Nasional
Literasi Bencana Jadi Solusi Mitigasi
Indonesia seharusnya mampu meningkatkan literasi kebencanaan demi memperkaya mitigasi bencana.
JAKARTA – Indonesia sebagai wilayah rentan terjadinya bencana alam memiliki kelebihan dalam mengumpulkan ilmu-ilmu kebencanaan, baik sumber bencana dan dampak sosialnya. Karena itu Indonesia sebagai laboratorium bencana seharusnya mampu meningkatkan literasi kebencanaannya demi memperkaya mitigasi bencana.
Deputi Bidang Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Lilik Kurniawan, mengakui, cukup disayangkan bila setiap kejadian bencana terlewatkan begitu saja, menyisakan rehabilitasi dan rekonstruksi. Sedangkan kajian dan riset tentang sumber dan dampak kebencanaan yang bisa menjadi bahan mitigasi justru terabaikan.
“Perlu bagi kita untuk selalu mempelajari setiap kejadian bencana, bukan hanya ancamannya saja tetapi juga kerentanan dan kesiapsiagaan juga kapasitasnya. Sehingga kita bisa kaya dengan literasi kebencanaan dan membantu mitigasi bencana di Tanah Air,” kata Lilik dalam Webinar Literasi Kebencanaan di Indonesia, Ahad (13/12).
Lilik mengatakan, data dari BNPB dari 1 Januari sampai dengan 10 Desember 2020 setidaknya telah terjadi 2.676 kejadian bencana di Indonesia. Namun lebih dari itu, bagaimana setiap kejadian bencana bisa dituliskan narasi keilmuannya dan dipaparkan dalam literasi studi kebencanaan yang lebih mendalam. “Maka ini akan menjadi warisan bagi generasi berikutnya,” ujar dia.
Menurut Lilik, bencana alam di Indonesia sebagian besar adalah peristiwa yang berulang. Hari ini bisa saja terjadi sama dengan 10 tahun lalu dan kemudian. Seperti bencana hidrometeorologi, ia memastikan bencana itu terjadi hampir setiap tahun.
Begitu juga dengan bencana tektonik dan kegunungapian. Hampir setiap tahun akan berulang gunung api mana yang akan meletus dan wilayah mana yang terdampak. Jika dibuat langkah kesiapsiagaan lebih baik, kata Lilik, maka tidak akan ada korban dari setiap bencana yang terjadi.
Karena itu, ia menekankan pembelajaran dan literasi kebencanaan memang harus terus ditingkatkan. Sebab masyarakat Indonesia memang ditakdirkan tinggal di negeri yang rawan bencana. Paling tidak dengan literasi kebencaan itu bisa membantu melakukan upaya-upaya untuk mengurangi jatuhnya korban.
Ketua Umum Perkumpulan Literasi Indonesia, Wien Muldian, mengatakan, literasi kebencanaan bukan hanya gerakan yang sekadar mengajak membaca. Namun literasi kebencanaan adalah gerakan kolaborasi, kesadaran bersama akan pemahaman kebencanaan serta adaptasi kebiasaan baru, mulai dari mitigasi, rehabilitasi dan rekonstruksinya.
Tentunya, lanjut dia, keterampilan bukan hanya membaca yang diperlukan, namun juga menyimak, mendengarkan, dan berbahasa, sehingga menghadirkan kecakapan individu dalam merespon literasi kebencanaan. Hal ini akan mendukung apabila ada informasi baru tentang kebencanaan, maka masyarakat akan respons dan peduli dan menghadirkan sikap aksi baik mitigasi, rehabilitasi dan rekonstruksi dalam merespons bencana.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Philips J Vermonte, menambahkan, pada akhirnya peningkatan literasi kebencanaan ini akan berdampak pada kebijakan pemerintah Indonesia. Karena akan terlihat seberapa besar pemerintah mendukung terciptanya literasi kebencanaan yang baik, mulai dari sisi kapasitas para ahli kebencanaan, maupun kebijakan mitigasi kebencanaannya.
“Kalau kita diibaratkan sebagai laboratorium bencana maka akumulasi pengetahuan dari laboratorium itu harus muncul, harus hadir berbagai ahli dan peneliti pengetahuan yang berguna bagi penyelesaian persoalan kebencanaan ini. Apakah itu sudah mampu menjawab literasi kebencanaan kita? Jawabannya belum,” kata dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.