Resonansi
Trump Sebabkan Polarisasi Ekstrem Warga Amerika
Citra demokrasi Amerika tercoreng yang belum pernah terjadi sebelumnya —polarisasi ekstrem rakyat Amerika.
Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI
OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI
Tidak ada kontak, tidak ada pengakuan kekalahan, dan tidak ada ucapan selamat kepada lawan politiknya. Semua ini tentu di luar tradisi yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun dalam sejarah pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS).
Hingga Ahad (8/10) siang kemarin —ketika kolom ini saya tulis—, Presiden Donald Trump masih yakin pihaknya yang akan memenangkan pemilu, meskipun lawan politiknya, Joe Biden, telah menyampaikan pidato kemenangan. Ia dan timnya terus menuduh lawan politiknya telah melakukan berbagai kecurangan.
Namun, mereka tidak pernah menunjukkan bukti. Mereka juga mengancam akan menempuh 'perang' di pengadilan. Nada permusuhan terus menjadi bahasa Trump, seperti halnya selama ia bersinggasana di Gedung Putih.
Bila kondisi seperti ini terus berlangsung, tentu akan sangat memalukan bagi Amerika, sebuah negara yang mengeklaim diri sebagai 'pemimpin dunia bebas' dan 'pembela demokrasi'. Amerika sekarang tak lebih dari sebuah 'negara dunia ketiga'. Kondisi ini sebenarnya tidak mengejutkan bagi pemerhati masalah Amerika, tapi tetap saja memilukan bagi banyak orang, baik bagi rakyat Amerika sendiri maupun masyarakat dunia.
Amerika sekarang tak lebih dari sebuah 'negara dunia ketiga'.
Simaklah bagaimana seorang presiden yang sedang menjabat meragukan seluruh proses pemilu, mengancam akan menggunakan pengadilan, dan mencoba mengeluarkan suara pemilih dari proses penghitungan suara. Hal ini bahkan ia lakukan jauh hari sebelum tanggal pemungutan suara, yakni ketika ia tahu hasil dari berbagai jajak pendapat suaranya tercecer jauh dari saingan politiknya.
Hal-hal seperti itu, menurut kolomnis media al Sharq al Awsat yang juga pengamat Amerika, Osman Mirghani, tentu akan membuat citra demokrasi Amerika tampak goyah di mata dunia internasional. Apalagi menjelang hari pemungutan suara, jalan-jalan di sekitar Gedung Putih dipasangi barikade, toko-toko tutup dan pintu serta jendelanya dipasang lembaran kayu untuk melindungi dari adanya kerusuhan. Obrolan masyarakat pun banyak yang menyinggung tentang kekerasan dan kemungkinan adanya baku tembak antarwarga.
Semua itu menunjukkan ketegangan seputar pemilu Amerika sekarang ini. Sebuah pemilu yang mestinya menjadi pesta demokrasi, menjadi ketegangan dan perpecahan antar rakyat Amerika. Tepatnya antara pendukung Donald Trump dan pendukung Joe Biden, antara Kubu Republik dan Kubu Demokrat.
Dan, sebelum penghitungan suara di negara-negara bagian selesai pun, Presiden Donald Trump terus berbicara tentang adanya 'penipuan besar-besaran terhadap suara rakyat Amerika’. Ia pun berjanji untuk pergi ke Mahkamah Agung guna menghentikan proses penghitungan suara. Dari sudut pandangnya, ia yang memenangkan pemilihan.
Pernyataan seperti itu telah menimbulkan kekecewaan di berbagai kalangan, apalagi penghitungan suara belum selesai. Apa yang dikatakannya bisa mempengaruhi rakyat Amerika, terutama di kalangan pendukungnya. Apalagi Twitter Trump diikuti oleh sekitar 88 juta masyarakat dunia. Hal ini tentu sangat berbahaya, apalagi tuduhan Trump tidak disertai dengan bukti-bukti.
Pernyataan seperti itu telah menimbulkan kekecewaan di berbagai kalangan, apalagi penghitungan suara belum selesai.
Karena itu, Joe Biden pun merasa perlu untuk segera menanggapi pernyataan itu. Ia menggambarkan upaya Presiden Trump untuk menghentikan proses penghitungan suara sebagai 'tindakan memalukan yang belum pernah terjadi sebelumnya’. Biden pun menegaskan kesiapannya untuk melayani konfrontasi hukum apabila Trump benar-benar melakukan ancamannya.
Biden sendiri tampaknya sudah mengantisipasi berbagai pernyataan Trump. Ia menegaskan tidak ada yang berhak memutuskan hasil pemilu, sebelum semua suara dihitung. Menurutnya, tidak ada seorang pun calon presiden yang bisa memutuskan hasil suara pemilu. Yang memilih dan menentukan adalah rakyat Amerika.
Trump ternyata telah mempersiapkan panggung untuk konfrontasi itu sejak beberapa bulan lalu. Ia berkali-kali berbicara tentang kemungkinan kecurangan pemilu. Ia menuduh Demokrat akan mencuri suara.
Selama kampanye ia menyebut tak kurang dari 40 kasus di sejumlah negara bagian guna mendiskualifikasi pemilih dan mempertanyakan surat suara lewat pos. Namun, otoritas sejumlah negara bagian menolak sebagian besar kasus-kasus ini. Mereka menekankan tidak ada bukti adanya pelanggaran atau penipuan.
Di Pennsylvania, misalnya, Mahkamah Agung negara bagian memutuskan pada September lalu semua surat suara lewat pos yang memiliki cap pos hingga tanggal pemungutan suara 3 November harus terdaftar dan dihitung. Bahkan jika surat-surat suara itu tiba selambat-lambatnya pada Jumat, 6 November. Di Carolina Utara, panitia pemilihan memutuskan semua surat suara dengan perangko sebelum atau pada 3 November akan diterima, termasuk apabila surat suara tiba paling lambat 12 November.
Trump sejak awal menegaskan penolakannya atas berbagai keputusan tersebut. Ia pun bertekad membawa masalah itu ke pengadilan yang lebih tinggi. Dan, bila ia kalah, ia akan membawa kasus itu ke Mahkamah Agung Federal.
Trump sejak awal menegaskan penolakannya atas berbagai keputusan tersebut. Ia pun bertekad membawa masalah itu ke pengadilan yang lebih tinggi.
Ia men-tweet beberapa kali dan mengulanginya dalam berbagai pidatonya selama kampanye bahwa ‘menerima surat suara lewat pos yang datang terlambat adalah bencana bagi rakyat Amerika. Demokrat ingin mencuri pemilihan’.
Bagi Presiden Trump, upaya untuk mendiskualifikasi dan mempertanyakan surat suara lewat pos tampaknya merupakan taktik untuk melemahkan kubu Biden. Bercermin pada pemilu-pemilu sebelumnya, Demokrat lebih cenderung memberikan surat suara melalui pos daripada Partai Republik. Pada pemilu 2000, George W Bush berhasil merebut kemenangan dari Al Gore setelah mendiskualifikasi surat suara dan penghitungan ulang sebagian di Florida.
Yang membuat masalah ini menjadi lebih penting bagi Trump adalah bahwa sejumlah besar orang Amerika —karena polarisasi ekstrem dan kondisi pandemi virus korona— ingin memberikan suara sebelum hari pemungutan suara. Baik melalui pos maupun datang ke tempat-tempat pemungutan suara lebih awal.
Jumlah yang memberikan suara lebih awal sebesar sekitar 100 juta dari 160 juta yang memberikan suara. Jumlah ini merupakan rekor dalam sejarah pemilu di Amerika. Dari jumlah ini sebagian besar adalah dari Demokrat.
Amerika tidak hanya menghadapi kemungkinan pertarungan di pengadilan atas hasil pemilu, tetapi juga adanya bayangan kekhawatiran pecahnya kekerasan.
Setelah semua drama pemilu ini, terlepas dari siapa yang menang, Amerika tampaknya yang 'kalah'. Citra demokrasinya telah tercoreng dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya —polarisasi ekstrem rakyat Amerika. Polarisasi yang akan terus berlangsung meskipun Trump tak lagi menjadi presiden.
Amerika kini dalam situasi yang sulit, lebih sulit daripada tahun 2000 ketika George Bush Jr memenangkan pertempuran di pengadilan atau pada 2016 ketika Trump mengalahkan Hillary Clinton di tengah kontroversi mengenai campur tangan Rusia dalam pemilu. Saat ini, Amerika tidak hanya menghadapi kemungkinan pertarungan di pengadilan atas hasil pemilu, tetapi juga adanya bayangan kekhawatiran pecahnya kekerasan, mengingat polarisasi tajam yang mendahului dan menyertai pemilihan.
Dunia sedang menonton apa yang sedang berlangsung di negara paling kuat di dunia ini, yang tentu saja akan berpengaruh bukan saja di dalam negeri Amerika, tapi juga di panggung internasional.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.