Acara peluncuran novel Air Mata Api | Youtube

Pustaka

Ada Lagu-lagu Iwan Fals dalam Novel Ini

Iwan Fals mengaku terhanyut saat membaca novel ini.

Orang Indonesia (OI), sebutan untuk penggemar musisi Iwan Fals, tentu tak asing dengan lagu "Air Mata Api". Iwan memperkenalkan tembang itu pada album Mata Dewa rilisan 1989. "Aku adalah lelaki tengah malam. Ayahku harimau, ibuku ular. Aku dijuluki orang sisa-sisa. Sebab kerap merintih, kerap menjerit," demikian bunyi penggalan lirik lagu.

Liriknya lugas mendeskripsikan kehidupan orang-orang pinggiran yang secara populer disebut juga kaum kusam. Setelah puluhan tahun, tembang itu bertransformasi menjadi wujud kesenian yang lain.

Terinspirasi dari lagu-lagu ciptaan Iwan Fals itulah, penulis Piter Abdullah Redjalam menghadirkan novel berjudul Air Mata Api. Piter mengembangkan 12 lagu Iwan menjadi 12 bab cerita, termasuk lagu "Air Mata Api".

Piter mewujudkan kisahnya melalui tokoh Gara, Garnis, Juki, Gayatri, dan Saguna. Kisah mereka berkelindan dalam alur kompleks, dengan alur maju-mundur yang membawa pembaca kembali ke masa lalu.

Dimulai dengan bab pertama "Berandal Malam di Bangku Terminal". Berlanjut dengan "Rindu Tebal", "Nak", "Asmara tak Secengeng yang Aku Kira", "Antara Aku Kau dan Bekas Pacarmu", "Senandung Istri Bromocorah", dan "Ada Lagi yang Mati".

Piter yang mengaku sebagai penggemar berat Iwan Fals juga mengubah lirik "Adzan Subuh Masih di Telinga", "Ujung Aspal Pondok Gede", "Jangan Tutup Dirimu", serta "Air Mata Api". Bab "Aku Antarkan" menjadi penutup dalam novel.

"Proses penulisan buku ini saya selesaikan sekitar 10 tahun. Saya besar bersama lagu-lagu Bang Iwan. Hampir semua lagunya mengena sekali dan punya narasi kuat," kata Piter yang selama ini lebih dikenal sebagai ekonom.

Dia memilih "Air Mata Api" sebagai judul novel karena dianggap sempurna menceritakan kemarahan orang yang tersingkirkan dan tersia-sia. Itu menjadi benang merah dari keseluruhan novel. Piter menyenangi lagu-lagu Iwan sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Menurut dia, karya Iwan sangat mengena dan mewakili dengan tepat kehidupan sehari-hari yang dijalani banyak orang.

Sebanyak 12 lagu yang dia pilih dan dijabarkan menjadi cerita yang saling terangkai, disebutnya punya emosi kuat. Refleksi kehidupan sarat pesan itu lantas dia tuangkan menjadi plot. Cara penulisan Piter tidak dilakukan secara berurutan. Lagu pertama yang dia tulis menjadi bab novel adalah "Rindu Tebal". Tembang mengisahkan seseorang yang merasa bersalah kepada orang tua dan ragu apakah permintaan maafnya sungguh diterima.

Setelah itu, Piter butuh jeda tiga tahun untuk mengumpulkan ide guna menuliskan bab terkait yang terinspirasi 11 lagu lainnya. Setelah semua selesai, barulah dia menghubungi pihak Iwan dan keluarga.

Novel  tersebut merupakan kolaborasi Piter dengan Tiga Rambu Management yang menaungi Iwan Fals serta perusahaan manajemen kekayaan intelektual, Khas Studio. Setelah beralih wahana dalam bentuk novel, karya juga direncanakan menjadi film.

"Dari satu novel, rencananya akan menjadi dua film. Selain 12 lagu dalam novel ini, banyak lagu lain yang akan masuk dalam cerita pada proses kreatif selanjutnya," ungkap Piter yang mengisyaratkan lanjutan cerita.

Musisi Iwan Fals menyambut baik terbitnya novel Air Mata Api. Penyanyi bernama asli Virgiawan Listanto itu mengaku terhanyut saat membaca novel karya Piter. Dia salut karena lagunya bisa dikembangkan menjadi cerita yang kompleks. Bahkan, hikayat itu seperti memiliki semestanya sendiri. Disampaikan Iwan, imajinasi Piter mampu memunculkan sejumlah karakter dengan penokohan kuat dalam novel sehingga mengasyikkan dibaca.

Iwan seolah dilemparkan lagi ke era 1967, padahal beberapa lagunya dia buat pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Dia menyebut latar kisah rekaan Piter sebagai sebuah dunia yang gelap tapi juga memuat kebaikan. "Dunia penuh pelanggaran hukum, tapi ada kesan penjahat budiman. Sekarang ini perlu kita merenung kembali tentang kegelapan, karena kalau tidak ada kegelapan, kita tidak mungkin tahu seperti apa terang," ucap Iwan.

 

 
Sekarang ini perlu kita merenung kembali tentang kegelapan, karena kalau tidak ada kegelapan, kita tidak mungkin tahu seperti apa terang.
Iwan Fals
 

 

Lagu "Air Mata Api" semula dibuat Iwan sebagai bentuk kekesalan seorang pengamen, tapi Piter membongkarnya menjadi cerita baru. Dia tetap mendukung berbagai bentuk kesenian yang ada, termasuk rencana untuk menjadikannya film.

Iwan senang-senang saja, karena menganggap kehadiran film bisa membuka lapangan kerja bagi ratusan orang dan seniman. "Buat saya kesenian seperti gelas yang dilempar ke lantai, pecahannya tidak terduga akan ke mana," tuturnya.

Meski sudah bertransformasi menjadi novel, pada setiap awal bab, Piter mencantumkan penggalan lirik tiap lagu yang dia ubah menjadi cerita. Dengan begitu, pembaca bisa memaknai keterkaitan antara konflik para tokoh dengan lagu Iwan.

 Kekelaman cerita kaum kusam pada Air Mata Api juga dipermanis dengan romansa antara tokoh utama Gara dan pujaan hatinya, Garnis. Kedua orang tua Gara, Saguna dan Gayatri, juga memiliki kisah yang tak kalah menarik.

Novel antropologis

Penulis Fachry Ali yang memberikan pengantar pada novel, secara khusus mencermati penokohan tersebut. Dia memberikan cap novel antropologis kepada karya Piter yang telah dia baca. Alasannya, novel berkisah tentang sudut sekaligus lapisan kehidupan 'orang-orang terbuang', baik secara sosial maupun budaya. Tokoh Saguna dan Juki mewakili sosok social banditry dalam konteks antropolog. Tokoh-tokoh itu terpaksa bertingkah laku melanggar hukum, tapi pada saat yang sama berusaha membangun sikap budiman. Secara tidak langsung, pola-pola tindakan mereka berada di jaringan makna tertentu.

Di satu sisi, novel juga disebutnya sedikit melenceng dari latar budaya. Hal itu terutama terlihat dari pemilihan nama Gayatri, padahal dia digambarkan sebagai wong ndeso, bukan dari golongan priyayi. Pun latar belakang Jawa dari tokoh Gayatri dan Saguna tidak sepenuhnya terungkap. Begitu pula dialog Saguna dan Juki yang lebih memperlihatkan proyeksi tata bahasa terpelajar. Juki si anak Betawi, terkadang juga bicara dengan gaya Melayu tinggi.

Menurut Fachry, itu semua terpengaruh oleh perjalanan pengalaman kolektif yang dialami Piter secara personal. Rekam jejaknya memberikan efek dramatis kepada persepsi Piter atas tokoh-tokoh dalam novel. Semua itu menjadi bumbu esensial cerita, berpadu dengan keterpanaan pada lagu-lagu protes Iwan Fals. "Novel ini adalah ekspresi sosial budaya seorang ekonom yang terperosok ke dalam pengalaman kolektif yang dramatis itu," kata Fachry.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat