Sejumlah massa dari elemen buruh berunjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di depan kawasan Patung Arjunawiwaha atau Patung Kuda, Jakarta, Senin (2/11). | ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Kabar Utama

Istana: Tak Ada Kontrak Seumur Hidup di UU Ciptaker

UU Cipta Kerja dinilai tidak memenuhi asas kepastian hukum dan asas kejelasan rumusan.

JAKARTA – Kantor Staf Presiden (KSP) menegaskan, tak ada aturan penerapan karyawan kontrak seumur hidup di dalam Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker). Tenaga Ahli Utama Kedeputian III KSP, Fajar Dwi Wisnuwardhani mengatakan, di dalam UU Ciptaker yang telah diteken Presiden Joko Widodo tersebut, perjanjian kerja waktu tertentu atau PKWT masih dibatasi waktunya.

Hal tersebut tertuang dalam Pasal 56 ayat 4 UU Cipta Kerja. Pada pasal tersebut dijelaskan, ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kerja waktu tertentu berdasarkan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu diatur dalam peraturan pemerintah (PP). “Siapa bilang PKWT seumur hidup? PKWT masih dibatasi waktunya dan akan ditentukan melalui PP,” kata Fajar, Rabu (4/11).

Fajar mengatakan, dalam hal pembatalan PKWT karena adanya masa percobaan, selain batal demi hukum, UU Cipta Kerja juga melegalkan penghitungan masa kerja yang sudah dilakukan. Penjelasan ini tercantum pada Pasal 58 ayat 2 yang berbunyi, “Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung”.

Ia juga meminta masyarakat tidak khawatir terhadap persoalan pesangon. UU Cipta Kerja, menurut dia, tetap menerapkan sistem pesangon bagi masyarakat pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Fajar menyebut, dalam Pasal 61A UU Cipta Kerja dijelaskan bahwa pekerja PKWT bisa mendapatkan kompensasi yang perhitungannya mirip dengan pesangon. Seperti pada Pasal 61A ayat 1 yang berbunyi, “Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada pekerja/buruh”.

Hal itu juga ditegaskan kembali pada Pasal 61A ayat 2. Pasal itu berbunyi, “Uang kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada pekerja/buruh sesuai dengan masa kerja pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. Sebagai tambahan, pada Pasal 61A ayat 3 menjelaskan, bagaimana uang kompensasi tersebut akan diatur kembali dalam peraturan pemerintah”.

Fajar mengatakan, UU Cipta Kerja juga menjadi payung hukum untuk memberikan sanksi bagi pemberi kerja, yang tidak membayar pesangon pekerjanya. Dalam Pasal 185 dijelaskan, akan ada pidana bagi yang tidak membayar pesangon. Bahkan, pekerja bisa meminta PHK dengan pesangon jika ada masalah dengan pelanggaran norma kerja oleh pengusaha. Hal ini diatur dalam Pasal 154A ayat g.

Konferensi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sebelumnya menyatakan, menolak keras terbitnya UU Ciptaker. Ada banyak pasal yang dianggap merugikan para pekerja. Salah satunya adalah adanya peluang adanya ketentuan perjanjian kerja waktu tertentu seumur hidup, tanpa pernah diangkat sebagai pegawai tetap.

Dialog

Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, menyarankan pemerintah membentuk tim untuk mengkaji dan menampung aspirasi masyarakat yang tak puas atas UU Cipta Kerja. Menurut dia, pemerintah harus berani berdialog dengan rakyat yang tidak puas dengan adanya UU tersebut.

Yusril mengatakan, langkah itu penting dilakukan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa pemerintah tanggap terhadap aspirasi dan sadar bahwa UU Ciptaker perlu disempurnakan. Apalagi, aksi demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai daerah.

"Aspirasi para pekerja, akademisi, aktivis sosial, dan mahasiswa sangat perlu mendapat tanggapan pemerintah sebagai pelaksanaan demokrasi," kata Yusril kepada Republika, Rabu (4/11).

Menurut dia, tim penampung aspirasi juga dapat menerima sebanyak mungkin masukan elemen-elemen masyarakat, dalam menyusun begitu banyak peraturan pemerintah yang diperlukan untuk menjalankan UU Ciptaker. 

Sedangkan Direktur PSHK FH UII, Allan Fatchan Gani Wardhana mengatakan, pertama UU Cipta Kerja tidak memenuhi asas kepastian hukum dan asas kejelasan rumusan. Ini karena UU itu mengandung beberapa ketidaksinkronan materi muatan antara pasal per pasal.

Bahkan, dalam pasal-pasal yang terlihat jelas seperti Pasal 6 UU Cipta Kerja yang menyatakan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana Pasal 5 ayat (1) huruf a. Meliputi penerapan perizinan berusaha berbasis risiko.

Lalu, penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha, penyederhana perizinan berusaha sektor dan penyederhanaan persyaratan investasi. Padahal, UU Cipta Kerja sama sekali tida memuat adanya Pasal 5 ayat (1) huruf a.

"UU Cipta Kerja hanya memuat Pasal 5 yang menyatakan ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait," kata Allan, Rabu (4/11).

Adanya ketidaksinkronan menyebabkan penerapan perizinan berusaha berbasis risiko, penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha, penyederhanaan perizinan berusaha sektor dan penyederhanaan persyaratan investasi yang jadi norma jantung.

Sebab, jadi landasan perubahan dalam UU lain dan dalam UU Cipta Kerja jadi tidak memiliki dasar hukum, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Lalu, Pasal 175 angka 6 yang mengubah Pasal 53 ayat 5 UU 30/2014 UU Administrasi Pemerintahan.

Yang mana, menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan keputusan dan atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden. Padahal, pengaturan tidak diatur ayat (3).

Namun, diatur dalam ayat (4) yang menyatakana bila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud ayat (2). Badan dan/ pejabatpPemerintahan tidak menetapkan dan/ lakukan keputusan dan/ tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.

"Adanya ketidaksinkronan materi muatan tersebut menyebabkan UU Cipta Kerja tidak memenuhi asas ketertiban dan kepastian hukum yang menyatakan setiap materi muatan UU harus dapat mewujudkan ketertiban masyarakat melalui jaminan kepastian hukum," ujar Allan.

Lalu, tidak memenuhi asas kejelasan rumusan yang menyatakan setiap materi muatan UU harus penuhi syarat teknis penyusunan UU dan bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti. Sehingga, tidak menimbulkan berbagai intepretasi dalam pelaksanaan.

UU Cipta Kerja melanggar ketentuan Pasal 72 dan 73 UU 12 Tahun 2011 draft RUU Cipta Kerja yang disahkan dan diundangkan berjumlah 1.187 halaman, berbeda dengan draft RUU Cipta Kerja yang diserahkan ke Presiden yakni berjumlah 812 halaman.

"Adanya perbedaan halaman ini mengindikasikan draft RUU Cipta Kerja yang disahkan dan diundangkan bukan draft RUU Cipta Kerja yang diserahkan ke Presiden, sehingga dimungkinkan perbaikan atau penambahan terhadap draft RUU Cipta Kerja tersebut," kata Allan.

Padahal, Pasal 72 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan kesempatan perbaikan draft RUU hanya bisa dilakukan paling lama tujuh hari usai persetujuan bersama Presiden dengan DPR sebelum diserahkan ke Presiden.

Perbaikan itupun hanya berkaitan dengan teknis penulisan RUU ke Lembaran Resmi Presiden sampai penandatanganan pengesahan UU oleh Presiden dan penandatanganan. Sekaligus, Allan menekankan, Pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia.

Jadi, bukan perubahan substansi baik mengganti pasal, ayat, huruf, kata, frasa, maupun kalimat. PSHK FH UII menyatakan UU Cipta Kerja mengandung masalah serius, sehingga proses pengujian formil UU Cipta Kerja ke MK harus dikawal. "UU Cipta Kerja harus dinyatakan batal demi hukum," ujar Allan.

Pertimbangannya pertama sejak disahkan draft UU muncul banyak versi dan sulit diakses publik. Kedua, banyak terjadi perubahan susbtansi saat UU sudah disahkan, padahal setiap UU yang sudah disahkan tidak dimungkinkan ada perubahan substansi.

Ketiga, pembuatan UU ini minim partisipasi publik, padahal setiap pembentukan UU harus melibatkan partisipasi publik. Keempat, pasal dalam UU Cipta Kerja banyak yang tidak sinkron, bertentangan asas kepastian hukum dan asas kejelasan rumusan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat