Internasional
Pangan Dunia Terpapar Pandemi Covid-19
Produksi pangan terganggu akibat kelangkaan pangan meningkat sepanjang pandemi.
ROMA -- Produksi pangan yang mengalami disrupsi atau gangguan mengakibatkan kelangkaan pangan meningkat sepanjang 2020. Penyebabnya mulai dari kebakaran hutan, serangan belalang yang merusak panen, perubahan iklim, hingga lockdown akibat pandemi Covid-19.
"Bahkan, sebelum serangan Covid-19, sebanyak 135 juta orang sudah di ambang kelaparan. Angka ini bisa berlipat ganda hanya dalam hitungan bulan," ujar David Beasley, kepala badan PBB yang mengurusi pangan World Food Programme (WFP), Ahad (27/12). "Tanda-tanda itu memperkuat bukti yang ada saat ini," ujarnya.
Beasley mengingatkan, Burkina Faso, Nigeria, Sudan Selatan, dan Yaman menghadapi kelaparan. Padahal, katanya, dampak dari pandemi Covid-19 masih belum mencapai puncaknya di beberapa tempat. Ia pernah mengatakan di hadapan Dewan Keamanan PBB pada April lalu bahwa dunia menghadapi "pandemi lapar" dan "kelaparan berlipat ganda".
Pada saat bersamaan, aksi dan kerja sama di ranah, seperti ilmu pengetahuan dan teknologi cepat membantu mengatasi krisis akibat virus korona.
Bahkan, sebelum serangan Covid-19, sebanyak 135 juta orang sudah di ambang kelaparan. Angka ini bisa berlipat hanya dalam hitungan bulan.DAVID BEASLEY, Kepala WFP
Petani dan warga miskin di perkotaan menjadi orang yang paling menanggung beban berat akibat pandemi. Kepala Bidang Sains Food and Agriculture Organization (FAO) Ismahane Elouafi mengatakan, ketimpangan domestik maupun antara negara diperkirakan akan lebih berat pada 2021. Terputus dari rantai pasar serta merosotnya permintaan barang dan jasa membuat petani harus berjuang menjual produk mereka.
Sementara, pekerja sektor informal di kawasan perkotaan yang hidup pas-pasan kini kehilangan pekerjaan saat lockdown. Akibatnya, kata Elouafi, jutaan orang--mulai dari Texas dan Jenewa hingga Bangkok dan Accra--untuk pertama kalinya terpaksa menggantungkan hidup pada pemberian makanan.
Sementara lebih dari 50 juta orang di Afrika Tengah dan Timur membutuhkan bantuan pangan. Lembaga kemanusiaan Oxfam mengatakan, angka mereka akan bertambah seiring kekeringan panjang yang terjadi dipicu pola iklim La Nina.
Dua laporan PBB yang terbaru memperingatkan bahwa pandemi virus korona bisa meningkatkan kemiskinan ekstrem. Satu dari 33 orang di dunia membutuhkan bantuan kemanusiaan pada 2021 untuk memenuhi kebutuhan harian mereka, seperti pangan dan air. Angka ini naik 40 persen dari tahun ini.
Pertanda
Direktur International Centre for Climate Change and Development di Bangladesh Saleemul Huq mengatakan, Covid-19 adalah "pertanda" dari krisis iklim. "(Virus) menyerang kita hanya dalam hitungan hari dan bulan. Semoga saja semua itu akan berlalu dalam satu atau dua tahun, jika semua yang terkait vaksin berjalan lancar. Namun, masalah perubahan iklim masih akan terus ada untuk waktu yang jauh lebih lama," ujar Huq.
"Salah satu dampak utama adalah produksi pangan, di semua benua, mengenai pada pertanian, perikanan, dan ternak."
Upaya terkait iklim kerap dititikberatkan pada pemotongan emisi gas rumah kaca yang berasal dari energi dan transportasi. Padahal, menurut penelitian University of Oxford, transformasi sistem pangan juga amat penting untuk menjaga pemanasan global tetap pada level yang bisa dikendalikan.
Namun, ketua peneliti Michael Clark menyebut, mengubah jaring sistem pangan dunia yang luar biasa rumit dan mengglobal juga menjadi tantangan besar. Alasannya, kata Clark, bukan karena tidak ada makanan pengganti. Hal yang perlu diperhatikan juga adalah bagaimana sumber pangan tumbuh, apa yang dikonsumsi, serta cara mengurangi kerugian dan menyia-nyiakan makanan.
Namun, para ahli menilai masih ada harapan. Ahli sistem pangan di UN Environment Programme (UNEP), James Lomax, mengatakan, terlalu fokus pada hasil panen akan mengorbankan lingkungan, nutrisi, dan rasa keadilan. Maka, pendekatan menyeluruh antara pangan, kesehatan, alam, dan iklim menawarkan peluang untuk mengubah secara radikal produksi dan konsumsi pangan.
"Kita punya peluang untuk meluruskan masalah ini," ujar Elouafi.
Pasokan pulau terpencil
Infeksi virus korona hampir tidak menyentuh banyak pulau terpencil di Pasifik seperti Fiji. Hanya saja, pandemi mengganggu rantai pasokan yang membawa impor pangan dan membuat harga melonjak seiring penurunan pariwisata.
Terisolasi secara geografis dengan lahan subur yang terbatas dan meningkatnya urbanisasi, banyak negara dan wilayah kepulauan Pasifik telah melihat populasinya bergeser dari pekerjaan berbasis pertanian tradisional ke pariwisata. Tren ini telah menciptakan peningkatan ketergantungan pada makanan impor seperti daging kornet, mie, dan makanan olahan lainnya daripada makanan tradisional lokal seperti ubi dan talas yang kaya nutrisi.
Direktur Kantor Penghubung Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jepang, Eriko Hibi, menyebut pergeseran itu sebagai beban tiga masalah kesehatan. Beban tersebut adalah kekurangan gizi, defisiensi mikronutrien, dan obesitas.
Saat pandemi melanda, hampir semua negara di kawasan itu menutup perbatasannya. Rantai pasokan pengiriman, termasuk pupuk untuk pertanian dan makanan, terganggu, menyebabkan harga naik. Di Suva, Fiji, harga beberapa buah dan sayuran segar naik hingga 75 persen selama minggu-minggu pertama.
Pada saat yang sama, menurt Hibi, pariwisata yang menyumbang hingga 70 persen dari produk domestik bruto beberapa negara terhenti. Kondisi ini menyebabkan ribuan pengangguran dengan akses yang menurun ke makanan. “Bukan hanya ketersediaan harga di pasar tetapi juga daya beli konsumen yang turun," kata Hibi.
Dengan krisis pangan yang mengancam, pemerintah telah memulai prakarsa masyarakat untuk membantu mengatasi kondisi itu. Mereka mencoba memperpanjang musim penangkapan ikan, memperluas pelajaran memproduksi makanan asli, dan mendukung program distribusi benih yang memungkinkan kemandirian penduduk yang lebih besar.
Proyek ini menyediakan benih sayuran, anakan, dan peralatan pertanian dasar bagi penduduk untuk membantu menanam di kebun rumah sendiri. "Kami awalnya mulai dengan 5.000 bibit dan berpikir kami akan menyelesaikannya dalam waktu sembilan bulan. Tetapi ada tanggapan yang sangat besar, dan kami selesai mendistribusikan benih dalam satu minggu," kata kepala operasi Kementerian Pertanian Fiji, Vinesh Kumar.
Manajer penelitian di lembaga penelitian yang berbasis di Australia, Future Directions International, Mervyn Piesse, mengatakan masih terlalu dini untuk mengetahui manfaat kesehatan potensial dari konsumsi hasil lokal. Namun, pola makan regional mungkin bergeser dari impor ke makanan yang lebih segar, bahkan setelah pandemi.
"Menurut saya, ada gerakan di beberapa bagian Pasifik bagi orang-orang untuk mulai berpikir tentang, 'Jika kita sendiri dapat menanam makanan selama pandemi global, mengapa kita tidak dapat melakukan hal yang sama pada waktu normal?'" ujar Piesse.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.