Tema Utama
Masa Gemilang Imperium Mali
Peneliti modern mengakui Mansa Musa sebagai manusia terkaya sepanjang masa.
OLEH HASANUL RIZQA
Beberapa tahun setelah kematian—atau lebih tepat: hilangnya—Sakura, Imperium Mali dipimpin seorang raja (mansa) yang bernama Musa. Mansa Musa merupakan penguasa yang membawa Mali ke puncak kejayaan. Raja ke-10 dalam Dinasti Malinke itu bahkan hingga kini didaulat sebagai manusia terkaya yang pernah tercatat sejarah dunia.
Dalam tubuhnya, mengalir darah sang pendiri Imperium Mali, Sundiata Keita. Para petinggi dan rakyat setempat pun sangat menghormatinya. Tidak cuma itu, penguasa berjulukan “Sang Pemilik Ladang Emas Wangara” itu juga dicintai karena kepribadiannya yang dermawan, tegas, dan adil. Reputasinya tidak hanya dikenal di kawasan Afrika Barat, tetapi juga Arab dan Eropa.
Musa lahir pada 1280. Tidak banyak yang bisa diketahui dari masa kecilnya. Keluarganya tergolong biasa saja meskipun diakui masih berdarah bangsawan. Ayahnya, Faga Laye, merupakan pejabat di birokrasi. Hingga masa dewasanya, Musa terus berkarier di lingkaran pemerintahan hingga namanya diangkat menjadi kepala daerah oleh Mansa Sakura.
Sebelum berlayar demi mewujudkan ambisinya mencapai “ujung Lautan”, Sakura mendaulat Musa sebagai penggantinya kelak. Keputusan itu menandakan peralihan pusat kekuasaan yang sebelumnya dipegang kalangan militer non-trah Sundiata.
Ditunggu selama beberapa tahun, Sakura tak kunjung tiba dari pelayarannya di Samudra Atlantik. Akhirnya, para tokoh masyarakat Mali mengangkat Musa sebagai raja baru.
Ditunggu selama beberapa tahun, Sakura tak kunjung tiba dari pelayarannya di Samudra Atlantik.
Di antara sumber-sumber utama tentang riwayat Mansa Musa ialah historiografi karya sejarawan Arab kelahiran Damaskus (Suriah), Syihabuddin al-Umari (1301-1349). Menurut al-Umari, Musa merupakan seorang pemimpin Muslim yang alim dan saleh.
Raja Imperium Mali itu berkomitmen dalam menyebarluaskan agama tersebut di seluruh wilayah kekuasaannya. Baginya, “Islam merupakan pintu masuk menuju dunia yang beradab.”
Masih dalam penuturan al-Umari, penguasa berkulit gelap itu berhasil membawa Mali ke masa gemilang. Selama 25 tahun memerintah negerinya, ia sukses meningkatkan taraf kehidupan rakyatnya.
Pada abad ke-14, ketika Eropa mengalami stagnan dan bahkan diterpa wabah pes “Kematian Hitam” (The Black Death), Kerajaan Mali sedang menikmati kemakmuran luar biasa. Hal itu ditunjang produksi komoditas utamanya, yaitu emas.
Sesungguhnya, region Afrika Barat sejak ratusan tahun silam dikenal sebagai daerah penghasil emas—bahkan hingga hari ini. Sebelum Mali, Kerajaan Ghana pernah berjaya berkat tambang-tambang emas di sekitar Sungai Niger.
Namun, Ghana merasakan dampak besar dari penggurunan (desertification) pada awal abad ke-13. Barulah pada zaman sesudahnya, terutama di bawah kendali Mali, pusat-pusat penambangan emas kembali hidup dan merebak.
Bermodal macam-macam “gunung” emas itu, Musa membangun berbagai infrastruktur di daerah-daerah kekuasaannya. Seperti penguasa Muslim pada umumnya, fokus pembangunannya terutama pada masjid, madrasah, dan pasar.
Dua kota terpenting Mali, Gao dan Timbuktu, disulapnya menjadi mercusuar peradaban Islam. Timbuktu menjadi tempat berdirinya Madrasah Sankore yang peninggalannya masih dapat dijumpai hingga kini.
Tentunya, ibu kota tidak luput dari perhatiannya. Di Niani, Musa membangun sebuah istana besar, yang menghadap alun-alun luas. Pada masa kekuasaannya, Mali memiliki tak kurang dari 400 kota besar. Masyarakat setempat hidup dalam budaya urban yang terbuka dan berwawasan kosmopolitan.
Naik haji
Pada 1324, Mansa Musa melaksanakan haji ke Baitullah. Sebelum memulai rihlah tersebut, ia menugaskan putranya, Magha Keita, untuk memimpin Mali selama dirinya berada di luar negeri.
Al-Umari menceritakan misi ibadah itu dengan cukup perinci. Persiapan dilakukan selama sembilan bulan berturut-turut. Pada bulan ke-10, sang raja dan istrinya, Inari Kanute, pun memulai perjalanannya untuk mengamalkan rukun Islam kelima.
Menurut al-Umari, ribuan orang mengikuti rombongan Musa. Di antaranya adalah para budak, prajurit, jenderal, dan menteri tepercaya. Masing-masing menunggangi unta atau hewan ternak lainnya. Tiap kereta tidak hanya mengangkut perbekalan, seperti bahan makanan, minuman, pakaian, dan tenda.
Sebagai pemilik ladang-ladang emas, sang raja tentunya tidak lupa untuk membawa logam mulia, baik dalam bentuk koin, bongkahan, ataupun batang. Dari seluruh 100 ekor unta yang dibawanya, masing-masing memboyong peti-peti berisi emas. Dari total 500 budak miliknya, setiap mereka menggotong puluhan kotak emas.
Dari total 500 budak miliknya, setiap mereka menggotong puluhan kotak emas.
Untuk sampai ke Makkah al-Mukarramah, Musa memerlukan waktu lebih dari satu tahun. Pada Juli 1324, ia dan para pengikutnya tiba di Mesir. Mereka mendirikan tenda di sekitaran Kairo, tak jauh dari kompleks Piramida.
Kedatangan sang penguasa Mali itu menyebabkan kehebohan di seluruh penjuru kota. Berbondong-bondong warga lokal ingin menjumpainya. Sebab, mereka mendengar kabar bahwa raja Muslim tersebut bersifat dermawan.
Mesir saat itu dikuasai Dinasti Mamluk. Sultan Mesir menyambutnya dengan penuh penghormatan. Begitu melihatnya, Musa memberi isyarat agar penguasa Mamluk itu tidak usah membungkukkan badan kepadanya. “Hanya kepada Allah-lah, rukuk dan sujud dilakukan seorang insan,” katanya.
Tiga bulan lamanya pemimpin Mali itu singgah di Kairo. Sebagai rasa terima kasih, Musa memberinya hadiah sebanyak 50 ribu dinar dan ribuan batang emas. Sedekah emas juga dilakukannya kepada seluruh penduduk Kairo.
Sebagai rasa terima kasih, Musa memberinya hadiah sebanyak 50 ribu dinar dan ribuan batang emas.
Para pedagang setempat memanfaatkan momen ini sebaik-baiknya. Mereka sengaja menaikkan harga barang kepada anggota rombongan raja Mali tersebut. Sebagai contoh, benda yang sebenarnya dihargai 1 dinar, maka naik menjadi 10 dinar.
Namun, hal itu bukanlah masalah bagi Musa dan para penggawanya. Bahkan, para calon jamaah haji asal Mali itu berbelanja dengan cukup royal di pasar-pasar Mesir. Para pemilik toko di sana kebanjiran untung berlipat ganda.
Begitu murah hatinya penguasa yang berjulukan “Sang Singa Mali” itu dalam bersedekah sampai-sampai Mesir mengalami surplus logam mulia. Nilai emas di Negeri Piramida sempat turun drastis hingga 25 persen selama beberapa tahun sesudah kedatangannya.
Sifat murah hati tetap ditunjukkan Musa di Madinah dan Makkah. Di dua kota suci tersebut, ia juga memberikan hadiah berupa emas kepada masyarakat setempat. Kesempatan menginjakkan kaki di Tanah Suci tidak hanya dimanfaatkannya untuk berhaji. Melalui pejabat kota setempat, dirinya mengajak sejumlah ulama lokal, khususnya keturunan Nabi Muhammad SAW, agar bersedia mengikutinya ke Mali.
Sebab, negeri di Afrika Barat tersebut sedang bertransformasi menjadi salah satu pusat peradaban dunia Islam. Untuk itu, kehadiran dai-dai yang alim dan berwawasan luas sangat dibutuhkan.
Akhirnya, beberapa orang ulama keturunan Rasulullah SAW menerima tawaran itu. Betapa gembiranya hati Raja Musa. Hingga kini, para pendakwah Islam di negara Mali dan sekitarnya merupakan anak cucu ulama-ulama yang diboyong sang raja pada abad ke-14 itu.
Tidak hanya pendidik, Musa juga berhasil mengajak seorang arsitek Arab kelahiran Granada (Spanyol) untuk tinggal bersamanya di Mali. Abu Ishaq Ibrahim, demikian namanya, belakangan dikenal dengan julukan al-Sahili. Berbagai masjid dan bangunan publik dirancangnya untuk Musa. Masjid Raya Timbuktu merupakan salah satu karya monumentalnya.
Perjalanan pulang ternyata berlangsung lebih menantang. David Conrad dalam Empires of Medieval West Africa (2005) mengatakan, Musa dan ribuan pengikutnya sempat tersesat di gurun sebelum mencapai Kairo. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, rombongan tersebut akhirnya tiba di pantai Suez.
Mereka memakan apa pun yang berhasil ditangkap dari lautan. Banyak anggota regu yang kemudian berpencar terlalu jauh. Sebagian besar tidak kembali, diduga karena diculik dan lalu dijual sebagai budak oleh suku-suku badui padang pasir. Menurut Conrad, hanya sepertiga dari seluruh rombongan penguasa Mali yang selamat kembali ke rumahnya.
Cerita tentang Raja Musa naik haji masih populer hingga kini. Hal itu menunjukkan sosok penguasa Muslim yang memiliki begitu banyak harta. Bahkan, para peneliti modern mengakui Mansa Musa sebagai orang paling kaya di sepanjang masa.
Menurut profesor sejarah dari University of California Rudolph Butch Ware, kedermawanan sang penguasa Mali itu bahkan “menghancurkan” perekonomian sebuah negeri. Dalam arti, nilai emas di Mesir sempat merosot beberapa tahun lamanya karena nyaris semua orang setempat memiliki lebih banyak logam mulia hasil pemberian dari Musa.
Jumlah kekayaan Musa jika dihitung di masa kini sungguh luar biasa. Betapa kaya dan berkuasanya ia saat itu
“Jumlah kekayaan Musa jika dihitung di masa kini sungguh luar biasa sampai-sampai hampir mustahil untuk benar-benar memahami betapa kaya dan berkuasanya ia saat itu,” ujar Butch Ware, dilansir BBC, Maret 2020 lalu.
Umumnya sejarawan sepakat, Mansa Musa wafat beberapa tahun sesudah kepulangannya dari Tanah Suci. Kematiannya menyisakan duka bagi seluruh negeri. Sekitar 100 tahun sesudahnya, Mali mengalami kemunduran.
Bahkan, Timbuktu lepas dari kendalinya sejak 1433. Imperium Songhay tampil sebagai pengganti kedaulatan Mali di Afrika Barat.
Timbuktu yang Legendaris
Selama 25 tahun berkuasa, Mansa Musa sukses membawa Imperium Mali ke masa-masa yang penuh kemakmuran dan kedamaian. Raja yang lahir pada 1280 itu tidak hanya berhasil mewujudkan stabilitas nasional.
Nama Mali pun mulai dikenal luas dunia internasional sejak kepemimpinannya. Peta dunia yang dibuat pada abad pertengahan, Catalan Atlas, menggelari kerajaan di Afrika Barat tersebut sebagai “tanah milik seorang raja yang kaya akan emas”.
Di sepanjang sejarah Mali, tak ada raja pengganti yang mampu menandingi kualitas Mansa Musa. Ia membangun berbagai kota mercusuar peradaban Islam di penjuru negeri. Yang terbesar di antaranya adalah Timbuktu.
Sesungguhnya, Timbuktu sudah berdiri sejak abad ke-11. Kota tersebut berfungsi sebagai salah satu tempat transit kafilah-kafilah di jalur Trans-Sahara bagian barat. Pendirinya adalah suku bangsa Tuareg.
Menurut hikayat lokal, sebelum mendirikan kota ini orang-orang Tuareg hidup secara nomaden. Mereka kerap menjelajahi padang rumput hingga ke Arawan untuk menggembala ternak tiap musim hujan. Pada musim kering, daerah sekitar aliran Sungai Niger menjadi tujuannya untuk mencari rumput.
Ketika tinggal di sekitar sungai, mayoritas orang Tuareg terserang sakit akibat gigitan nyamuk. Dalam kondisi demikian, mereka memutuskan untuk mencari hunian di tak jauh dari Sungai Niger.
Ketika musim penghujan datang, tradisi pengembaraan pun akan dimulai. Rumah-rumah semipermanen yang mereka dirikan lantas dititipkan kepada seorang wanita tua, Tinabutut, yang kebetulan tinggal dekat sungai. Lokasi itu akhirnya dinamakan sesuai nama perempuan tersebut. Seiring waktu, pengucapannya berubah dari Tinabutut menjadi Timbuktu.
Sejak 1325, Timbuktu mulai dikuasai Mansa Musa. Ia menugaskan seorang arsitek, Abu Ishaq Ibrahim al-Sahili, untuk membangun masjid jami di sana. Juru rancang itu digajinya dengan 200 kilogram emas. Dua tahun kemudian, tempat ibadah itu rampung dikerjakan. Hingga kini, bangunan bernama Masjid Djingareyber itu masih berdiri tegak.
Musa juga mendirikan Madrasah Sankore di Timbuktu. Meskipun bernama “madrasah”, sistem pendidikan di sana tak ubahnya universitas modern. Pada masanya, Sankore memiliki koleksi buku terbanyak kedua setelah Perpustakaan Iskandariah di Mesir. Antara 400 ribu hingga 700 ribu naskah dan kitab terdapat di kampus tersebut.
Saat Musa masih hidup, Timbuktu merupakan salah satu pusat aktivitas intelektual di Afrika Barat. Banyak sarjana yang mengadakan rihlah keilmuan ke sana. Perpustakaan setempat menyimpan begitu banyak manuskrip berharga.
Tak hanya mengenai ilmu-ilmu keislaman, naskah-naskah tersebut juga mengulas tentang beragam ilmu pengetahuan umum. Mulai dari arsitektur, astronomi, ekonomi, geografi, matematika, puisi, musik, obat-obatan, tata bahasa, hingga hak-hak perempuan. Sebagian besar ditulis dalam bahasa Arab, Songhai, Tamasheq, dan Bambara. Naskah yang tertua diketahui berasal dari tarikh 1204.
Selama bertahun-tahun, naskah-naskah tersebut dijaga oleh beberapa keluarga di Timbuktu. Manuskrip-manuskrip itupun diwariskan secara turun-temurun. Namun, menjaga manuskrip-manuskrip berharga itu bukanlah sesuatu yang mudah.
Apalagi ketika Mali berada di bawah kekuasaan kolonial Prancis dan pendidikan bahasa Arab di negara itu meredup, penghargaan terhadap manuskrip abad pertengahan itu pun menurun. Bahkan, ada beberapa orang yang rela menjual naskah-naskah tersebut.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.