Kabar Utama
Indonesia Cermati Vaksin Pfizer-Biontech
Vaksin Covid-19 hasil kolaborasi pengembangan Bio Farma sudah mulai memasuki masa monitoring.
JAKARTA -- Vaksin buatan perusahaan Pfizer dan Biontech diklaim mencapai efektivitas 90 persen selepas uji klinik terhadap 43.500 orang di enam negara. Pihak-pihak terkait di Indonesia memantau perkembangan tersebut dan akan menindaklanjutinya.
Menurut Tim Komunikasi Publik Satgas Penanganan Covid-19 Suryopratomo, pendekatan pengadaan vaksin yang diupayakan pemerintah bukanlah membeli vaksin Pfizer dan Biontech, melainkan menjalin kerja sama internasional. Hal ini seiring dengan kesepakatan bahwa semua negara harus bersama-sama menangani pandemi di bawah koordinasi Badan Kesehatan Dunia (WHO).
"Sejauh ini, kerja sama sudah dilakukan sejak beberapa bulan lalu oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Menteri Luar Negeri. Tentunya nanti akan di-follow up oleh Menteri BUMN," ujar Suryopratomo saat dihubungi Republika, Rabu (11/11).
Ia menekankan, Indonesia bersama semua bangsa di dunia turut berupaya menangani pandemi virus Covid-19 ini. Sejauh ini, Indonesia telah berkoordinasi dengan sejumlah negara, seperti Cina, Inggris, dan Swiss. Indonesia juga membuka kemungkinan bekerja sama dengan Amerika Serikat (AS).
"Tetapi, semua produk itu (vaksin Pfizer dan Biontech—Red) ketika sudah ditemukan harus dibagi secara merata ke seluruh dunia. WHO yang akan menetapkan sehingga semua negara bisa mendapatkan pembagian yang adil," katanya.
Sebelumnya, vaksin yang disponsori perusahaan asal AS, Pfizer, dan dikembangkan perusahaan asal Jerman, Biontech, berhasil menjalankan uji klinis terhadap 43.500 orang di enam negara. Dari uji klinis, vaksin diklaim tidak menimbulkan masalah keamanan. Perusahaan berencana untuk mengajukan persetujuan darurat terhadap penggunaan vaksin tersebut pada akhir bulan.
Uji coba di AS, Jerman, Brasil, Argentina, Afrika Selatan, dan Turki menunjukkan, 90 persen perlindungan dicapai tujuh hari setelah dosis kedua disuntikan. Sejauh ini, Kementerian Kesehatan mengaku tengah menunggu penelitian para ahli yang mempelajari vaksin tersebut.
"Kami sedang menunggu kajian dari para ahli sehingga belum bisa berkomentar memutuskan membeli dari Pfizer atau tidak," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Dirjen P2P) Kemenkes Muhammad Budi Hidayat saat dihubungi Republika, Rabu (11/11).
Menurut dia, persoalan ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut. Artinya, pemerintah tidak mau gegabah memutuskan untuk membeli vaksin tersebut tanpa mendengar pendapat pakar terlebih dahulu. Kendati demikian, ia memastikan, Pemerintah Indonesia melalui BUMN Bio Farma masih melakukan penelitian vaksin yang bekerja sama dengan pihak luar negeri.
Sejauh ini, Indonesia sudah menjalin kerja sama pengembangan vaksin Covid-19 dengan sejumlah pihak. Di antaranya melalui kerja sama Bio Farma dengan perusahaan Sinovac dari Cina. Kimia Farma juga menggandeng perusahaan Genexine dari Korea Selatan. Ada juga rencana kerja sama dengan Cansino dari Cina dan Astra Zeneca dari Inggris.
Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Erick Thohir juga sebelumnya sempat menyatakan bahwa Pfizer termasuk perusahaan yang dijajaki untuk kerja sama pembuatan vaksin Covid-19 selain Johnson&Johnson dan Novafax.
Meski begitu, menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, pemerintah masih berfokus pada pengembangan vaksin dalam negeri. "Indonesia tentunya dari berbagai vaksin itu dipertimbangkan, tapi kami belum memasukkan Pfizer sebagai salah satunya," ujar Airlangga.
Progres dalam negeri
Vaksin Covid-19 hasil kolaborasi pengembangan Bio Farma dengan Sinovac sudah mulai memasuki masa monitoring. Data per 6 November 2020 menunjukkan, sebanyak 1.620 relawan sudah mendapatkan suntikan pertama, 1.603 sudah mendapatkan suntikan kedua, dan 1.335 sudah masuk dalam tahap monitoring, baik untuk imunogenicity, efikasi (khasiat), maupun keamanannya.
Menurut Juru Bicara Tim Uji Klinis Fase 3 Vaksin Covid-19 Rodman Tarigan, sejauh ini belum ada laporan mengenai kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI) yang serius, serious adverse event (SAE), atau kejadian serius yang tidak diinginkan dari para relawan yang diduga berhubungan dengan vaksin atau kegiatan vaksinasi.
SAE merupakan salah satu KIPI yang serius dan dialami oleh penerima obat atau vaksin tanpa memandang hubungannya dengan obat atau vaksin tersebut. Sedangkan, KIPI nonserius atau KIPI ringan adalah kejadian medis yang terjadi setelah imunisasi dan tidak menimbulkan risiko potensial pada kesehatan si penerima, seperti terjadi demam, bengkak di lokasi suntikan, atau merah di lokasi suntikan.
Setiap relawan yang sudah mendapatkan suntikan pertama dan kedua akan diawasi dan dimonitor hingga uji klinis selesai. “SAE yang dialami oleh seseorang bisa terjadi, baik untuk vaksin yang sudah dipasarkan maupun vaksin yang sedang dalam tahap uji klinis seperti vaksin Covid-19 ini," ujar salah satu tim ahli farmakovigilans Bio Farma, Novilia, Rabu (11/11).
Untuk produk yang dalam uji klinis, kata dia, SAE akan dilaporkan ke Komite Etik, BPOM, dan DSMB (Data Safety Monitoring Board). Sedangkan, untuk produk yang sudah dipasarkan, SAE yang timbul akan diinvestigasi atau diselidiki dan dianalisis oleh lembaga yang independen, seperti Komnas KIPI, dan dilaporkan ke BPOM. "Ini untuk memastikan penyebab utama dari peristiwa ini apakah berhubungan langsung dengan vaksin atau ada faktor lainnya”, katanya.
Novilia mengatakan, kejadian SAE yang saat ini terjadi di Brasil perlu diinvestigasi lebih lanjut untuk menentukan kejadian itu berhubungan dengan vaksin atau tidak. Dalam penyelidikan SAE ini, otoritas badan pengawas obat setempat tentu akan dilibatkan. Menurut dia, jeda atau penangguhan pelaksanaan uji klinis obat atau vaksin merupakan prosedur standar dan biasa dilakukan untuk melakukan investigasi lebih dulu atas KIPI serius yang ditemukan dalam penelitian.
Terkait kasus SAE vaksin Covid-19 Sinovac di Brasil, Sinovac sudah mengeluarkan pernyataan resmi. Sinovac sudah berkomunikasi dengan Butantan Institute dan menyatakan kejadian SAE itu tidak berhubungan dengan vaksin (co-incident).
Menurut Novillia, vaksin memiliki manfaat yang besar untuk memutus mata rantai penularan penyakit menular. Vaksin merupakan salah satu cara pencegahan penyakit menular yang tidak hanya diberikan kepada bayi, tetapi juga orang dewasa. Vaksin tidak hanya memberikan kekebalan individu, tetapi juga dapat menciptakan kekebalan massal atau disebut kekebalan kelompok.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.