Kabar Utama
Macron Kian Dikecam
Pernyataan Macron direspons pemboikotan produk Prancis di Qatar dan Kuwait.
JAKARTA — Kecaman terhadap sikap Presiden Prancis Emmanuel Macron terhadap Islam yang ia sampaikan belakangan kian meluas. Pemboikotan produk-produk Prancis juga mulai dijalankan di sejumlah negara.
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Muhyiddin Junaidi menilai tindakan Presiden Prancis membuat Islamofobia tumbuh subur. “Macron harus belajar banyak tentang toleransi beragama, terutama (belajar banyak tentang) Islam,” kata Kiai Muhyiddin kepada Republika, Senin (26/10).
Kiai Muhyiddin juga meminta Macron mengingat sejarah bahwa Prancis adalah salah satu kolonialis paling rasialis dan kejam atas warga jajahan mereka di dunia, terutama di Benua Afrika.
Waketum MUI mengingatkan Presiden Prancis bahwa kebebasan tanpa batas dan melawan norma justru akan mengakibatkan kegaduhan. MUI juga minta kepada Pemerintah Indonesia segera memanggil duta besar Prancis untuk Indonesia guna mendapatkan penjelasan komprehensif terkait pernyataan Macron.
Gelombang penolakan belakangan bermula dari pidato Macron pada 2 Oktober lalu. Saat itu, Macron menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sedang dalam krisis.
Ia juga menekankan, pemerintahannya akan meluncurkan aturan lebih tegas untuk mencegah “separatisme” Islam, termasuk pengawasan masjid dan imam yang lebih ketat untuk mencapai pemahaman “Islam versi Prancis”.
Prancis dalam beberapa tahun belakangan memang mengalami sejumlah serangan mematikan dari ekstremis yang mengatasnamakan Islam. Sedikitnya 240 orang telah terbunuh dalam serangan-serangan terorisme di Prancis sejak 2015.
Meski demikian, pidato Macron memunculkan kekhawatiran bagi komunitas Muslim Prancis yang jumlahnya terbanyak di Eropa. Imigran-imigran lintas generasi di Prancis telah bertahun-tahun mengeluhkan diskriminasi dan rasialisme yang mereka hadapi. Komentar pukul rata Macron ditakutkan memperparah kondisi itu.
Komentar Macron dilatari penolakannya melarang majalah Charlie Hebdo menerbitkan ulang karikatur yang melecehkan Nabi Muhammad SAW. Tak lama setelah pidato Macron, seorang guru yang menampilkan karikatur di sekolah saat menjelaskan tentang kebebasan berekspresi dipenggal.
Peristiwa itu kemudian digunakan Macron meneguhkan sikapnya yang tak akan melarang penerbitan karikatur. “Kita tak akan menyerah dengan kartun kita,” ujar Macron dalam aksi berkabung bagi guru tersebut di Paris, pekan lalu.
L’ambition de former et promouvoir en France une génération d’imams et d’intellectuels qui défendent un Islam pleinement compatible avec les valeurs de la République est une nécessité. pic.twitter.com/VsqsYU7Ggt — Emmanuel Macron (@EmmanuelMacron) October 2, 2020
Selain MUI, kecaman juga datang dari berbagai lembaga ulama terkemuka dunia. Imam Besar al-Azhar Syekh Ahmad el-Tayeb mengatakan, pernyataan Macron membawa Islam ke pertarungan politik. “Kami tidak menerima simbol atau situs suci kami menjadi korban tawar-menawar murahan pemilihan umum,” kata pimpinan badan keagamaan tertinggi di Mesir itu melalui Twitter.
Sementara, Dewan Senior Ulama Arab Saudi menyatakan bahwa memfitnah Nabi Muhammad hanya akan memancing para ekstremis. “Penghinaan ini termasuk dalam menawarkan layanan gratis kepada ekstremis yang ingin menyebarkan kebencian di antara orang-orang,” ujarnya dalam pernyataan yang dikutip di Arab News, Senin (26/10).
Perdana Menteri Pakistan Imran Khan pada Ahad (25/10) menilai Macron sengaja memprovokasi Muslim dengan membela penerbitan kartun. Kecaman juga dilayangkan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
“Apa masalah Macron dengan Islam dan Muslim? Dia membutuhkan perawatan kesehatan mental,” kata Erdogan dalam rapat partai, akhir pekan lalu.
Prancis kemudian memanggil duta besar Turki atas pernyataan ini. Kantor kepresidenan Prancis mengatakan pernyataan Erdogan berlebihan dan kasar. Selain Turki dan Pakistan, kecaman juga datang dari Iran, Yordania, Libya, Mesir, Aljazair, Maroko, dan lainnya.
Di Tel Aviv, Israel, ratusan orang melakukan unjuk rasa di luar kediaman duta besar Prancis untuk Israel di Distrik Jaffa yang penghuninya sebagian besar keturunan Arab. “Kita harus menghormati Nabi Musa di antara orang-orang Yahudi. Kita harus menghormati Yesus Kristus yang adalah nabi kita juga, dan kita harus menghormati Nabi Muhammad SAW,” kata salah satu demonstran, Amin Bukhari, dilansir Ynetnews, Senin (26/10).
Di sejumlah negara, pemboikotan terhadap produk perusahaan asal Prancis terjadi. “Kami telah memindahkan semua produk Prancis, yaitu keju, krim, dan kosmetik dari rak koperasi dan mengembalikannya ke agen resmi merek-merek ini di Kuwait,” kata Wakil Ketua Federasi Masyarakat Koperasi Kuwait, Khaled Al-Otaibi, kemarin.
Di Doha, Qatar, para pekerja di jaringan supermarket Al Meera mulai mengeluarkan selai St Dalfour buatan Prancis dan ragi Saf-Instant dari rak mereka. Al Meera dan operator grosir lainnya, Souq Al Baladi, menyatakan akan menarik produk Prancis sebagai tanggapan atas pidato Macron.
Atas rerupa kecaman itu, Macron mengunggah kembali sikapnya melalui Twitter dalam bahasa Arab pada Ahad (25/10). “Kami tidak akan pernah menyerah. Kami menghormati semua perbedaan dalam semangat damai. Kami tidak menerima perkataan yang mendorong kebencian dan membela perdebatan yang masuk akal. Kami akan selalu berpihak pada martabat manusia dan nilai-nilai universal,” tulisnya.
Strategi jangka pendek Macron
Pengamat hubungan internasional Universitas Padjadjaran (Unpad), Teuku Rezasyah mengatakan, kritik itu menunjukkan Macron hanya memikirkan jangka pendek seperti memenangkan pemilu. "Saya tidak mengerti, Prancis memiliki pemahaman studi wilayah yang luar biasa. Mereka pernah menjajah sampai Pasifik Selatan, Timur Tengah, Afrika karena penguasaan studi wilayah yang luar biasa, kok Macron tidak belajar dari sana," kata Teuku, Senin (26/10).
Teuku mengatakan, tampaknya Macron tidak sadar masalah multirasial di Prancis hari ini diawali oleh kolonialisme negara itu pada masa lalu. Masyarakat minoritas di Prancis saat ini berasal dari negara-negara jajahan Prancis.
"Walaupun mereka pindah ke wilayah Anglo-Saxon pun belum tentu cocok. Jadi berbekal sisa pemahaman masa lalu dan beratnya hidup masa penjajahan Prancis, mereka berpikir untuk meraih masa depan ya harus hidup di Prancis lagi," ujar Teuku.
Menurut Teuku, presiden Prancis tidak memahami masalah hubungan lintas budaya atau peradaban. Teuku mengatakan, Macron tidak adil karena hanya mengkritik Islam, tidak mengkritik agama-agama lain.
Menurut dosen Universitas Padjajaran itu, bila Macron memang menekankan pentingnya kehidupan multikultural yang adil, presiden Prancis itu juga mengkritik agama-agama yang lain. "Mungkin ada ketakutan, tingkat pertumbuhan penduduk Islam memang luar biasa, dan bila berada di tingkat yang sama, pada tahun 2075 masyarakat Islam dapat menjadi mayoritas di Prancis," kata Teuku.
Selain harus diakui, menurut Teuku, para imigran Muslim biasanya bekerja sangat keras. Sebab, ketika meninggalkan tempat asalnya, mereka bertekad meningkatkan status sosial atau taraf hidup ke jenjang yang lebih baik.
"Wajar Macron khawatir pelan-pelan wajah Eropa akan menjadi Islam, tapi biar bagaimanapun dia harus menghargai proses nilai tambah yang sesuai dengan hukum-hukum demokrasi Prancis," kata Teuku menambahkan.
Menurut Teuku, Macron harusnya belajar dari Wali Kota London, Sadiq Khan. Seorang Muslim generasi kedua yang pola pikirnya progresif dan mengutamakan budaya Inggris.
Bagi Teuku, Indonesia tidak perlu mengomentari Macron. Sebab, boikot yang kini banyak diserukan masyarakat Arab tidak akan menguntungkan siapa pun. Ia mengatakan, hubungan Indonesia-Prancis itu untuk jangka panjang dan berlapis-lapis.
Ketergantungan Indonesia pada produk-produk Prancis tidak terlalu besar. Kecuali di sejumlah industri teknologi tinggi, seperti alutsista militer terutama radar. Prancis juga bukan investor utama di Indonesia dan investasinya di bidang pembangunan umum sangat minim.
"Tidak ada gunanya Indonesia memboikot produk Prancis," kata Teuku. Bagi Teuku yang bisa dilakukan Indonesia, belajar dari pengalaman Macron. Seorang pemimpin, menurut dia, hendaknya berhati-hati sebelum bicara.
Nasib minoritas
Di sela-sela polemik pidato Macron, seorang guru, Samuel Paty (47), dibunuh dengan cara dipenggal oleh seorang remaja bernama Abdoullakh Anzorov (18). Paty dibunuh dalam perjalanan pulang dari sekolah, tempat dia mengajar di Conflans-Sainte-Honorine, pada Jumat (16/10) lalu. Guru tersebut sebelumnya sempat muncul di media sosial dalam foto tengah menunjukkan karikatur Nabi Muhammad di kelasnya.
Umat Islam di Prancis khawatir kematian tragis Samuel Paty digunakan untuk menjalankan kebijakan pemerintah, yang mereka khawatirkan mencampurkan Islam dengan terorisme. "Muslim menjadi sasaran. Saya yakin Macron menggunakan Islamofobia untuk memperkuat kampanyenya," kata seorang aktivis Muslim Prancis, Yasser Louati, kepada Aljazirah, Sabtu (24/10).
Beberapa hari setelah pembunuhan, pemerintah Prancis melancarkan tindakan keras terhadap organisasi Muslim. Sementara itu, kelompok main hakim sendiri menyerang masjid dan tempat ibadah di Beziers dan Bordeaux.
Pada Senin pekan lalu, Pemerintah Prancis melakukan banyak penggerebekan dan mengancam pengusiran massal lebih dari 200 orang. Sementara itu, lebih dari 50 organisasi Muslim menjadi sasaran.
Organisasi Cheikh Yassine Collective telah dibubarkan dan dilarang setelah pembunuhan itu. Pendiri grup, Abdelhakim Sefrioui, ditahan oleh polisi karena memublikasikan video di Youtube yang menghina Paty.
Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin, juga mengusulkan untuk melarang Collective Against Islamophobia in France (CCIF), sebuah asosiasi yang melacak kejahatan rasial anti-Muslim. Pemerintah juga telah memperingatkan lebih dari 50 kelompok masyarakat sipil dan akademisi.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.