Seorang pemuda memegang gambar Presiden Prancis Emmanuel Macron yang dicap sepatu dalam aksi unjuk rasa di Istanbul, Turki, Ahad (25/10). | AP Photo/Emrah Gurel

Opini

Kartun Nabi, Kebebasan Berekspresi?

Mereka harus menghormati bahwa larangan memvisualkan Nabi Muhammad adalah keyakinan suci pemeluk Islam.

EKO RIYADI, Direktur Pusat Studi HAM dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Beberapa hari terakhir, negara Muslim terusik kejadian ditunjukkannya gambar kartun Nabi Muhammad yang dimuat majalah Charlie Hebdo oleh Samuel Paty,  guru sejarah di depan murid-muridnya di sekolah menengah Conflans-Sainte-Honorine.

Tindakan itu menyebabkan sang guru menjadi korban pembunuhan keji yang dilakukan Abdullakh Anzorov, pemuda 18 tahun berkebangsaan Chechnya yang saat kejadian merupakan pengungsi di wilayah Prancis.

Saat mengunjungi sekolah pada malam kejadian, Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan, ini serangan teroris Muslim. Ia menambahkan, hari ini seorang warga  dibunuh karena dia seorang guru dan berpikir dengan kebebasan berekspresi.

Seluruh negara akan berdiri di belakang sang guru. Teroris tidak bisa memecah belah Prancis, kekerasan tidak akan menang. Saat berkunjung ke Lebanon, Macron mengajak untuk saling menghormati satu sama lain.

 
Menggunakan nalar kebebasan berekspresi untuk membenarkan tindakan yang melukai perasaan umum komunitas agama adalah klaim yang perlu didiskusikan ulang.
 
 

Namun, Macron berdalih bukan kapasitasnya sebagai presiden untuk menilai tindakan Paty. Ia menegaskan, itu kebebasan berekspresi yang pemerintahannya bisa menghormatinya.

Komunitas Muslim di banyak negara, mengirimkan pesan penentangan dengan pelbagai cara. Demonstrasi merebak, ajakan memboikot produk Prancis menyeruak, dan kecaman dari kepala negara-negara Muslim menggema.

Pembunuhan merupakan tindakan keji. Pelakunya berhak atas hukuman setimpal. Namun, menggunakan nalar kebebasan berekspresi untuk membenarkan tindakan yang melukai perasaan umum komunitas agama adalah klaim yang perlu didiskusikan ulang.

OPI versus Austria

Pada 1985, Otto-Preminger-Institut fũr Audiovisuelle Mediengestaltung (OPI), organisasi swasta nonprofit untuk mendorong kreativitas, komunikasi, dan hiburan menjadwalkan untuk merilis film Das Liebesconzil (Council of Heaven).

Film ini berisi kritik satir atas pengaruh kekuasaan Tuhan melalui perwakilannya di bumi. Film ini ditentang Keuskupan Gereja Katolik Roma di Kota Innsbruck, terkait penggambaran secara tidak patut kepada Tuhan, Kristus (Isa Al-Masih), dan Bunda Maria (Maryam).

Tuhan digambarkan sebagai lelaki tua tak berdaya, Kristus anak dengan keterbatasan intelektual, dan Bunda Maria sebagai perempuan asusila.

Atas laporan Keuskupan Gereja Katolik Roma di Innsbruck, jaksa penuntut umum menyusun dakwaan tindak pidana kepada manajer OPI, Dietmar Zingl, pada 10 Mei 1985.

Dakwaannya, “meremehkan doktin agama”, tindakan yang dilarang berdasarkan Pasal 188 KUHP (Strafgesetzbuch). Selain memproses pidana, Pemerintah Austria melarang edar serta menyita dokumen film untuk memastikan film itu  tidak diputar di mana pun.

 

 
Doktrin berguna untuk memahami bahwa interpretasi atas hak dan kebebasan sering beririsan tipis dengan konteks budaya tempat hak dan kebebasan itu diterapkan.
 
 

 

OPI mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk menyatakan, tindakan Pemerintah Austria melanggar hak atas kebebasan berekspresi. Hingga akhir proses peradilan, OPI dinyatakan kalah.

Pengadilan Austria memberikan pertimbangan penting, pelukisan secara tidak patut terhadap orang-orang suci dan ekaristi adalah bentuk penyerangan terhadap agama Kristen.

Lalu, OPI menggugat lewat Pengadilan HAM Eropa. OPI meminta agar Pemerintah Austria dinyatakan melanggar Pasal 10 Konvensi HAM Eropa tentang kebebasan berekspresi dan memerintahkan agar mereka mengembalikan  dan membolehkan penayangan film itu.

Pengadilan HAM Eropa menolaknya dengan memperkenalkan doktrin margin of appreciation, yang dimaknai kemungkinan membangun keseimbangan hak dan kebebasan individual dengan kepentingan nasional, termasuk memitigasi potensi konflik.

Doktrin berguna untuk memahami bahwa interpretasi atas hak dan kebebasan sering beririsan tipis dengan konteks budaya tempat hak dan kebebasan itu diterapkan. Penikmatan atas hak dan kebebasan harus dijalankan untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain.

Pelajaran bagi Prancis

Alih-alih mencoba memahami protes banyak negara, Macron berkukuh, tindakan Charlie Hebdo adalah kebebasan yang terlindungi. Macron bahkan menyatakan komunitas Muslim sedang mengalami keterpurukan serius.

Pernyataan yang hanya memunculkan kontroversi baru karena pembunuhan yang dilakukan Anzorov adalah tindakan individual yang tak dapat dijadikan alasan untuk merendahkan agama yang dianutnya.

Pemerintah dan masyarakat Prancis seyogianya belajar, penghormatan atas orang yang disucikan komunitas agama adalah bagian dari kode moral yang seharusnya dikembangkan. Penghormatan ini berlaku bagi semua komunitas agama.

 

 
Sikap saling menuju ke tengah untuk saling membangun dialog berdasarkan penghormatan adalah jalan damai yang harus ditempuh. 
 
 

 

Mereka harus menghormati bahwa larangan memvisualkan Nabi Muhammad adalah keyakinan suci pemeluk Islam. Komunitas Muslim juga akan belajar untuk selalu menghormati keyakinan suci agama lain dengan tidak menyerang dan merendahkannya.

Praktik Eropa sendiri memberikan banyak pelajaran bahwa kode moral sering harus dipahami dengan hati-hati agar tindakan yang muncul adalah tindakan yang menghormati.

Pesan harus dikirimkan kepada dunia, khususnya pemerintah dan masyarakat Prancis, tindakan berbasis fundamentalisme sekuler memunculkan penentangan dari fundamentalisme religius. Dua kutub ekstrem yang akan merusak tatanan dunia modern.

Sikap saling menuju ke tengah untuk saling membangun dialog berdasarkan penghormatan adalah jalan damai yang harus ditempuh. Semoga kita mau saling belajar. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat