Ketua Umum Dewan Dawah Islamiyah Indonesia Ustaz Dr Adian Husaini. | DOK IST

Hiwar

Ustaz Dr Adian Husaini, Visi Meneguhkan Peran Dewan Da’wah

Salah satu tugas Dewan Da’wah sejak awal berdirinya ialah mempererat ukhuwah Islamiyah dan kebangsaan.

 

Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) berdiri sejak 26 Februari 1967. Organisasi yang dirintis sang Bapak NKRI Mohammad Natsir itu hingga kini terus berkiprah untuk kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia. Perannya mengemuka dalam bidang dakwah, pendidikan, ekonomi, dan layanan kesehatan di berbagai daerah se-Tanah Air.

Baru-baru ini, struktur kepemimpinan Dewan Da’wah mengalami perubahan. Akademisi yang juga mubaligh kenamaan, Ustaz Dr Adian Husaini, terpilih sebagai ketua umum. Ia menggantikan KH Mohammad Siddik dalam menakhodai organisasi tersebut.

Sosok kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur, itu memberi warna baru. Dai-dai muda kini mendominasi jajaran kepengurusan Dewan Da’wah. Menurutnya, hal itu merupakan pembuktian dari suksesnya kaderisasi yang dijalankan lembaga tersebut sejak periode-periode sebelumnya.

“Alhamdulillah, selama ini kaderisasi sudah berjalan puluhan tahun dan juga sampai level tinggi,” kata alumnus International Islamic University Malaysia (IIUM) itu.

Selain itu, dirinya juga memandang kemajuan teknologi informasi saat ini sebagai tantangan sekaligus peluang bagi kelangsungan organisasi. Dalam lima tahun ke depan, Adian bervisi menjadikan Dewan Da’wah sebagai pelopor aktivitas syiar Islam di Indonesia.

Bagaimana cita-cita itu akan terlaksana? Berikut ini wawancara wartawan Republika, Muhyiddin, dengan pendiri Pesantren at-Taqwa, Depok, Jawa Barat, itu beberapa waktu lalu.

Apa saja yang menjadi target Anda dalam lima tahun ke depan?

Target utama yang telah kami sepakati dalam rapat kerja pengurus baru-baru ini adalah tekad untuk menjadikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia sebagai lembaga dakwah terbaik. Kami berupaya untuk terus menjadikan Dewan Da’wah sebagai teladan, pelopor dalam berbagai aktivitas dakwah.

Mudah-mudahan. Sebab, semangat itu seperti doa kita dalam shalat. Atau, seperti dilukiskan dalam Alquran (surah al-Furqan ayat 74), “Waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa.” “Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”

Maka semangat orang-orang Mukmin itu, bagaimana menjadi yang terbaik sehingga Dewan Da’wah ingin menjadi lembaga dakwah yang profesional. Kami ingin benar-benar memberikan manfaat yang besar untuk kemaslahatan umat Islam dan bangsa Indonesia. Itu visinya ke depan.

Apa yang menjadi tantangan Dewan Da’wah saat ini?

Kalau tantangannya, kami mengikuti pemikiran Pak Natsir (Mohammad Natsir) sebagai pendiri Dewan Da’wah, perumus konsep dasar dakwah, dan menjadi tokoh dalam gerakan dakwah Islam di Tanah Air. Tantangan yang pernah beliau sebut itu di antaranya adalah sekularisasi, pemurtadan, dan juga materialisme. Di lingkup internal umat Islam, tantangannya juga beragam, seperti perpecahan, dan progres dalam dunia pendidikan.

Karena itu, kami harus mengambil peranan. Intinya, Pak Natsir telah menggariskan bahwa dakwah itu harus dilakukan ke dalam dan juga ke luar. Tantangan dakwah ke dalam atau internal sendiri adalah, bagaimana kita meningkatkan kualitas para dai, pejuang yang terjun langsung di medan dakwah. Tantangan yang keluar (eksternal) adalah paham-paham yang merusak akidah, pemikiran Islam, dan akhlak.

Bagaimana dengan peluangnya?

Peluangnya sekarang ini sangat besar, terutama karena secara internal dan pemikiran Dewan Da’wah itu sangat solid. Artinya, selama ini ada proses kaderisasi yang baik di Dewan Da’wah.

Dari kepengurusan sekarang ini saja, mungkin bisa dikatakan bahwa 80 persen itu berasal kader-kader internal Dewan Da’wah. Mereka adalah lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Da'wah (STID) Mohammad Natsir. Mereka juga telah menempuh program kaderisasi ulama Dewan Da’wah.

Jadi, banyak sekali doktor-doktor yang selama ini telah dikader melalui program Dewan Da’wah ini. Karena kader-kader ini bersumber dari internal (organisasi), maka sangat solid.

Selanjutnya, sekarang ada tantangan pemikiran-pemikiran modern, terutama dari dua aliran besar, yaitu demokrasi liberal-kapitalis dan komunisme. Keduanya itu kan sudah terbukti gagal dalam mewujudkan tantangan kehidupan umat manusia yang adil, damai, dan penuh kasih sayang.

Kalau kita lihat dunia internasional, sebagian besar umat manusia masih hidup dalam kekurangan, kesulitan, dan bahkan kesengsaraan. Nah, maka yang harus dimunculkan adalah, secara prinsip umat Islam masih yakin dengan keagungan ajaran Islam. Islam memberikan solusi bagi kehidupan umat manusia. Itu pun yang sangat kami yakini.

Terkait dengan perkembangan teknologi saat ini, bilakah Dewan Da’wah memanfaatkannya untuk syiar Islam?

Khususnya sejak periode kami ini, ada pembentukan departemen baru di Dewan Da’wah, yaitu dalam bidang komunikasi dan informatika (kominfo). Tugas khususnya adalah untuk publikasi dan dokumentasi. Kami akan mengoptimalkan betul peran website dan media sosial sehingga bidang ini pun akan dikelola oleh kalangan wartawan profesional.

Kami juga sudah mengundang wartawan-wartawan Muslim untuk berkomitmen dalam membantu publikasi Dewan Da’wah. Jadi, tidak bisa dipungkiri, memang peran internet dan media sosial itu sangat besar di zaman sekarang. Karena itu, persoalan media perlu mendapatkan perhatian yang serius dalam kepengurusan Dewan Da’wah kali ini.

Bagaimana kaderisasi yang telah Anda sebutkan itu berjalan di Dewan Da’wah?

Alhamdulillah, selama ini kaderisasi sudah berjalan puluhan tahun dan juga sampai level tinggi. Misalnya, pada 2007, kita sudah memulai program kaderisasi 1.000 orang ulama. Sekarang, alhamdulillah, (STID Mohammad Natsir) sudah mencetak ratusan doktor meskipun mereka tidak semuanya kemudian berkiprah di organisasi Dewan Da’wah.

Dewan Da’wah memang tidak hanya berpikir untuk Dewan Da’wah saja. Karena itu, kader-kader kami ada pula yang aktif di berbagai organisasi masyarakat (ormas) Islam, seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan lain-lain. Dari dulu, Pak Natsir memang sangat menekankan bahwa Dewan Da’wah ini seperti generator. Fungsinya, bagaimana berbuat kebaikan semaksimal mungkin dan tidak harus mengatasnamakan Dewan Da’wah.

Jadi, kader-kader Dewan Da’wah yang dapat beasiswa itu tidak semuanya harus kembali ke organisasi Dewan Da’wah. Pak Natsir menekankan, silakan mereka aktif di tengah umat Islam. Yang penting, mereka menjadi orang yang bermanfaat, bisa mengembangkan dakwah di berbagai lini kehidupan atau organisasi.

Makanya. di Dewan Da’wah pun dalam struktur kepengurusannya ada elemen berbagai ormas dan lembaga. Di antara kami ada tokoh-tokoh Muhammadiyah, Persis, al-Azhar, as-Syafiiyah, Mathlaul Anwar, dan sebagainya. Jadi, selama ini Dewan Da’wah memang bekerja dalam kerangka umat yang secara global.

Terkait pengiriman dai ke daerah-daerah, apa rencana Anda ke depan?

Fokus kami setidaknya pada dua hal. Pertama, pembinaan dan penempatan dai. Kedua, kaderisasi ulama. Dewan Da’wah sudah mempunyai lembaga STID Mohammad Natsir dan Akademi Dakwah Indonesia (ADI). Semuanya berjumlah 16 unit dan tersebar di berbagai daerah.

Melalui itu, setiap tahunnya bisa mencetak tak kurang dari 100 orang sarjana dakwah. Mereka-lah yang selama ini ditempatkan ke berbagai daerah. Sekarang alumninya pun telah banyak berkiprah di pondok-pondok pesantren atau menjadi pengajar di tengah masyarakat.

Soal kaderisasi ulama, Dewan Da’wah pernah mempunyai program kaderisasi 1.000 ulama. Ini bekerja sama dengan Baznas (Badan Amil Zakat Nasional). Dari situ, telah muncul ratusan doktor dan master. Nah, kali ini program itu akan ditangani Dewan Da’wah sendiri melalui bidang khusus.

Kami juga akan membentuk sekolah kepemimpinan Dewan Da’wah. Di sanalah mereka akan dibina. Insya Allah, Dewan Da’wah sudah terbiasa dalam menangani program peningkatan kualitas dai sampai ke level ulama. Selain itu, kami juga melalui bidang kominfo mulai menggalakkan para calon dai agar aktif menulis.

Bagaimana Dewan Da’wah meneguhkan peran dalam memperkuat rasa persatuan umat Islam dan kebangsaan?

Kami memiliki lima panduan dalam gerakan dakwah, yakni mengokohkan akidah, mempererat ukhuwah, menegakkan syariat, menjaga keutuhan NKRI, dan berkomitmen terhadap solidaritas dunia Islam.

Tak bisa dipungkiri, banyak perbedaan di kalangan internal umat Islam sendiri, baik dalam soal pemikiran, keagamaan, maupun politik. Karena itu, salah satu tugas Dewan Da’wah sejak awal berdirinya ialah mempererat ukhuwah Islamiyah dan kebangsaan.

Tentu, dalam hal ini Dewan Da’wah harus banyak bersilaturahim dengan berbagai kalangan, terutama antarsesama aktivis dakwah. Dengan begitu, ukhuwah dapat lebih ditonjolkan. Perpecahan pun dapat dihindari.

Kita selalu mengambil teladan dari sosok Pak Natsir. Bagaimana beliau sebagai seorang dai yang alim sekaligus negarawan yang hebat. Jadi, kita mempunyai model atau contoh tentang bagaimana meletakkan keindonesiaan dan keislaman secara proporsional.

Tidak hanya Pak Natsir, para tokoh Dewan Da’wah juga banyak yang menjadi pendiri bangsa. Misalnya, Pak Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, dan Buya Hamka. Para tokoh itu juga merupakan keluarga besar Dewan Da’wah.

Tentunya Dewan Da’wah sangat berkomitmen untuk menjaga keutuhan NKRI. Pak Natsir bahkan dikenal sebagai tokoh yang mengembalikan NKRI melalui Mosi Integral yang diusungnya tahun 1950. Oleh karena itu, yang harus kita lakukan adalah terus menjaga keutuhan itu.

photo
Ustaz Dr Adian Husaini semakin akrab dengan para sesepuh Dewan Da'wah sejak dirinya menjadi jurnalis Republika. - (DOK PRI)

Dari Wartawan ke Aktivis Dakwah

Ustaz Dr Adian Husaini lahir di Desa Kuncen, Padangan, Bojonegoro, Jawa Timur, sekitar 54 tahun lalu. Sebelum menerima amanah sebagai ketua umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, ia lebih dikenal publik sebagai seorang akademisi Islam yang kritis. Sejumlah buku telah lahir dari tangannya.

Beberapa menjadi bacaan populer di kalangan pegiat literasi Islam, semisal Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam (2004), Wajah Peradaban Barat (2005), atau Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (2006). Tidak hanya genre nonfiksi, Adia belakangan tertarik untuk menggeluti ranah kesusastraan. Sebut saja novelnya yang berjilid-jilid, Kemi (2010-2015).

Sejak 22 September 2020, ia menjadi nakhoda baru Dewan Da’wah. Bersama dengan Prof KH Didin Hafidhuddin selaku ketua pembina—sosok yang pernah menjadi gurunya di Masjid al-Ghifari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Pesantren Ulil Albab Bogor—Adian berupaya memajukan organisasi ini agar kian berkiprah di tengah umat dan bangsa.

Alumnus International Islamic University Malaysia (IIUM) itu sesungguhnya sudah mengenal Dewan Da’wah sejak masih kuliah sarjana di IPB. Namun, hubungannya dengan para tokoh organisasi tersebut kian hangat sejak dirinya menjadi wartawan. Ia bekerja pada Harian Republika begitu lulus dari kampus tersebut pada 1993.

“Saya menjadi wartawan Republika sejak 1993. Jadinya semakin akrab dengan pimpinan Dewan Da’wah saat itu. Namun, saat masih mahasiswa tahun 1984 pun saya sebenarnya sudah mengenal tokoh-tokoh Dewan Da’wah,” ujar Adian saat dihubungi pada awal pekan ini.

Di sela-sela waktunya menulis berita, ia juga menyempat diri untuk mengajar. Sejak masih remaja, Adian berprinsip bahwa seorang manusia haruslah bermanfaat bagi sesama, menebarkan maslahat seluas-luasnya. Ini terinspirasi dari hadis Nabi Muhammad SAW, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama". “Prinsip saya, bagaimana agar saya bisa menjalankan amanah sebagai seorang Muslim dengan sebaik-baiknya,” ucapnya.

 
Prinsip saya, bagaimana agar saya bisa menjalankan amanah sebagai seorang Muslim dengan sebaik-baiknya.
 
 

Di dunia akademis, ia bersama dengan sejumlah kolega mendirikan Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (Insists) pada 2003. Insists hingga kini berfokus pada penelitian dan pelatihan tentang pemikiran dan peradaban Islam.

Adian merasa terhormat tatkala pada 2005 dirinya diminta Kiai Didin untuk turut membantu Dewan Da’wah, khususnya dalam bidang studi pemikiran. “Guru-guru saya banyak sekali di situ (Dewan Da’wah), tidak mungkin saya menolak tawaran dari beliau,” katanya.

Keaktifannya tidak hanya di sana. Dalam rentang 2005-2011, Adian pernah menjadi anggota Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus Pimpinan Pusat Muhammadiyah serta Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia Pusat. Saat ini, bapak tujuh orang anak itu menetap Depok, Jawa Barat.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat