Opini
Aksi Kolektif untuk UMKM
Aksi kolektif ini akan menyelamatkan UMKM menemukan peluang pada masa serbasulit ini.
ADDIN JAUHARUDIN, Mahasiswa Program Doktoral Universitas Brawijaya dan Wasekjen Bidang Ekonomi PP GP Ansor
Badai pandemi Covid-19 belum usai. Selain berdampak pada kesehatan, korona mampu menginfeksi sendi-sendi ekonomi negara.
APBN 2020 mengoreksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi -0,4 persen dari 5,3 persen. Melambatnya pertumbuhan ekonomi terjadi karena efek domino dari kinerja bisnis yang melambat akibat terhentinya mobilitas manusia.
Ini merembet pula pada terjadinya PHK yang mengakibatkan pengangguran meningkat menjadi 4,86 juta, dan bermuara pada 5,32 juta jiwa masuk dalam jurang kemiskinan. Nyaris semua sektor ekonomi luluh lantak tersapu badai asal Wuhan ini.
Pedagang cilik mampu tegak berdiri di tengah terjungkalnya pelbagai indikator ekonomi pasca-Indonesia menikmati indahnya bulan madu pembangunan.
Tak terkecuali bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Pelaku UMKM dihadapkan pada pilihan sulit, jangankan berkembang, untuk bertahan saja tidak mudah. Padahal, sebelumnya UMKM teruji sebagai penyelamat Indonesia menghadapi krisis demi krisis.
Mulai dari krisis keuangan 1998, subprime mortgage 2008, hingga taper tantrum 2013. Pedagang cilik mampu tegak berdiri di tengah terjungkalnya pelbagai indikator ekonomi pasca-Indonesia menikmati indahnya bulan madu pembangunan.
Imunitas UMKM terbukti mampu diandalkan ketika ekspor tiarap. Kalau begitu, tampaknya benar kata ekonom Jerman, EF Schumacer dalam Small is Beautiful. Seyogianya kita tak melulu terobsesi dengan yang ia sebut gigantis, semua harus megah dan besar.
Pelaku ekonomi kecil bisa jadi kekuatan besar. Karena itu, penguasa mesti menyokongnya. Pada dekade 80-an, istilah industri kecil mulai tersohor dengan istilah flexible specialization yang ada dalam buku The Second Industrial Divide karangan Piore dan Sabel.
Mereka mendiskusikan munculnya kembali lokasi pengrajin di sejumlah wilayah, di antaranya Italia, Australia, dan Jerman. Mereka menegaskan, UMKM mempekerjakan pekerja berketerampilan tinggi serta mesin-mesin yang fleksibel.
Kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional (PDB) kita, 60,34 persen (Data BPS, 2017), sisanya 38,9 persen disumbangkan pelaku usaha besar.
Setidaknya, ada empat masalah yang teridentifikasi Kementerian Koperasi dan UMKM, di antaranya penurunan permintaan, pemasaran produk, akses bahan baku, dan masih rendahnya SDM.
Berdasarkan data Kementerian Perekonomian, UMKM hingga 2017 sebanyak 64,2 juta unit, menyerap 117 juta pekerja. Namun, di tengah konstribusinya yang riil, mereka masih harus berjuang sendiri untuk mengembangkan usahanya.
Setidaknya, ada empat masalah yang teridentifikasi Kementerian Koperasi dan UMKM, di antaranya penurunan permintaan, pemasaran produk, akses bahan baku, dan masih rendahnya SDM. Ya, itu merupakan persoalan klasik.
Pemerintah melalui kementerian terkait meluncurkan berbagai program untuk mendukung UMKM. Sebut saja, program kredit usaha rakyat (KUR) dan pendampingan lainnya. Persoalan selanjutnya adalah apakah itu dapat diakses puluhan juta UMKM? Tentu, belum.
Ini merujuk debitur penerima KUR dari Agustus 2015 sampai 30 September 2019, sebanyak 18 juta UMKM dengan 12 Juta NIK yang tidak berulang. Penyaluran KUR hingga 30 September 2019 mencapai Rp 115,9 triliun, jauh dari jumlah UMKM 64,2 juta tahun 2017.
Belum tuntas dengan tantangan klasik itu, UMKM kembali harus menerima takdir kedatangan badai pandemi. Korona berhasil menghantam mereka hingga terperosok ke dalam jurang kebangkrutan.
Berbeda dari tiga krisis sebelumnya, kini UMKM tak berkutik. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mengakibatkan matinya mobilitas manusia, sehingga ampuh seketika menggerogoti supply dan demand.
Bayangkan, misalnya, jumlah UMKM 2017 ada 64,2 juta, masing-masing UMKM katakanlah memiliki tiga pegawai. Maka itu, sekitar 192 juta penduduk Indonesia terancam menganggur.
Gerakan kolektif
Perlu gerakan kolektif menolong UMKM. Peran masyarakat bisa dimulai dari gerakan atau hastag belanja di warung tetangga atau slogan ‘tokomu adalah tokoku’, dan ‘warungmu adalah warungku’. Terlebih media sosial mampu menggerakkan semua dengan sekejap.
Gerakan kolektif ini niscaya akan menyelamatkan, atau bahkan membantu UMKM menemukan peluang pada masa serbasulit ini.
Kita ambil contoh dari aplikasi Instagram saja. Data yang dirilis Napoleon Cat menunjukan, pengguna Instagram di Indonesia 69,2 juta orang hingga Mei 2020. Sebuah modal yang besar menggaungkan kampanye penyelamatan UMKM.
Di samping itu, dunia pendidikan juga bisa memperkuat kurikulum kebangsaan ihwal kecintaan pada produk lokal kepada anak didik. Di lain sisi, pemerintah memperkukuh berbagai injeksi untuk UMKM.
Pada saat pandemi, pemerintah menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 pada 1 April, yang berisi penetapan anggaran Rp 405,1 triliun. UMKM diberi jaring penyelamatan Rp 70,1 triliun untuk restrukturisasi kredit, penjaminan, pembiayaan, insentif perpajakan.
Anggaran ditambah melalui Perpres Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur APBN pada 1 Juli 2020. Secara garis besar, perpres mengatur ihwal alokasi anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) Rp 695,2 triliun, sebanyak Rp 123,46 triliun untuk UMKM.
Tak kalah penting, asosiasi-asosiasi pengusaha pun seharusnya lebih masif merangkul UMKM agar diedukasi pengetahuan bisnisnya agar dapat menghapus bayang-bayang gulung tikar. Gerakan kolektif ini niscaya akan menyelamatkan, atau bahkan membantu UMKM menemukan peluang pada masa serbasulit ini.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.