Tema Utama
Sumbangan Muslim untuk Indologi
Al-Biruni menjadi yang pertama dalam meneliti kebudayaan India secara ilmiah.
OLEH HASANUL RIZQA
Indologi adalah kajian tentang India dan penduduknya. Ilmuwan Muslim, al-Biruni, memelopori disiplin tersebut jauh sebelum kolonialisme Eropa. Dengan adil, sang polymath menelaah kawasan berjuluk Anak Benua itu.
Al-Biruni Sang Perintis Indologi
Abu Rayhan al-Biruni (973-1050) merupakan seorang sarjana Muslim terkemuka dalam sejarah peradaban Islam. Tokoh berdarah Persia itu dikenang sebagai ilmuwan serba bisa atau polymath yang jenius.
Kepakarannya tidak hanya meliputi satu, melainkan banyak bidang ilmu pengetahuan, seperti matematika, astronomi, kedokteran, sejarah, dan filsafat. Bahkan, sosok yang lahir di Khwarezm (kini termasuk Uzbekistan) tersebut mempelopori beberapa kajian yang terus bertahan hingga masa modern, semisal geodesi, antropologi, dan Indologi.
Indologi adalah sebuah kajian mengenai India dan penduduknya. Wilayah yang dimaksud tidak sebatas Republik India modern, melainkan seluruh Anak Benua India atau kawasan Asia Selatan pada umumnya. Jauh sebelum kebudayaan Eropa (Barat) menggunakan istilah Indologi sebagai bagian dari studi orientalisme, para sarjana Muslim telah merintisnya terlebih dahulu. Dalam hal ini, al-Biruni merupakan pionernya sehingga acapkali dijuluki sebagai “peletak dasar Indologi”.
Memang, beberapa ratus tahun sebelumnya kaum Muslimin sudah mengetahui atau mengenal negeri India. Jamal Malik dalam Islam in South Asia: A Short History (2008) menerangkan, masyarakat Arab mengikuti cara orang-orang Persia menyebut negeri itu sebagai al-Sind wa al-Hind.
Para pelaut Arab Selatan telah terbiasa mengarungi Samudra Hindia sejak berabad-abad silam atau jauh sebelum Nabi Muhammad SAW lahir. Mereka singgah untuk berdagang di kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai barat dan timur India, yakni Malabar dan Koromandal, serta Pulau Sailan atau Sri Lanka.
Beberapa tahun setelah wafatnya Rasulullah SAW, wilayah kedaulatan Islam terus meluas. Pada era khulafaur rasyidin, kaum Muslimin berhasil mengalahkan Imperium Persia. Barulah pada zaman Dinasti Umayyah, ekspansi berlanjut ke arah timur hingga daerah aliran sungai (DAS) Indus—yang darinya nama al-Sind berasal.
Pada awal abad kedelapan, untuk pertama kalinya al-Sind dibebaskan oleh Muslimim.
Pada awal abad kedelapan, untuk pertama kalinya al-Sind dibebaskan oleh Muslimim. Misi pembebasan itu dilakukan seorang jenderal di bawah pemerintahan Umayyah, yakni Muhammad bin Qasim (695-715). Pemimpin yang mati muda itu—usianya hanya 19 tahun ketika wafat di Mosul, Irak—sukses merebut kota-kota penting di sekitar DAS Indus, seperti Daybul, Brahmanabad, Roar, dan Multan.
Anak Benua India merupakan suatu region yang begitu luas. Secara geografis, kawasan itu terbagi dua, yakni belahan utara dan selatan. Malik mengatakan, masing-masing memiliki lanskap yang cukup berlainan. Bagian utara India cenderung merupakan dataran yang subur, khususnya di sekitar DAS Gangga dan Yamuna.
Sebaliknya, bagian selatan India cenderung berbukit-bukit. Bagaimanapun, masyarakat pesisirnya memiliki karakteristik bahari yang terbuka. Sebab, sejak ribuan tahun lamanya daerah tersebut menjadi bagian dari rute perdagangan maritim Samudra Hindia. Antara India bagian utara dan selatan dipisahkan oleh batas alami, yakni Sungai Narbada.
Stabilitas politik lebih jamak dijumpai di India selatan. Kerajaan Chola, misalnya, menguasai kawasan tersebut—khususnya sekujur Pantai Koromandal—sejak abad ketiga sebelum Masehi (SM) hingga abad ke-13 M. Adapun India utara sejak permulaan abad Masehi menyaksikan naik turunnya berbagai dinasti dan kerajaan.
Sebelum dimasuki pasukan Muslimin, penguasa India yang memerintah kawasan setempat ialah Raja Dahir (663-712). Pemimpin terakhir dari Dinasti Brahman itu menganut agama Hindu.
Rihlah al-Biruni
Hingga abad ke-10, kedaulatan Hindu di India utara menghadapi kekuatan Islam, khususnya Dinasti Ghaznawiyah. Wangsa Muslim tersebut secara nasab termasuk bangsa Turki, tetapi secara kebudayaan mengikuti Persia. Pada akhir abad itu, pemimpinnya yang termasyhur adalah Mahmud (971-1030).
Pada 1001, Sultan Mahmud melancarkan ekspedisi militer ke sejumlah titik di India utara, yakni kawasan yang kini menjadi Afghanistan dan Pakistan modern. Lima tahun kemudian, ia sukses merebut Kota Multan sehingga melemahkan kekuasaan para raja Hindu setempat. Beberapa bangsawan Hindu mengakuinya sebagai penguasa India sehingga mereka dijadikan sebagai gubernur di masing-masing wilayah.
Pada masa kejayaannya, Raja Mahmud mendirikan ibu kota baru di Ghazni—kini bagian dari Afghanistan. Kota tersebut dengan cepat menjadi salah satu pusat peradaban Islam yang gemilang. Bahkan, perkembangannya dapat menyaingi kehebatan kota Seribu Satu Malam, Baghdad, di Irak.
Untuk menjaga reputasi Ghazni, Mahmud tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik. Ia juga mendatangkan para sarjana dan ilmuwan terkemuka untuk tinggal dan beraktivitas di sana. Pada 1017, sang raja menguasai Kota Rey di Persia. Nyaris semua cendekiawan setempat kemudian diboyongnya ke Ghazni. Salah seorang di antara mereka adalah al-Biruni.
Mahmud sangat menghormati al-Biruni. Jabatan pertama yang diberikannya kepada sang polymath adalah ahli astronomi resmi kerajaan. Ilmuwan berdarah Persia itu pun menikmati banyak fasilitas yang disediakan pihak istana untuk menunjang berbagai penyelidikan ilmiah yang dikerjakannya. Keberadaannya menjadi salah satu faktor yang mendukung kemajuan pesat sains dan ilmu pengetahuan di ibu kota Imperium Ghaznawiyah.
Suatu kali, Mahmud mempersiapkan pasukannya untuk memantau langsung keadaan negeri-negeri taklukannya di India. Dalam perjalanan dari Ghazni ke sana, sang raja mengajak beberapa ilmuwan andalannya, termasuk al-Biruni.
Rihlah inilah yang membuka jalan bagi sang ilmuwan untuk mendalami seluk-beluk wilayah dan karakteristik penduduk India. Hal tersebut akhirnya menjadikannya sebagai perintis disiplin Indologi modern.
Sikap ilmiah
Al-Biruni tidak hanya menguasai bahasa Persia dan Arab, tetapi juga Ibrani, Suriah Kuno, dan Sanskerta. Oleh karena itu, dirinya tidak mengalami kendala yang berarti dalam berkomunikasi dengan penduduk India.
Dalam menulis tentang kondisi geografis, demografis, dan sosio-kultural India, ilmuwan Muslim tersebut dapat dikatakan melampaui zamannya. Tidak seperti kebanyakan penulis catatan perjalanan pada masanya, ia menggunakan perspektif yang objektif dan bahkan berkeadilan dalam melihat masyarakat yang dikajinya.
MS Khan dalam artikelnya, “Al-Biruni and the Political History of India” (1976) mengatakan, al-Biruni memiliki semangat yang besar untuk selalu mengejar kebenaran objektif. Karena itu, nada tulisan dalam berbagai buku karyanya kerap tidak menunjukkan keberpihakan (impartial), termasuk tatkala mendeskripsikan India.
Tak jarang al-Biruni mengajak para penulis lainnya untuk menulis tanpa prasangka sebelumnya (free of prejudices) dalam menelaah tentang berbagai bangsa dan umat agama non-Muslim. Menurut Khan, para ilmuwan dan sejarawan modern “mengangkat” al-Biruni sebagai Bapak Antropologi dan Bapak Indologi disebabkan kecenderungannya untuk selalu objektif dan imparsial dalam menulis.
Sejarawan modern “mengangkat” al-Biruni sebagai Bapak Antropologi dan Bapak Indologi disebabkan kecenderungannya untuk selalu objektif dan imparsial dalam menulis.
Di samping itu, gaya kepenulisan al-Biruni ialah kronologis. Dalam hal ini, lanjut Khan, sarjana Muslim dari era keemasan Islam tersebut beberapa kali mengkritik kaum cendekiawan Hindu pada masanya. Sebab, mereka kurang begitu tertarik pada historiografi atau penulisan sejarah yang rasional, objektif, dan kronologis.
“Sayangnya, orang-orang India (Hindu) tidak begitu memperhatikan urut-urutan (peristiwa) sejarah. Mereka kurang hati-hati dalam menghubungkan secara kronologis, misalnya, suksesi kepemimpinan raja-rajanya. Saat dicecar mengenai informasi atau gagap menjelaskan (mengenai sebuah peristiwa masa lalu –Red), mereka cenderung akan mendongeng,” tutur al-Biruni dalam karyanya, Kitab fii Tahqiq maa li’l Hind min Ma’qulatin Maqbulatin fil ‘Aql aw Mardhula.
Dengan hanya melihat judul kitab itu, pembaca dapat menyadari betapa telitinya al-Biruni dalam memilah antara yang fakta dan yang fiksi. Secara harifiah, judul tersebut berarti “Kajian atas apa-apa yang disampaikan India, apakah berterima secara rasional atau mesti ditolak”.
Alhasil, sang penulis mencatat berbagai macam informasi yang diterimanya mengenai India dan masyarakatnya. Akan tetapi, dalam penyajiannya ia menjelaskan, mana yang dapat dipercaya sebagai fakta historis dan mana yang patut diragukan kebenarannya.
Metode yang dipakainya itu tak ubahnya seorang sejarawan profesional masa kini. Memang, lanjut Khan, ilmuwan yang namanya kini diabadikan sebagai sebuah kawah di bulan itu membedakan antara penyelidikan ilmiah dan sejarah. Dalam melakukan yang pertama itu, seorang saintis dapat bersikap sepenuhnya objektif. Sebab, objek kajiannya dapat diidentifikasi secara empiris.
Berbeda dengan penelitian sejarah. Di dalamnya, tidak ada ruang untuk merasionalkan fenomena-fenomena yang ditemukan, sekalipun melalui pendekatan filosofis.
Metode yang pas untuk menulis historiografi di samping kronologi ialah komparasi. Cara itu pula yang dipilihnya ketika menulis tentang perbandingan agama-agama
Karena itu, menurut al-Biruni, metode yang pas untuk menulis historiografi di samping kronologi ialah komparasi. Cara itu pula yang dipilihnya ketika menulis tentang perbandingan agama-agama serta aneka bangsa dan masyarakat.
Dengan demikian, ia dapat sampai pada kesimpulan yang paling mendekati kebenaran. Tak mengherankan bila dunia modern pun menggelarinya sebagai “Bapak Ilmu Perbandingan Agama” dan “Bapak Sosiologi Komparatif”.
Maka dari itu, dalam meneliti India pun ia membandingkannya dengan peradaban atau kebudayaan lain yang pernah dipelajarinya. Sebut saja, Yunani Kuno, Majusi (Zoroastrian), Kristen, Yahudi, Maniisme, dan Sufisme.
Dalam pengamatannya, kebudayaan India tak jauh berbeda dengan beberapa dari tradisi-tradisi tersebut. Sebagai contoh, panteisme juga ditemukan dalam kepercayaan Hindu dan Yunani. Komparasi juga dilakukannya ketika menjelaskan fenomena kasta dalam masyarakat India. Menurutnya, pola yang sama juga ditemukan pada bangsa Persia, yang meyakini bahwa manusia terbagi ke dalam strata sosial sejak lahir.
Tentunya, al-Biruni tidak melewatkan topik sumbangsih peradaban India bagi khazanah ilmu pengetahuan. Contoh utamanya adalah sistem angka India yang dibaca secara deretan, dari kiri ke kanan. Sistem anka, demikian namanya, jauh lebih praktis dibandingkan sistem bilangan Romawi.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.