Nasional
Bio Farma Produksi Banyak Vaksin Inaktivasi Virus
Biofarma sudah memiliki fasilitas produksi yang diakui oleh WHO dan juga BPOM.
JAKARTA – Direktur Utama PT Bio Farma, Honesti Basyir, menyatakan, sebagian besar vaksin yang diproduksi di Bio Farma berbasis inaktivasi virus. Ini termasuk vaksin Covid-19 hasil kerja sama dengan Sinovac yang akan diproduksi Bio Farma.
Kendati demikian, Honesti mengaku masih harus meningkatkan kapabilitas penelitian dan pengembangan serta sinergi antara lembaga penelitian, pemerintah, dan industri. Hal tersebut mutlak diperlukan untuk membentuk ketahanan kesehatan.
“Semua harus di-manage jauh lebih bagus sehingga bisa mengeluarkan inovasi produk yang dibutuhkan untuk membentuk health security di Indonesia,” kata dia saat dihubungi Republika, Rabu (18/11).
Honesti memastikan, fasilitas produksi vaksin Covid-19 yang dimiliki telah memenuhi ketentuan. “Kami sudah punya fasilitas produksi yang diakui oleh WHO dan juga BPOM tentunya,” kata dia.
Dalam wawancara dengan Republika, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN), Bambang Brodjonegoro, mengatakan, pemerintah sedang mempertimbangkan untuk mengembangkan vaksin dengan platform inaktivasi virus. Saat ini, pemerintah sedang mencari pabrik swasta yang mampu memproduksi vaksin dengan platform ini.
Pengembangan vaksin dengan platform inaktivasi virus artinya menggunakan virus yang telah dimatikan. Bambang menjelaskan, vaksin dengan platform ini lebih cepat dikembangkan. Vaksin Covid-10 Sinovac dari Cina menggunakan platform ini dalam mengembangkan virusnya.
Walaupun lebih cepat, kata Bambang, PT Bio Farma sebagai industri yang bergabung dengan Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 belum mampu memproduksi vaksin dengan platform ini. Oleh karena itu, pemerintah ingin memastikan ketersediaan fasilitasnya terlebih dahulu.
“Kita ingin memastikan dulu, ada tidak fasilitasnya. Karena itu kita berkomunikasi dengan pabrik-pabrik swasta, karena Bio Farma tidak punya fasilitas itu, apalagi lab seperti Eijkman,” kata Bambang.
Mengembangkan vaksin dengan platform inaktivasi virus, lanjut Bambang, artinya harus mendapatkan virus secara utuh yang masih hidup kemudian dilemahkan. Hal ini memiliki risiko yang tinggi karena peneliti harus berada sangat dekat dengan virus yang masih hidup.
Jika virus dilemahkan, yang perlu dijadikan perhatian adalah apakah virus tersebut sudah mati sepenuhnya. Dikhawatirkan, masih ada bagian dari virus yang tidak sepenuhnya mati dan justru berbahaya ketika disuntikkan. “Jadi ini plusnya, bisa lebih cepat tapi juga berisiko,” kata dia menambahkan.
Saat ini, sebanyak enam lembaga penelitian dan perguruan tinggi melakukan pengembangan vaksin. Enam institusi tersebut yakni Lembaga Eijkman, LIPI, Unair, UI, UGM, dan ITB. Platform yang digunakan pun berbeda-beda, antara lain dengan DNA dan RNA, protein rekombinan, dan adenovirus.
Bambang mengatakan, meskipun Indonesia belum bisa menggunakan platform inaktivasi virus, upaya lainnya tetap dicoba oleh para peneliti. “Kita tetap berupaya yang cepat, tapi tentu kita melihat apa yang bisa kita lakukan pada kondisi hari ini,” kata dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.