Nasional
Riset: Dinasti Politik Terindikasi Marak
Dinasti politik berpotensi memunculkan pembelotan partisan kader partai.
JAKARTA—Pilkada 2020 dinilai banyak memunculkan calon kepala daerah (cakada) yang terindikasi berasal dari dinasti politik. Riset terbaru Nagara Institute menemukan, sebanyak 124 calon kepala daerah diketahui terpapar dinasti politik.
"Dengan rincian 57 calon bupati dan 30 calon wakil bupati, 20 calon wali kota dan delapan calon wakil wali kota, lima calon gubernur dan empat calon wakil gubernur," kata Peneliti Nagara Institute Febriansyah Ramadhan dalam rilis riset Nagara Institute secara daring, Senin (12/10).
Febriansyah menambahkan, 124 cakada tersebut terdapat 67 orang berjenis kelamin laki-laki dan terdapat 57 perempuan. "Dari 57 perempuan tersebut terdapat 29 kandidat perempuan yang merupakan istri dari kepala daerah sebelumnya," ujarnya. Masih dari hasil riset Nagara, Partai Golkar menjadi partai pengusung dinasti politik terbanyak.
Golkar menempati urutan pertama sebagai partai pengusung dinasti dengan 12,9 persen, disusul PDIP dengan 12,4 persen, dan Partai Nasdem dengan 10,1 persen. Direktur Eksekutif Nagara Institute Akbar Faisal mengatakan, hasil riset Nagara ini memperlihatkan fungsi rekrutmen partai politik masih jauh dari harapan. Menurutnya, fungsi rekrutmen yang tidak berjalan baik dapat menyuburkan dinasti politik dalam demokratisasi di tingkat lokal.
“Partai politik belum berhasil untuk menjadi laboratorium yang menyiapkan calon pimpinan daerah yang berbasis pada nilai-nilai," ujarnya.
Nagara Institute merekomendasikan revisi Undang-Undang Partai Politik, khususnya mengenai kaderisasi yang mengharuskan seorang calon kepala daerah yang diusung partai telah berproses menjadi kader sekurang-kurangnya lima tahun. Riset serupa juga pernah diungkapkan The Indonesian Institute (TII) pada Agustus lalu.
TII mencatat, setidaknya ada 52 bakal cakada terindikasi dinasti politik. Dari jumlah tersebut, 71,5 persen bakal calon akan maju di tingkat kabupaten dengan rincian, 27 bakal calon bupati dan 10 bakal calon wakil bupati.
Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Arfianto Purbolaksono, meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bekerja profesional dan intens guna mengawasi praktik politik dinasti ini. Ia memaparkan, langkah yang bisa dilakukan, yakni mengawasi aliran dana kampanye pasangan calon, terutama calon yang berasal dari keluarga pejawat.
Hal ini karena adanya kekhawatiran terhadap aliran dana kampanye yang memanfaatkan dana anggaran pendapatan belanja negara maupun daerah. Kemudian, penyelenggara pemilu juga harus mengawasi secara ketat mobilisasi perangkat birokrasi hingga perangkat desa.
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo mengatakan, dari 270 daerah yang menggelar Pilkada 2020, sebanyak 230 daerah diperkirakan diikuti pejawat kepala daerah. Dalam Indeks Kerawanan Pemilihan yang sudah disusun Bawaslu, ada beberapa potensi yang bisa terjadi dengan adanya dinasti politik dalam pilkada.
"Pertama, bisa terjadi pemanfaatan anggaran atau fasilitas pemerintah terhadap yang berkuasa bagi kerabatnya yang maju sebagai calon kepala daerah," kata Ratna.
Menurut Ratna, Bawaslu akan melakukan pengawasan dengan ketat terhadap berbagai potensi pelanggaran pemilihan. Kendati, ia juga merasa penyelenggara pilkada tidak mudah menghadapi tantangan ini.
"Tantangan 2020 ini tidak kecil karena bisa melibatkan pemegang kekuasaan tertinggi yang ada di dalam negara," tutur dia.
Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Mulyadi La Tadampali mengatakan bahwa dinasti politik berpotensi memunculkan pembelotan partisan para kader partai. "Jadi kalau ada partai mencalonkan, ada orang yang dicalonkan bagian daripada oligarki kemudian dia ada yang menentang, yang menentang ini pasti kalah, tidak ada pilihan lain kecuali melakukan pembelotan partisan," kata Mulyadi dalam konferensi pers terkait temuan Nagara Institute dinasti politik pada Pilkada 2020 yang digelar secara daring, Senin (12/10).
Mulyadi menambahkan, kader yang membelot secara ideologis memang tidak mempersoalkan. Namun persoalannya lantaran ada proses yang tidak dilalui secara demokratis.
"Ada hambatan struktural warga negara untuk menggunakan kesempatan yang sama. Untuk menggunakan haknya, hak untuk kesetaraan politik, kesamaan politik itu tidak ada," ujar kurator penelitian Nagara Institute tersebut.
Kans besar
Direktur Eksekutif Nagara Institute Akbar Faisal menilai peluang sejumlah cakada dinasti politik untuk menang dalam Pilkada 2020 besar kemungkinannya. Meskipun sulit dipastikan, tapi jika dilihat dengan menggunakan parameter yang ada maka polanya akan terlihat.
"Contoh di Solo, hampir bisa dipastikan Gibran (Rakabuming) akan memenangkan pertarungan," kata Akbar dalam konferensi pers terakit temuan dinasti politik pada Pilkada 2020, Senin (12/10).
Alasannya, pertama, sebagian besar partai telah mendukung putra sulung Presiden Joko Widodo tersebut. Kedua, unsur kedekatan masyarakat dengan informasi juga menentukan.
"Tentu saja kita tahu bahwa masyarakat kita sekarang itu unsur kedekatan dengan informasi yang membuat kita terbawa mindset kita itu besar sekali terjadi seperti itu," ujarnya.
Begitu juga jika melihat peluang menantu Jokowi, Bobby Nasution, di pemilihan calon wali kota Medan 2020. Tidak ada bisa memastikan bahwa Bobby Nasution akan terpilih.
Namun jika melihat pola di atas, maka peluang Bobby untuk menang juga besar. "Tentu saja tidak ada yang bisa memastikan sampai dengan tanggal 9 Desember 2020 yang akan datang," ucapnya.
Mantan anggota Komisi III DPR tersebut juga mengatakan ada dua faktor alasan partai politik memutuskan untuk memilih calon kepala daerah yang terafiliasi dinasti politik. Pertama soal popularitas calon kepala daerah tersebut, kedua karena faktor kemampuan modal untuk membiayai proses-proses pilkada.
"Jadi hubungan antara para pihak dengan elite-elite yang melakukan penentuan apakah seseorang diusung atau tidak ada dua faktor tadi," ucapnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.