Teraju
Tantangan Pemulihan Ekonomi Global yang Rontok
Pemulihan ekonomi diproyeksi kembali ke level sebelum pandemi pada medio 2022 diiringi sejumlah risiko.
OLEH AGUNG P VAZZA
Perang menghadapi pandemi virus belum usai. Hampir seluruh negara, termasuk di Asia dan Asia Tenggara, harus menghadapi tantangan yang sama, di waktu yang bersamaan pula.
Situasi seperti ini sangat jarang terjadi. Boleh jadi, peperangan melawan pandemi virus belum akan tuntas dalam waktu cepat. Kalaupun, mudah-mudahan, bisa secepatnya tertangani lantaran keberadaan vaksin semakin nyata, setiap negara masih harus menghadapi tantangan pemulihan ekonomi yang rontok sebagai konsekuensi penanganan pandemi.
Setelah berbulan-bulan diberlakukan pembatasan kegiatan sosial dan ekonomi, banyak negara mulai melakukan upaya menyeimbangkan kebijakan antara dua persoalan yang sesungguhnya bukan pilihan.
Banyak negara kini mulai berupaya menghindari keruntuhan total perekonomian sekaligus mencegah meluasnya atau munculnya gelombang baru pandemi, plus distribusi vaksin. Keseimbangan pilihan tersebut jelas bukan perkara mudah. Tetapi, setidaknya, celah-celah pemulihan ekonomi ditengarai mulai terlihat.
Perekonomian dunia yang rontok selama 2020 diperkirakan membaik setelah vaksin mengalami progres. Ekonomi global diperkirakan berbalik arah pada 2021, meski masih dibayangi varian baru virus.
Dalam World Economic Outlook (WEO) Juni lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi perekonomian global 2020 tumbuh 4,4 persen. Dalam WEO Oktober, IMF memproyeksikan pertumbuhan 5,2 persen pada 2021.
Proyeksi serupa juga dicatatkan di Asia. Setelah penurunan tajam pada 2020, perekonomian Asia mulai berbalik arah pada 2021. Hanya saja, pemulihan perekonomian diperkirakan berjalan lambat lantaran masa depan penanganan pandemi belum benar-benar jelas. Ditambah lagi dengan munculnya varian baru virus.
Perekonomian kawasan diperkirakan baru akan kembali ke level sebelum pandemi pada 2022, dengan catatan efektivitas vaksin benar-benar terjadi, yang mempengaruhi percepatan pemulihan.
Setidaknya, begitulah hasil survei Japan Center for Economic Research dan Nikkei. Survei yang digelar November-Desember 2020 ini menghimpun jawaban dari ekonom dan analis dari lima negara utama Asia Tenggara (Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand), dan India.
Proyeksi pertumbuhan lima negara utama Asia Tenggara (ASEAN-5) sepanjang 2020 dan 2021, masing-masing -5,0 persen dan 4,3 persen. Angka ini tidak berubah dari proyeksi survei sebelumnya.
Angka pertumbuhan 2021 memang menunjukkan pemulihan V-shape untuk setiap negara. Tetapi ini lebih karena peng hitungan base effect. Pastinya, kelima negara tersebut masih harus menghadapi ketidakpastian terkait penanganan pandemi. Lain kata, pemulihan ekonomi pada 2021 bakal sangat bergantung pada perkembangan situasi penanganan pandemi.
Proyeksi 2020 Singapura dan Thailand sedikit membaik dibanding survei sebelumnya terutama karena akselerasi belanja publik dan ekspor. "Indikator bulanan menunjukkan tanda-tanda pembalikan, tapi masih sangat lemah," ungkap Yuma Tsuchiya, dari MUFG Bank, mengenai perekonomian Singapura.
Konsumsi swasta masih lambat lantaran melemahnya daya beli akibat kehilangan lapangan kerja sangat besar.JUNIMAN, Kepala Ekonom Maybank Indonesia
Sedangkan untuk Indonesia, Malaysia, dan Filipina, proyeksi 2020 sedikit menurun dibanding sebelumnya. "Konsumsi swasta masih lambat lantaran melemahnya daya beli akibat kehilangan lapangan kerja sangat besar," jelas Juniman, kepala Ekonom Maybank Indonesia, dilansir Nikkei Asian Review.
"Pertumbuhan ekonomi diharapkan mulai pulih pada paruh kedua 2021, meski belum menyamai level sebelum pandemi," kata Wisnu Wardana, ekonom Bank Danamon, dilansir laporan hasil survei JCER-Nikkei. Juniman dan Wisnu merupakan responden survei asal Indonesia.
Dalam survei yang sama, muncul pula pandangan dan prakiraan yang lebih positif terkait pemulihan ekonomi. "Prospek pemu lihan terlihat membaik lantaran munculnya harapan terjadap vaksin dan stimulus yang mendorong konsumsi," begitu ditekankan Vincent Loo Yeoung Hong, ekonom senior di KAF Research, Malaysia.
Selain itu, "permintaan global juga diharapkan meningkat tahun depan, dimotori akumulasi penarikan tabungan dan belanja rumah tangga," tambah Manu Bashkran, CEO Centennial Asia Advisors, Singapura.
Risiko
Secara keseluruhan, ekonom dalam survei yang sama menyebutkan negara-negara Asia Tenggara diproyeksikan mengalami pertumbuhan positif pada kisaran kuartal satu dan dua 2021. Sedangkan proyeksi perekonomian kembali ke level sebelum pandemi, setidaknya untuk keenam negara tersebut, bisa terealisasi pada 2022.
Nicolas Mapa, ekonom senior ING Bank Philippines, menyebutkan khusus Indonesia dan Filipina, bisa kembali ke level sebelum pandemi masing-masing pada pertengahan 2022 dan awal 2022.
Begitupun, pemulihan tersebut disebutkan masih sangat lemah dan harus pula menghadapi ketidakpastian, terutama terkait penanganan pandemi dan efektivitas vaksin. Selain itu, meski diproyeksi mengalami pemulihan V-shape pada 2021/2022, tapi responden dalam survei juga mencatat tetap ada risiko yang membayangi.
Khusus Indonesia dan Filipina, bisa kembali ke level sebelum pandemi masing-masing pada pertengahan 2022 dan awal 2022.NICOLAS MAPA, Ekonom Senior ING Bank Philippines
Sonal Varma, kepala ekonom Nomura India, menyebutkan sedikitnya ada tiga risiko, yaitu munculnya gelombang baru pandemi, belanja fiskal yang semakin terbatas, dan berkurangnya permintaan. Semua risiko tersebut bisa muncul pada saat bersamaan dengan berlanjutnya proses normalisasi kegiatan perekonomian.
Meski risiko-risiko tersebut muncul, tapi risiko tertinggi dan menjadi pusat perhatian, menurut Carlo Asuncion, kepala ekonom Union Bank of the Philippines, tetap Covid-19. Boleh jadi, lantaran itu pula, "Isu paling penting pada 2021 adalah efektivitas vaksin," jelas Dendi Ramdani, kepala Departemen Industri dan Regional Riset Bank Mandiri.
Menurut Dendi, distribusi dan pelaksanaan pemberian vaksin sampai benar-benar mampu meyakinkan dan menerbitkan optimisme publik, membutuhkan waktu cukup lama.
Lantaran itu pula, Wan Suhaimie, kepala Riset Ekonomi Kenang Investment Bank Malaysia, menegaskan, sedikit saja hasil negatif vaksin berpeluang gelombang baru pelemahan perekonomian.
Belum lagi memperhitungkan risiko lain yang tak kalah serius, seperti disebut Umar Juoro, ekonom senior Habibie Center. "Meningkatnya pengangguran dan utang (pemerintah) merupakan risiko utama yang bisa menghambat pemulihan perekonomian," tegas Umar.
Pandangan senada dilontarkan Emilio Neri, vice president Bank of the Philippine Islands. "Peningkatan pinjaman pemerintah sangat mungkin meningkatkan tekanan kenaik an suku bunga."
Upaya negara-negara di Asia Tenggara menyeimbangkan langkah menghindari keruntuhan total perekonomian sekaligus mencegah gelombang baru pandemi, di tengah situasi dan kondisi yang masih dipenuhi ketidakpastian, jelas bukan perkara sederhana. Peningkatan belanja publik dan pelonggaran kebijakan moneter sudah dilakukan demi menopang perekonomian.
Penentu kebijakan sudah pula mengeluarkan beragam stimulus dan jaring pengaman sosial, plus memperhatikan secara saksama mesin-mesin ekonomi yang mungkin bisa dihidupkan sehingga roda perekonomian bertahap kembali bergulir. Begitu pula korporasi dan dunia usaha.
Distribusi dan efektivitas vaksin diakui berpeluang menjadi 'game changer' pada 2021. Kontribusi publik pun bisa menjadi faktor kunci, sesederhana kedisplinan memakai masker, menjaga jarak (menghindari kerumunan), dan mencuci tangan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.