Petugas Palang Merah Indonesia (PMI) Solo menunjukan sampel darah saksi tim pemenangan salah satu calon dalam Pilkada Solo, Jawa Tengah, Rabu (2/12). | ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha

Opini

Pilkada Sehat, Mungkinkah?

Ini pilkada paling berat dan mahal dalam sejarah elektoral Indonesia.

TITI ANGGRAINI, Pembina Perludem, Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum UI

Setelah melalui berbagai penundaan dan kontroversi, Rabu, 9 Desember 2020, tiba juga hari-H pemungutan dan penghitungan suara pilkada di 270 daerah. Tercatat 100.359.152 pemilih akan memberikan suaranya di 298.852 TPS.

Ini pilkada paling berat dan mahal dalam sejarah elektoral Indonesia. Pemilihan di tengah pandemi Covid-19 membuat pemilih, peserta, dan penyelenggara harus menyesuaikan seluruh tata cara, teknis, dan mekanisme pemilihan agar sejalan protokol kesehatan.

Sebab, karakter pilkada dan Covid-19 bertolak belakang. Pilkada mensyaratkan interaksi dan partisipasi penuh, Covid-19 mengharuskan jaga jarak dan menghindari berkumpulnya banyak orang. Maka itu, protokol kesehatan adalah komprominya.

 
Sejumlah calon meski sudah dilarang berkerumun dan didorong berkampanye daring, tetap nekat melanggar melalui aktivitas tatap muka. 
 
 

Tak heran, terjadi kegagapan. Sejumlah calon meski sudah dilarang berkerumun dan didorong berkampanye daring, tetap nekat melanggar melalui aktivitas tatap muka. Bahkan, hingga hari ini, tercatat setidaknya 76 calon terkonfirmasi positif Covid-19.

Ada tiga anggota KPU RI, satu anggota Bawaslu RI, dan puluhan anggota KPU dan Bawaslu daerah yang terpapar virus ini. Ribuan calon anggota KPPS bahkan reaktif ketika dilakukan rapid test sebagai syarat wajib sebelum bekerja.

Selain itu, marak pemberitaan soal kelengkapan alat pelindung diri (APD), yang belum sepenuhnya tersedia atau terlambat dikirim, serta layanan pemberian hak pilih bagi pasien Covid-19 yang memicu polemik karena dianggap bisa menularkan virus.

Itu lantas menimbulkan kekhawatiran di masyarakat, apakah pilkada 2020 benar-benar bisa terselenggara aman dan sehat? Sudahkah semua prosedur dan tata kerja didesain optimal mencegah transmisi Covid-19?

Apa yang akan dilakukan penyelenggara dan pemerintah untuk memastikan tidak timbul kerumunan pada hari-H?

 
Belajar dari pendaftaran calon pada 4-6 September lalu, ternyata banyak celah yang tak sepenuhnya bisa dikendalikan KPU beserta jajaran penyelenggara.
 
 

Kekhawatiran tersebut diperkuat temuan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis pada Ahad (6/12), warga umumnya (77 persen) merasa khawatir tertular Covid-19 jika pilkada serentak tetap dilaksanakan pada 9 Desember 2020.

Selain itu, didapat data, secara umum warga tidak cukup ketat menjalankan protokol kesehatan. Sehingga, SMRC menyimpulkan dengan kondisi itu, ditambah dorongan ikut pilkada, kemungkinan kasus positif Covid-19 bisa naik menjadi lebih besar.

Kesimpulan itu beralasan, sebab meski KPU menjamin penerapan protokol kesehatan ketat pada hari-H, tetapi belajar dari pendaftaran calon pada 4-6 September lalu, ternyata banyak celah yang tak sepenuhnya bisa dikendalikan KPU beserta jajaran penyelenggara.

Saat pendaftaran calon, KPU berhasil menerapkan protokol kesehatan dalam lingkungan kantor KPU. Namun, saat menuju atau setelah pendaftaran, terjadi kerumunan di beberapa titik kumpul di luar kantor KPU. Tentu kita tak menghendaki itu terulang saat hari-H. 

Untuk mencegah penyebaran Covid-19, KPU sudah mengatur sejumlah hal. Misalnya, semua orang di area TPS agar mengenakan masker, menjaga jarak, membawa alat tulis (pulpen) sendiri, serta penyandang disabilitas diberi kemudahan dalam memberikan suara.

Selain itu, KPU menyediakan alat pengukur suhu tubuh (thermo gun) untuk pemilih sebelum masuk TPS, sabun, dan perlengkapan cuci tangan, sarung tangan sekali pakai saat mencoblos, serta cairan disinfektan untuk digunakan di TPS.

Kerumunan hari-H

Namun, pengaturan itu jangkauannya terbatas di lingkup TPS. Padahal, saat hari-H, ada beberapa potensi kerumunan. Pertama, kerumunan saat menuju TPS. Pemilih, di tengah keguyuban, memilih berangkat bersama tetangga atau teman mereka menuju TPS.

Kedua, kerumunan saat antre masuk TPS. Pengalaman beberapa kali simulasi oleh KPU, petugas kewalahan menertibkan calon pemilih, yang meski sudah diatur waktu kedatangannya ternyata tetap datang bertumpuk pada waktu berbarengan.

Apalagi, saat ini musim hujan di sejumlah daerah, bisa saja pemilih datang bersamaan ketika hujan sudah reda. Ketiga, kerumunan setelah selesai memberikan suara.

 
Karena itu, mitigasi risiko oleh pihak berwenang dalam mengantisipasi kerumunan dan pelanggaran protokol kesehatan saat hari-H amat penting. 
 
 

Keempat, kerumunan karena euforia kemenangan oleh tim paslon dan pendukungnya. Terutama, setelah diumumkan hasil hitung cepat perolehan suara. Ini bisa jadi paling sulit dikendalikan karena melibatkan orang banyak dengan kondisi menyebar.

Karena itu, mitigasi risiko oleh pihak berwenang dalam mengantisipasi kerumunan dan pelanggaran protokol kesehatan saat hari-H amat penting. Selain sosialisasi masif dan intensif, mutlak dibarengi sinergi dan strategi aksi yang terkoneksi semua pihak.

Penekanan pada tindakan tegas dan penegakan hukum proporsional dan efektif sangat diperlukan. Harus ada edukasi menyeluruh yang melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan figur komunitas di lingkungan pemilihan soal protokol kesehatan saat hari pemilihan.

Bukan hanya untuk disiplin saat di TPS, melainkan juga secara keseluruhan. Sehingga bisa timbul kesadaran kolektif dan upaya pencegahan bersama agar tidak terjadi pelanggaran yang bisa mengancam keselamatan warga. Apakah pilkada sehat mungkin diwujudkan? Esok hari pembuktiannya. Pastinya, kita semua berharap, pilkada tidak menjadi klaster baru bagi korona. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat