Anggota tim penyidik Bareskrim Polri memperagakan adegan saat rekonstruksi kasus penembakan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di Karawang, Jawa Barat, Senin (14/12/2020) dini hari. Rekonstruksi tersebut memperagakan 58 adegan kasus penembakan | ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar

Nasional

Rekonstruksi Kasus Kematian Laskar FPI Dinilai Janggal

Komnas HAM akan meminta keterangan tim dokter yang melakukan autopsi kematian laskar FPI.

JAKARTA — Rekonstruksi yang digelar kepolisian terkait terbunuhnya enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) pada Senin (14/12) kemarin dinilai memiliki kejanggalan. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai, ada sejumlah keganjilan dalam reka ulang tersebut. Salah satunya terkait keterangan pers kepolisian yang menyebut kematian empat orang laskar terjadi di mobil.

"Adalah dead in custody. Bagaimanapun tujuan awalnya ialah mengejar informasi dari terlapor, yakni HRS. Namun, berujung pada kematian enam orang pendamping," kata Wakil Koordinator Kontras Bidang Riset dan Mobilisasi, Rivanlee Anandar, kepada Republika, Rabu (16/12).

Kejanggalan lain, bila dituduh melawan di dalam mobil lalu dimatikan, mengapa pihak polisi tidak melakukan persiapan. Padahal, ketika di luar mobil polisi, keempat anggota FPI disebut membawa samurai atau celurit.

Koalisi Masyarakat Sipil juga menilai ada banyak kejanggalan dalam peristiwa yang menyebabkan meninggalnya enam laskar FPI. Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Nelson Nikodemus Simamora mendesak kasus ini harus diusut karena diduga kuat terdapat pelanggaran hak asasi manusia. Khususnya hak atas peradilan yang adil dan hak hidup warga negara.

Padahal, konstitusi RI menjamin setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia harus diajukan ke pengadilan dan dihukum melalui proses yang adil dan transparan.

"Beberapa kejanggalan di antaranya mengapa polisi sampai membuntuti pihak FPI hanya karena mendengar kabar akan ada pengerahan massa untuk unjuk rasa. Alasan penembakan juga bersifat umum, yakni karena ada penyerangan dari anggota FPI," kata Nelson.

Menurut dia, jika memang pihak FPI disebut polisi memiliki senjata api, mengapa tidak dilumpuhkan saja. Nelson menegaskan, jika ada dugaan kepemilikan senjata api yang tidak memiliki izin, hal ini merupakan pelanggaran hukum dan harus diusut tuntas pula.

"Kronologi kejadian juga saling bertolak belakang antara FPI dan kepolisian. Tentunya kronologi tersebut tidak bisa ditelan mentah-mentah karena sering kali tidak benar," ujar ketua Advokasi LBH Jakarta tersebut.

Pada Senin (15/12) dini hari WIB, tim dari Bareskrim Polri melakukan rekonstruksi kasus penembakan enam laskar FPI di empat tempat kejadian perkara (TKP). Di lokasi-lokasi itu, setidaknya digelar 58 adegan rekonstruksi yang memperlihatkan awal mula penyerangan laskar FPI hingga polisi melakukan tindakan tegas terukur.

Kabareskrim Komisaris Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo menegaskan, rekonstruksi penembakan terhadap enam laskar di Jalan Tol Jakarta-Cikampek belum final. "Rekonstruksi yang kita lakukan tadi malam itu adalah bagian dari proses penyidikan yang dilakukan oleh Bareksrim Polri. Artinya, rekonstruksi yang dilakukan belum merupakan hasil final," kata Listyo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (15/12). 

Lebih lanjut, kata Listyo, jika kemudian ada temuan-temuan baru terkait dengan informasi, saksi, maupun bukti-bukti lain, tidak menutup kemungkinan akan dilanjutkan dengan proses rekonstruksi lanjutan.

Keterangan dokter

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akan meminta keterangan dari tim dokter RS Polri yang melakukan autopsi enam jenazah laskar FPI. Komisioner Komnas HAM Mohamad Choirul Anam mengatakan, pihaknya sudah bersurat kepada Mabes Polri terkait permintaan keterangan tersebut, Rabu (16/12).

“Surat permintaan keterangan sudah kami (Komnas HAM) sampaikan kepada kabareskrim Mabes Polri. Dokter yang melakukan autopsinya yang akan kita mintai keterangan,” kata Anam, kepada Republika, Rabu.

Ia menambahkan, permintaan keterangan tersebut diperlukan tim pengungkapan Komnas HAM. Sebab, diduga setelah insiden mematikan yang terjadi di Tol Japek Km 50, personel kepolisian membawa enam jenazah ke RS Polri. Tim dokter dari RS Polri yang melakukan autopsi.

“Kita menunggu konfirmasi dari mereka (Polri) untuk bersedia mengizinkan dokter (autopsi) memberikan keterangan (ke Komnas HAM),” katanya menegaskan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat