Olahraga
Untuk PSSI, Sepak Bola (Bukan) Ugal-ugalan
PSSI di bawah komando Iwan Bule sudah saatnya bekerja lebih serius dan fokus pada prestasi.
OLEH MOHAMMAD AKBAR
“In the midst of chaos, there is also opportunity.” (Di tengah kekacauan, ada saja kesempatan).
Sepenggal kalimat dari ahli strategi Sun Tzu itu rasanya cukup pantas untuk merespons persoalan yang kini masih melilit sepak bola nasional. Sun Tzu adalah seorang filsuf Cina yang pernah melahirkan karya maestro bernama the Art of War.
Dalam perspektif positif, apa yang disampaikan Sun Tzu tadi sejatinya menyelipkan harapan bahwa kekacauan yang diakibatkan pandemi Covid-19 ini masih ada peluang untuk melakukan perubahan. Pertanyaan mendasarnya, mampukah sepak bola Indonesia itu berubah menjadi lebih baik ketika urusan domestik masih belum bisa dituntaskan?
Apa itu urusan domestik? Jika kita berkaca pada PSSI sebagai induk otoritas sepak bola nasional, persoalan fundamental yang masih dihadapi adalah kepemimpinan.
Dalam hal ini, PSSI di bawah kendali Mochammad Iriawan masih dihadapkan pada usahanya merancang solusi atas dihentikannya kompetisi Liga 1 dan Liga 2. Meski sempat memberi harapan untuk melanjutkan kompetisi pada Oktober silam, Polri—lembaga yang sebenarnya membesarkan pria yang akrab disapa Iwan Bule ini—tidak mengeluarkan izin untuk melanjutkan kompetisi.
Suara-suara sumbang pun mulai terdengar. Purnawirawan Polri bintang tiga itu dinilai tak cukup kuat untuk memberikan kepastian dan jaminan buat kelanjutan kompetisi di negeri ini. Inilah tugas besar yang harus dibenahi oleh Iwan Bule dan PSSI untuk menatap 2021.
Saat vaksin Covid-19 sudah mulai disiapkan secara masif pada tahun depan, inilah momentum bagi PSSI untuk bergerak cepat menyiapkan kompetisi. Namun, sekali lagi pertanyaan menyelip, mampukah semua penduduk negeri ini menjalankan protokol kesehatan secara ketat sehingga membuat kompetisi di Indonesia bisa kembali bergulir?
Di sini kita memang harus bersikap proporsional bahwa untuk memastikan kompetisi bisa dilanjutkan bukan menjadi tanggung jawab PSSI. Masyarakat sebagai stakeholder utama harus bisa saling meyakinkan dan menguatkan para pengambil kebijakan bahwa kompetisi sudah selayaknya digelar pada tahun depan. Dengan digulirkannya kompetisi, roda-roda bisnis dan euforia bisa dihidupkan kembali dari mati surinya.
Pekerjaan PSSI via PT Liga Indonesia Baru (LIB) sebagai operator kompetisi Liga 1 dan 2 setidaknya bisa lebih ringan karena FIFA membatalkan hajatan Piala Dunia U-20 2021 di Indonesia. PSSI jadi bisa berkonsentrasi penuh mengupayakan kompetisi bergulir tanpa khawatir jadwal yang singkat karena berbenturan dengan persiapan dan penyelenggaraan Piala Dunia U-20.
Selain kompetisi, gunjingan miring dari PSSI adalah persoalan integritas. Mendekati pengujung tahun ini, beredar kabar tentang ‘jual-beli’ jabatan manajer timnas U-19. Andai rumor itu benar adanya, rasanya menjadi tamparan keras kepada Iwan Bule yang pernah berjanji untuk membebaskan PSSI dari oligarki politik dan modal.
Memang benar untuk menjadi seorang manajer, butuh kepiawaian untuk menjadi ‘mesin uang’ buat memenuhi semua kebutuhan teknis para pemain maupun tim. Namun, ketika proses pencarian dilakukan secara lelang tanpa disertai oleh kapasitas dan tekad memajukan timnas, rasanya hal itu akan menjadi sia-sia saja.
Pertanyaan kembali muncul, memangnya selama ini orang-orang yang mengelola timnas itu sudah bulat tekadnya untuk kepentingan timnas dibanding urusan bisnis kelompok semata? Sekali lagi, pertanyaan usil semacam ini harus benar-benar dibuktikan, bukan sekadar meresponsnya secara normatif.
Ingatlah, peringkat timnas Indonesia versi FIFA yang tak kunjung membaik menjadi lecutan untuk memperbaiki diri. Rasanya kalimat ini terdengar basa-basi saja. Namun, inilah yang harus terus digaungkan. Berdasarkan pengumuman yang disampaikan pada 10 Desember lalu, Indonesia berada di posisi ke-173. Posisi itu tertinggal jauh dari Thailand (posisi 111), Filipina (124), Myanmar (137), Malaysia (153), Singapura (158), serta Kamboja (172).
Tentunya terasa sangat malu jika melihat hasil ranking terbaru FIFA. Untuk itu, PSSI di bawah komando Iwan Bule sudah saatnya bekerja lebih serius dan fokus pada prestasi. Rumor yang sempat beredar kalau orang nomor satu PSSI itu berniat maju ke dalam kontestasi pilkada pada 2023, tentunya jangan sampai terjadi. Seperti halnya Letjen TNI (Purn) Edy Rahmayadi yang kini memilih menjabat sebagai gubernur Sumatra Utara.
Sebagai penggemar timnas dan sepak bola nasional, kita semua sudah sangat dahaga prestasi. Sudahlah, jangan lagi menjadikan PSSI itu sebagai batu loncatan untuk mengejar ambisi pribadi. Sebaliknya, bagaimana mengembalikan muruah Soeratin Sosrosoegondo untuk menjadikan PSSI sebagai alat pemersatu serta pengangkat martabat bangsa di pentas dunia.
Semoga saja kekacauan yang sudah terjadi sepanjang 2020 ini memberikan pelajaran untuk lekas memperbaiki diri. Menyitir motivasi dari Mahatma Gandhi bahwa berusaha keras itu adalah kemenangan terbesar. Inilah yang dibutuhkan sekarang untuk memajukan sepak bola nasional. Berusaha menghidupkan kembali kompetisi sambil menanti PSSI yang bisa dikelola secara profesional, bukan ugal-ugalan!
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.