Resonansi
Emirat dan Bahrain Persatukan Palestina
Faksi-faksi Palestina sepakat untuk bersatu dan mengabaikan berbagai perbedaan di antara mereka.
Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI
OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI
Salah satu hikmah dari perjanjian damai dan normalisasi hubungan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain dengan Israel adalah bersatunya faksi-faksi Palestina. Dari yang berideologi komunis hingga Islamis dan, terutama, dua faksi utama Palestina, Hamas dan Fatah.
Normalisasi hubungan dengan Israel telah ditolak mentah-mentah oleh semua faksi Palestina. Penolakan yang kemudian membawa mereka menyamakan sikap: pentingnya persatuan dan kembalinya hubungan baik antarfaksi yang selama ini berseteru! Bahkan Presiden Palestina Mahmud Abbas pun mencemooh penyebab perseteruan di antara faksi-faksi Palestina. Ia menganggap perbedaannya sangat kecil dibandingkan dengan perjuangan melawan pendudukan Israel.
Mereka pun bersepakat bahwa Organisasi Pembebasan Palestina atau PLO (Munazzamat al-Tahrir Filastiniyyah/Palestine Liberation Organization) adalah satu-satunya perwakilan sah bangsa Palestina, dan bahwa tidak ada negara Palestina tanpa Gaza atau Tepi Barat. Keduanya adalah satu kesatuan di tubuh Palestina.
Berbagai pihak terus mengupayakan persatuan dua faksi ini, namun selalu gagal.
Persatuan Palestina ambyar sejak 13 tahun lalu. Yaitu ketika pada 2007, Faksi Hamas mengambil alih Jalur Gaza dan mendirikan pemerintahan sendiri, yang terpisah dari pemerintahan di Ramallah, Tepi Barat. Setahun sebelumnya, Hamas yang berideologi Islam memenangkan mayoritas kursi di parlemen Palestina dalam pemilu yang demokratis.
Hasil pemilu ini ditolak oleh Fatah yang berhaluan sekuler — dan didukung oleh sejumlah negara Arab dan pihak Barat, terutama AS —, yang kemudian tetap memerintah di Ramallah.
Sejak itu perseteruan dua faksi utama Palestina ini terus berlangsung, yang beberapa kali diwarnai dengan bentrokan bersenjata. Berbagai pihak terus mengupayakan persatuan dua faksi ini, namun selalu gagal. Bahkan peristiwa-peristiwa besar yang menimpa dan merugikan bangsa Palestina pun tidak mampu mempersatukan mereka.
Ambil sebagai cotoh, munculnya Covid-19 yang juga mewabah di Palestina, pengepungan Gaza oleh pasukan Israel, pengakuan Presiden Trump bahwa seluruh Yerusalem adalah ibu kota Israel, pemindahan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, pembangunan pemukiman Yahudi yang terus menerus dilakukan Israel di wilayah Palestina, rencana penggabungan Tepi Barat sebagai wilayah Israel, rancangan Presiden Trump untuk mengerdilkan Negara Palestina yang dikenal sebagai the Big Deal of the Century, dan seterusnya. Semuanya tidak mampu untuk mempersatukan faksi-faksi Palestina, padahal semua itu telah mengancam eksistensi Negara Palestina.
Namun, perjanjian damai dan normalisasi hubungan UEA dan Bahrain yang tiba-tiba telah membuat kaget para pemimpin Palestina. Para pemimpin Palestina merasa seperti ditikam dari belakang oleh saudaranya sendiri. Mereka merasa perjuangan bangsa Palestina telah dikhianati oleh sesama bangsa Arab.
Ada kemungkinan perjanjian damai dan normalisasi hubungan dengan Israel ini akan diikuti oleh Arab Saudi, Sudan, Oman, dan beberapa negara Arab lainnya.
Apalagi pada pertemuan para menteri luar negeri negara-negara anggota Liga Arab tidak ada pernyataan yang mengecam perjanjian damai dan normalisasi hubungan UEA dan Bahrain dengan Israel. Padahal pertemuan itu atas permintaan Palestina, dengan harapan Liga Arab mengutuk normalisasi hubungan dengan negara Zionis itu. Sebagai protes atas sikap Liga Arab ini, Palestina pun mundur sebagai ketua bergilir Liga Arab sekarang ini.
Inilah fakta baru yang harus dihadapi bangsa Palestina. Fakta baru berupa perubahan geopolitik di Timur Tengah. Ada kemungkinan perjanjian damai dan normalisasi hubungan dengan Israel ini akan diikuti oleh Arab Saudi, Sudan, Oman, dan beberapa negara Arab lainnya.
Bila hal ini terjadi, maka para pemimpin Palestina berikut faksi-faksinya harus siap dengan perubahan geopolitik di kawasan. Antara lain mereka harus menghadapi Israel yang kini mempunyai hubungan baik dengan negara-negara Arab.
Untuk menyikapi fakta baru itu, para pemimpin faksi-faksi Palestina, terutama Hamas dan Fatah, telah sepakat bahwa hal itu harus dimulai dari dalam tubuh Palestina sendiri. Yaitu dengan mengakhiri perpecahan di antara faksi-faksi Palestina yang telah berlangsung selama 13 tahun dengan menyelenggarakan pemilihan umum.
Dalam pertemuan para pemimpin Hamas dan Fatah bulan lalu, mereka telah sepakat untuk menyelenggarakan pemilu dalam enam bulan ke depan atau lima bulan dari sekarang. Mereka juga setuju untuk mengundang lembaga-lembaga asing untuk menjadi pemantau atau pengawas agar pemilu berjalan jujur, adil, dan transparan, sehingga hasilnya bisa dipertanggungjawabkan, termasuk di mata masyarakat internasional.
Pemilu ini untuk memilih anggota parlemen, presiden, dan anggota Dewan Nasional PLO (Organisasi Pembebasan Palestina). Pemilu parlemen dan presiden hanya diikuti oleh warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur. Ini sesuai dengan Kesepakatan Oslo yang ditandatangani oleh pihak Palestina dan Israel pada 1993.
Penduduk di tiga wilayah itu sekitar 6 juta jiwa. Sedangkan pemilu untuk memilih anggota Dewan Nasional PLO boleh diikuti oleh semua orang Palestina di seluruh dunia yang berjumlah sekitar 14 juta jiwa.
Namun, banyak pihak mengkhawatirkan Pemilu Palestina kali ini, berikut hasil dan akibatnya. Kekhawatiran yang didasarkan pada fakta adanya kontradiksi internal dan berbagai perbedaan lain di masing-masing partai, misalnya, meyangkut ideologi partai berikut strategi perjuangannya. Perbedaan yang 13 tahun lalu telah menyebabkan perseteruan panjang antaran Hamas dan Fatah.
Hamas (Harakat al-Muqawwamah al-Islamiyyah/Gerakan Perlawanan Islam) adalah organisasi Islam Palestina, didirikan oleh Syekh Ahmad Yasin pada 1987. Syekh Yasin adalah tokoh Ikhwanul Muslimin di Palestina. Piagam Hamas menyatakan organisasi ini dibentuk untuk membebaskan Palestina dari pendudukan Israel dan mendirikan negara Islam di Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur yang sekarang diduduki Israel.
Itu sebabnya ketika Mesir dan Saudi menganggap Ikhwanul Muslim sebagai organisasi terlarang dan sebagai kelompok teroris, mereka pun memperlakukan hal yang sama terhadap Hamas. Juga Israel dan Amerika, mereka menjadikan Hamas sebagai kelompok teroris.
Hamas yang kini berkuasa di Gaza lebih dekat berhubungan dengan Turki, Qatar, dan Iran, yang menjadi ‘seteru’ Arab Saudi, Mesir, dan negara-negara yang sehaluan dengan mereka.
Sedangkan Fatah (Harakah al Tahrir al Wathany al Falestiny/Gerakan Pembebasan Nasional Palestina) adalah gerakan nasional revolusioner Palestina yang berideologikan sekuler. Fatah didirikan pada 1 Januari 1965 dan merupakan gerakan pertama dalam perjuangan Palestina melawan pendudukan Israel. Fatah selalu dikaitkan dengan pemimpinnya Yasser Arafat sampai kematiannya pada tahun 2004.
Kedua faksi ini — Hamas dan Fatah — pecah kongsi ketika Hamas memenangkan pemilu pada 2006. Namun, yang menggembirakan dalam pertemuan para pemimpin kedua faksi itu pascanormalisasi hubungan UEA dan Bahrain dengan Israel, mereka sepakat untuk bersatu dan mengabaikan berbagai perbedaan di antara mereka. Persatuan yang diwujudkan dalam pemilu mendatang, apa pun hasilnya.
Dan, siapa pun yang terpilih — baik di parlemen, presiden, maupun anggota Dewan Nasional PLO — tugasnya akan sangat berat: melawan pendudukan Israel dan memerdekakan bangsa Palestina di tengah perubahan geopolitik di Timur Tengah.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.