lembaga amal Doctors Without Borders mencatat pada bulan itu setidaknya 6.700 orang Rohingya, termasuk anak-anak di bawah lima tahun, tewas terbunuh. Berdasarkan catatan PBB selama dua tahun berikutnya, sekira 200 ribu pengungsi Rohingya menyusul mengungsi ke Bangladesh.
Sebagian besar mereka yang berhasil lari tinggal di permukiman pengungsi di Cox's Bazar. Ribuan anak-anak, kemudian kehilangan orang tua mereka. Anak-anak itu tinggal bersama keluarga kerabat di tenda-tenda sempit yang terbuat dari bambu dan kain terpal, tanpa air dan listrik.
Untuk mendapatkan air bersih, para pengungsi harus berjalan ke stasiun pompa air yang terbatas di sekitar permukiman. Selama dua tahun terakhir seorang nenek bernama Merula tinggal di sebuah tenda pengungsi bersama putrinya dan dua cucu berusia empat dan 2,5 tahun.
Merula mengatakan, keluarganya melarikan diri saat anggota militer Myanmar mendatangi desa mereka dan melakukan pembakaran. "Kami pikir kami akan dibunuh," katanya.
Anak-anak yang tinggal di tenda itu, Ismabela dan Bibijan, pun berpartisipasi dalam program pendidik yang dikenal Humanitarian Play Lab. Laboratorium yang dikembangkan organisasi kemanusiaan BRAC untuk membantu anak-anak belajar dan pulih dari trauma. "Dia semakin pintar," ujar Merula berbicara mengenai Ismabela.
Dalam tiga tahun terakhir, Sesame Workshop dan International Rescue Committee telah mendapatkan dua dana hibah sebesar 100 juta dolar AS. Satu dari MacArthur Foundation dan satu lagi dari Lego Foundation.
Dana ini untuk menemukan cara baru memberikan pendidikan pada anak-anak yang tumbuh di tenda pengungsian di Suriah dan Bangladesh. "Anak-anak dalam ruang lingkup krisis tidak hanya membutuhkan kesempatan pendidikan berkualitas, tetapi juga cara untuk mengatasi stres mereka sendiri dan kesejahteraan sosio-ekonomi," kata CEO Lego Foundation, John Goodwin.
Mitra lembaga swadaya masyarakat Sesame Workshop di Bangladesh, BRAC, memiliki sejarah keberhasilan dalam menyelenggarakan pendidikan di kamp pengungsian. Sekitar 85 persen anak-anak di sekolah BRAC berhasil menyelesaikan kelas V.
Pengembangan boneka Rohingya pun dimulai tahun lalu. Awalnya, tim Sesame Workshop mengeksplorasi reaksi terhadap Elmo dan Grover dari produksi India. Mereka juga mencari masukan dari perawat anak-anak Rohingya.
Westin mengatakan, proses ini mengungkapkan kecintaan pada karakter yang memiliki nilai-nilai pendidikan, kejujuran, dan kepedulian pada orang lain. Tim desainer kemudian menciptakan sketsa awal.
Namun, eksekutif-eksekutif Sesame Street ingin mendapatkan masukan dari pihak yang paling terdampak pada proyek ini. Sebelum pandemi Covid-19 menerpa, puluhan anak-anak Rohingya dan perawat mereka berkumpul dalam focus group yang dipimpin direktur senior penelitian dan evaluasi Sesame Workshop Kim Foulds.
Para eksekutif Sesame Workshop ingin mendengar langsung dari anak-anak. Boneka seperti apa yang paling beresonansi dengan mereka. "Kami tahu cara terbaik anak-anak belajar adalah dengan memandang diri mereka sendiri. Jadi sangat penting mereka mengidentifikasi diri dengan karakter-karakter ini," kata Westin.
Noor Yasmin dan Aziz, bersama dengan karakter Sesame Street yang lebih terkenal seperti Elmo, akan ditampilkan dalam serangkaian video edukasi yang akan mencakup mata pelajaran, seperti matematika dan sains, serta masalah seputar kesejahteraan sosial dan kesehatan.
Menurut Westin, bagi sebagian besar anak Rohingya, Noor Yasmin dan Aziz akan menjadi karakter pertama di media yang terlihat dan terdengar seperti mereka. “Mereka akan membawa kekuatan transformatif dari pembelajaran yang menyenangkan kepada keluarga pada saat dibutuhkan lebih dari sebelumnya," ujarnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.