Bincang Bisnis
Tetap 'Cuan' Meski Pandemi
Susun strategi agar dapat bertahan.
Ketika pandemi Covid 19 merebak, kita menyaksikan banyak perusahaan, besar hingga kecil, tutup atau bangkrut. Bila ada yang mampu bertahan, mereka pun harus memutar otak agar usahanya pun tidak ikut-ikutan luluh lantak.
Sektor fesyen tak urung menjadi salah satu yang terdampak saat pandemi. Pemilik usaha mikro kecil menengah (UMKM) terpaksa harus menutup toko sementara dan menghentikan proses produksi baju-bajunya.
Gadiza termasuk salah satu jenama (brand) yang terkena dampak pandemi. Satu bulan pertama sejak pandemi merebak, omzet Maison Gadiza turun drastis. Meski begitu, direktur kreatif dan desainer dari Gadiza, Rosie Rahmadi memastikan merumahkan karyawan bukan pilihan utama Gadiza. Pada awal masa pandemi, Rosie memulai dengan membangun mental diri untuk menghadapi kondisi, serta membangkitkan semangat dan mental tim serta kesehatan diri. Setelah itu, dia memulai koordinasi dengan tim untuk menyusun strategi untuk bertahan.
Strategi pertama yang dilakukan adalah mulai melakukan aktivasi digital. Sebelumnya, Maison Gadiza lebih banyak bergerak di penjualan luring. Ketika pemberlakuan PSBB, otomatis butik Maison Gadiza di Jalan Margonda, Depok, tidak bisa buka. Aktivasi digital yang dilakukan di antaranya memaksimalkan media sosial dan laman web sebagai sarana penjualan dan branding. Salah satu strategi yang dilakukan untuk menarik orang berbelanja daring yaitu menerapkan strategi diskon dan pemasaran digital.
Hal itu sekaligus menghindari penumpukan stok berlebih. Konten-konten yang dibuat seperti live shopping, melakukan review produk, photoshoot mix and match berbagai produk, membuat behind the scene, hingga story telling yang menarik tentang produk Maison Gadiza.
Sementara tim fokus pada penjualan produk sales yang masih ada, tim riset dan produksi melakukan riset lebih dalam mengenai produk-produk yang memang dibutuhkan saat dan mengembangkan ulang produk-produk yang siap pakai. “Kita melakukan redefine produk-produk lama Gadiza yang kira-kira cocok untuk tetap digunakan di saat pandemi ini,” kata Rosie.
Kemudian Rosie memperkenalkan ulang produk Sazia Outer sebagai kostum luaran (outer) pelindung diri (OPD). Dengan desain yang sederhana, penggunaan bahan yang ringan dan tahan air menjadikan OPD itu bisa digunakan sebagai pengganti APD. Hanya dalam waktu singkat, Sazia Outer yang awalnya melimpah di gudang Maison Gadiza langsung habis dan harus memproduksi lagi. Desain OPD tidak hanya bisa digunakan perempuan, tetapi juga laki-laki (unisex).
Permintaan Sazia Outer didominasi orang yang masih harus beraktivitas di luar, seperti dokter, pekerja kantoran, dan ibu rumah tangga. Kebanyakan pengguna memiliki lebih dari satu Sazia Outer, karena harus dicuci setelah pakai dan keesokan harinya harus dipakai lagi untuk kembali keluar.
Andalkan penjualan daring
Local Chairman Indonesian Fashion Chamber (IFC) Yogya, Phillip Iswardono tak menampik bahwa pandemi merupakan pukulan berat untuk semua aspek bisnis, termasuk di sektor industri kreatif khususnya fesyen. Menariknya, secara pribadi maupun dari sisi bisnis, Phillip mengatakan fesyen ritel siap pakai yang dia jalani tidak mengalami efek penurunan skala bisnis maupun omzet. Pandemi justru memberikan efek positif dan peningkatan bisnis, yaitu penjualan secara daring melalui Instagram maupun Facebook.
Hal dan langkah yang dilakukan pada waktu wabah mulai meluas, yakni pertama tetap menyelesaikan order dari pelanggan pada minggu pertama dan kedua. Kemudian, dia memproduksi masker dengan menggunakan bahan perca dari sisa produksi.
Selain disumbangkan secara gratis, Phillip juga menjualnya. Dia kembali menghubungi dan berkomunikasi dengan klien yang datanya sudah tersimpan di database. Kemudian, dia membuat koleksi siap pakai dengan desain lebih simpel, tapi penekanan pada desain yang unik, harga lebih murah, dan dengan promosi gratis ongkos kirim atau bonus masker. “Efek dari menghubungi klien dan memberikan pancingan dengan memberikan bingkisan berupa masker, item-item kecil fesyen sangat luar biasa bagus dan positif,” ujar Phillip.
Berdaya Berkat Masker
Awal Maret 2020, pemilik jenama Ija Kroeng di Aceh, Khairul Fajri Yahya menghentikan aktivitas produksi selama seminggu. Saat itu, penjualan mengalami penurunan hampir 99 persen. Setelah ada anjuran dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) supaya masyarakat memakai masker kain sebagai salah satu upaya mencegah penyebaran virus corona, maka permintaan masker kain meningkat tajam.
Akibatnya, terjadi kelangkaan masker dan harga yang tidak normal di pasar. “Demand yang besar ini dimamfaatkan oleh masyarakat umum untuk memproduksi masker kain standar untuk dipakai sendiri maupun dijual,” kata Khairul.
Sektor bisnis fesyen khususnya yang memproduksi sendiri produknya atau minimal memiliki mesin jahit, menurut dia, salah satu yang paling mampu bertahan, karena masih bisa memproduksi produk-produk sangat dibutuhkan masyarakat dan tim medis, seperti masker dan APD.
Di Aceh, tidak semua rumah produksi memiliki mesin jahit sekaligus perlengkapan cetak kain. Tempat usaha Ija Kroeng yang memiliki mesin jahit dan peralatan manual pencetakan mengambil kesempatan itu untuk memproduksi masker berlogo Ija Kroeng. Pada saat itu, permintaan masker Ija Kroeng sangat tinggi, sehingga mereka membatasi untuk satu pembeli hanya bisa membeli 10 masker.
Selain menjual langsung masker berlogo Ija Kroeng di media sosial dan langsung di tempat usahanyanya, strategi pemasaran lainya adalah memproduksi sampel masker berlogo instansi atau perusahaan seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh, Museum Aceh, Aceh Business Club, dan lainya yang dianggap memiliki kemungkinan besar memesan masker dalam jumlah besar untuk dibagikan kepada masyarakat.
Kemudian, foto sampel masker dipromosikan langsung ke relasi yang ada di instansi dan perusahaan tersebut. “Tidak menunggu lama, orderan masker kain berlogo custom pun datang, sehingga harus menambah karyawan untuk mempercepat kapasitas produksi,” ujar Khairul.
Secara tidak langsung, momen itu sangat membantu untuk menyebarkan informasi tentang jenama Ija Kroeng pada konsumen baru yang selama ini tidak bisa dijangkau, menjaga eksistensi Ija Kroeng, dan menguatkan posisi di mata konsumen.
Setelah di mulainya adaptasi kebiasaan baru, acara-acara pernikahan di masjid sudah mulai diselenggarakan kembali. Ija Kroeng melihat ada peluang dan segera berinovasi lagi memproduksi masker kain bertuliskan nama pasangan pengantin sebagai cendera mata, kemudian masker dibagikan kepada seluruh orang yang datang ke acara pernikahan tersebut.
Aksi serupa juga dilakukan desainer Hannie Hananto. Ketika pemerintah mengumumkan adanya kasus Covid 19, dia langsung bergerak dengan menyiapkan infrastruktur penjahit. “Kami menduga kasus ini bakalan lama dan akan mengubah semua sistem, karena itu kami siap dengan kondisi penjahit melanjutkan pekerjaan di kampungnya (Sumedang),” kata Hannie.
Kemudian, dia mengubah sistem menjadi mengirimkan bahan baku dan gambar ke Sumedang, kemudian pekerjaan selesai dikirim balik ke Jakarta. Namun, Hannie memiliki banyak stok baju dan hijab untuk acara-acara yang waktu penyelenggaraannya ditunda. Bagaimana cara menjual stok yang banyak tanpa harus diskon besar-besaran, karena itu adalah stok baru? Solusinya adalah berjualan secara langsung di Instagram.
Hannie juga belajar dari video-video kaum milenial di Tiktok dengan berani langsung membuat video review produk koleksi. Ternyata cara itu mendapat respons positif, karena langsung mendekatkan desainer dan pembelinya.
Kemudian saat masker masih langka, Hannie muncul ide membuat masker yang sesuai dengan gaya desainnya dan dicocokan dengan motif hijab dan bajunya. “Bagaimana cara kita membentuk image baru dari desain kita itu penting, perlu kepekaan atau responsif membaca apa yang lagi hype,” ujar Hannie.
Untuk langkah ke depan, dia memahami tren itu akan berjalan terus dan berubah setiap saat. Tidak ada yang tetap di dunia, yang tetap adalah perubahan itu sendiri.
Bagaimana cara kita membentuk image baru dari desain kita itu penting, perlu kepekaan atau responsif membaca apa yang lagi hype.Hannie Hananto, desainer
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.