X-Kisah
Blangkon, Kain Batik, dan Pakaian Eropa
Pada 1898 orang-orang bumiputra sudah ada yang berpakaian Eropa, tetapi kepala masih kenakan blangkon/ikat kepala.
OLEH PRIYANTONO OEMAR
Pada 13 Juni 1918, RM Notosuroto melangsungkan pernikahannya di Belanda dengan mengenakan pakaian pengantin Jawa, dengan bawahan kain batik. Mempelai istrinya adalah gadis Belanda. Di Hindia Belanda, keberadaan menantu dari Jawa masih dianggap sebelah mata oleh orang Belanda.
Koran Djawa Tengah --yang dinyatakan pailit oleh pengadilan di Semarang pada 1935-- pada Juli 1918 memuji Notosuroto dalam acara penikahan itu. Sebagai bangsawan Jawa di Eropa, Notosuroto dianggap sangat tahu menjunjung tinggi budayanya.
Sementara di Jawa, orang-orang Jawa menanggalkan pakaian Jawanya, menggantikannya dengan pakaian Eropa. "Menurut kami, itu terlihat konyol," tulis Djawa Tengah.
Notosuroto menjadi salah satu mahasiswa yang mendirikan Indische Vereeniging di Belanda pada 1908 --berubah menjadi Perhimpunan Indonesia pada 1922. Pada 1924 ia keluar dari Perhimpunan Indonesia karena lebih memilih Hindia Belanda tetap bergabung dengan Kerajaan Belanda daripada harus merdeka seperti yang diperjuangkan Perhimpunan Indonesia.
Jauh ke belakang, semasa Achmad Djajadiningrat memasuki sekolah di Batavia, ia sudah mengenakan pakaian Eropa, baju bekas milik anak Kampschuur. "Saya tidak lagi terlihat seperti anak laki-laki Banten, tetapi lebih seperti orang Ambon atau Indo-Eropa," tulis Achmad Djajadiningrat dalam buku Herenningen van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (1936).
Ia menceritakan pengalamannya mendapat cemoohan yang luar biasa setelah pindah dari sekolah yang dipimpin Kampschuur. Di Europeesche Lagere School yang dikelola Kruseman itu --sebagai sekolah yang terbaik, ia diberi nama Belanda untuk menutupi identitas bumiputranya. Kruseman khawatir orang-orang kaya Belanda tak mau menyekolahkan anaknya karena ada bumiputra belajar di sekolahnya.
Nama Belandanya Willem van Bantam. Namun, ini belum mampu menyelamatkannya dari cemoohan.
Itu ia alami ketika diajak Engelenberg berkunjung ke sekolah di Bandung pada 1890-an. Engelenberg adalah aspirant controleur di Cilegon yang membawa Djajadiningrat ke Batavia, menitipkannya ke Kampschuur dan Snouck Hurgronje. Setelah Kampschuur pulang ke Belanda, Hurgronje memindahkan Djajadiningrat ke sekolah Kruseman.
Ia menyapa direktur sekolah di Bandung itu dan menyodorkan tangan untuk bersalaman, seperti kebiasaan di Pandeglang meniru cara Arab. "Dia tidak menjabat tangan saya, tetapi menatap saya dengan jijik dari kepala sampai kaki, seolah berkata: `Ini dia, bumiputra yang membayangkan menjadi orang Eropa'," tulis Djajadiningrat.
Dia tidak menjabat tangan saya, tetapi menatap saya dengan jijik dari kepala sampai kaki.
Ia cukup lama mengacungkan tangan mengajak salam di depan tatapan mata dari para siswa yang mengenakan pakaian bumiputra. "Itu, tentu saja, merupakan momen yang menyakitkan, bagi Tuan Engelenberg juga," katanya. Pulang dari sekolah itu, Engelenberg menasihatinya tentang tata cara Eropa.
Pada 1898 orang-orang bumiputra sudah ada yang mengenakan pakaian Eropa, tetapi kepala masih mengenakan blangkon/ikat kepala. Ada orang dengan nama samaran Sportman yang menyatakan keberatannya dan menulis surat pembaca di koran Bataviaasch Nieuwsblad pada 9 November 1898.
"Saya dan pengendara sepeda lain baru-baru ini merasa kesal saat melihat beberapa orang bumiputra berpakaian Eropa duduk-duduk di sini di Batavia dengan sepedanya," tulisnya.
Hanya blangkon/ikat kepala yang menurutnya memperlihatkan mereka sebagai orang Timur. Tapi, selain itu, kostumnya lengkap khas Eropa: sepatu, kaus kaki panjang, celana selutut, dan jas terkancing.
Hanya blangkon/ikat kepala yang menurutnya memperlihatkan mereka sebagai orang Timur.
Dia mempersoalkan itu dengan mengungkap adanya larangan bumiputra mengenakan pakaian Eropa. Ia juga menyebut larangan di Surabaya bahwa orang Arab tak boleh mengenakan sepatu saat bersepeda.
Ia tak ingin pakaian Eropa dianggap sebagai pakaian bumiputra. Melalui surat pembaca itu, ia pun meminta polisi segera melakukan razia terhadap bumiputra yang mengenakan pakaian Eropa.
Meski mendapat pandangan sinis dari orang-orang Belanda, keinginan orang Jawa bisa berpakaian Eropa terus ada. Eckart, nama samaran dari pejabat pemerintah kolonial, pada 1888 menerbitkan buku Indische Brieven aan een Staatsraad dengan kata pengantar dari etnolog PJ Veth. Di dalamnya disinggung kekhawatiran mengenai penampilan para raden ayu yang mengenakan gaun Eropa dan meninggalkan kebaya mereka.
Bataviaasch Handelsblad pada 1892 juga mengeluarkan kritiknya. Pakaian Eropa hanya mengolok-olok orang Timur dari sudut pandang estetika. Tak hanya di Jawa, tetapi juga di Jepang yang meninggalkan kimono beralih ke gaun Eropa. Kata koran itu, pada dasarnya pakaian telah menjadi konsepsi keindahan yang merefleksikan karakter masing-masing bangsa.
Namun, gelombang perubahan tak bisa dibendung. Pada Februari 1914, misalnya, guru-guru bumiputra di Jawa Timur mengadakan rapat di Surabaya membahas tuntutan diperbolehkan mengenakan pakaian Eropa saat mengajar. Namun, Bupati menasihati agar tak mengadopsi pakaian Eropa karena pakaian Eropa tak bisa digunakan di masjid.
Namun, Bupati menasihati agar tak mengadopsi pakaian Eropa karena pakaian Eropa tak bisa digunakan di masjid.
Menyusul kemudian, pada Maret 1915, pegawai bumiputra di kantor Pegadaian di Surabaya juga menuntut diperbolehkan mengenakan pakaian Eropa. Para pegawai bumiputra di kantor Residen Surabaya juga melakukan hal yang sama.
Pada 1915, keresahan pun mulai muncul ketika banyak orang mengenakan pakaian Eropa. Di satu sisi, tukang jahit baju kebanjiran order, di sisi lain produsen batik resah karena penjualan berkurang.
Kain batik biasa dipakai sebagai bawahan dalam pakaian Jawa. Mereka tak lagi membeli kain batik karena sudah menggantikannya dengan celana panjang. Selamat Hari Batik, 2 Oktober.
Tentara Belanda berpakaian Jawa, blangkon-beskap-kain, di sebuah pasar malam di Ambarawa, 1948. pic.twitter.com/WH9WDGX0F0 — Potret Lawas (potretlawas) November 2, 2017
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.