Nusantara
Alat Deteksi Tsunami Dinilai Kurang
Biaya menjadi salah satu faktor minimnya jumlah alat deteksi tsunami.
MALANG -- Jumlah alat deteksi tsunami di pesisir selatan Pulau Jawa dinilai masih kurang banyak. Padahal, alat ini menjadi sangat vital untuk memberi peringatan jika terjadi bencana tsunami.
Kepala Seksi Observasi dan Informasi Stasiun Geofisika (Stageof) Pasuruan pada Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Suwarto menyatakan, kuantitas pendeteksi tsunami bisa mempengaruhi akurasi data bencana.
"Semakin rapat, semakin banyak (alat), semakin bagus, akurasi data masuk lebih cepat," ucapnya kepada Republika, Ahad (4/10).
Jawa Timur mempunyai banyak pantai di delapan kabupaten wilayah selatan. Setiap pantai terutama yang memiliki banyak permukiman seharusnya memiliki pendeteksi tsunami. Jika hendak terjadi tsunami, maka data bisa masuk sehingga peringatan mampu diberikan lebih cepat.
Pendeteksi tsunami di pesisir Jatim terdiri atas dua jenis, antara lain, buoy dan tide gauge. Buoy dipasang di tengah laut berfungsi mendeteksi tekanan dan muka air. Suwarto menyatakan, saat ini pendeteksi yang dikelola Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tersebut telah hilang.
Saat ini pendeteksi tsunami yang tersedia dan berfungsi hanya jenis tide gauge. Alat ini dipasang di pantai untuk mengawasi ketinggian muka air laut. "Di pesisir selatan khususnya Jatim, ada yang punya BMKG. Ada juga yang punya BIG, Badan Informasi Geospasial," ujarnya.
Tide gauge milik BMKG dipasang di tiga daerah pesisir selatan Jatim. Lokasinya antara lain di Muncar, Banyuwangi, Tulungagung dan Trenggalek. Menurut Suwarto, jumlah Tide Gauge milik BIG lebih banyak meski belum mengetahui pasti detailnya.
Biaya menjadi salah satu faktor minimnya jumlah pendeteksi tsunami jenis buoy. Dana tinggi tidak hanya pada proses pengadaan, tapi juga pemeliharaannya. "Kadang kita bisa beli, tapi pemeliharaan tidak mampu," tutur Suwarto.
Rusak
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, mengecek keberadaan alat early warning system (EWS) di pesisir selatan. Hasilnya ada satu unit alat EWS yang mengalami kerusakan di Kecamatan Palabuhanratu. Pengecekan ini merupakan tanggapan atas hasil riset ITB terkait megathrust akan menyebabkan gempa dan tsunami di selatan Jawa Barat.
"Alat EWS yang masih berfungsi dua di Kecamatan Tegalbuled dan dua di kecamatan Cibitung," ujar Plt Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Sukabumi Maman Sulaeman kepada Republika, Ahad. Sementara alat EWS yang mengalami kerusakan berada di Kecamatan Palabuhanratu. Alat EWS ini memang pemeliharaannya cukup mahal sehingga di beberapa titik ada kerusakan, tetapi diupayakan sesegera mungkin segera berfungsi.
Namun, lanjut Maman, yang terpenting bukan EWS-nya karena ada yang lebih efektif dan baik dengan menggunakan kearifan lokal. Misalnya dengan kentongan karena semua warga di pantai selatan mempunyai kentongan. Ketika terjadi gempa di atas 6 SR, mau ada tsunami atau tidak, kentongan berbunyi dan warga akan diarahkan lari ke jalur evakuasi yang kini sedang diupayakan pemda.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jabar Dani Ramdan mengakui, ada empat alat pendeteksi dini gempa yang berpotensi tsunami. Dua alat berada di Kabupaten Pangandaran, dan dua alat lain di pantai selatan lainnya. Namun, saat ini hanya dua alat yang berfungsi di Pangandaran, sedangkan dua alat lainnya rusak dan harus diperbaiki.
BPBD Jabar, kata dia, sejauh ini sudah melakukan komunikasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terkait kerusakan alat tersebut. "Akan ada perbaikan alat. Dua itu satu di daerah Cipatujah dan satunya lagi di pantai lain karena memang berjarak satu sama lain," kata Dani.
Sedangkan BPBD DIY mengaku sudah menyiapkan mitigasi terkait potensi tsunami besar di selatan Jawa. Hal ini menyusul hasil riset Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mengatakan adanya potensi tsunami besar mencapai 20 meter akibat gempa megathrust di selatan Jawa.
"Potensi tsunami ada, tapi kita tidak tahu secara pasti kapan akan terjadi. Tapi kita tidak harus terlena, kita siapkan dua bentuk mitigasi, yaitu struktural dan nonstruktural," kata Manajer Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BPBD DIY, Danang Samsu, kepada Republika melalui sambungan telepon, Ahad (4/10).
Danang menjelaskan, mitigasi struktural yang disiapkan dengan membangun rumah tahan gempa. Termasuk rumah yang jauh dari bibir pantai guna mengantisipasi tsunami.
Sedangkan, mitigasi nonstruktural yang disiapkan di antaranya dengan membangun desa tangguh tsunami. Desa tangguh tsunami ini dibentuk terutama bagi desa di kawasan pantai sepanjang selatan Jawa.
"Kita juga sudah siapkan SOP menghadapi tsunami, tata ruang dan membangun desa tangguh tsunami hingga sistem peringatan dini. Untuk desa tangguh tsunami kita bangun dari timur DIY sampai titik barat DIY," ujarnya.
Begitu pun dengan sosialisasi mitigasi bencana gempa dan tsunami yang gencar dilakukan, sehingga masyarakat yang tidak jauh dari bibir pantai memahami upaya untuk mengurangi risiko bencana. "Pascatsunami di Pangandaran, kita aware (sadar) terkait dengan mitigasi tsunami, salah satunya sosialisasi. Sosialisasi dilakukan di semua desa yang memiliki pantai di selatan (Jawa)," ujarnya.
Sementara itu, BMKG telah memasang alat deteksi atau sensor gempa dan tsunami. Kepala Stasiun Geofisika BMKG DIY Agus Riyanto mengatakan, setidaknya ada 50 sensor yang dipasang dari DIY, Jawa Tengah hingga Jawa Timur.
Khusus untuk DIY ada enam sensor yang sudah dipasang. Dari enam sensor ini, dua di antaranya sensor dengan kemampuan kecerdasan buatan yang diproses menggunakan superkomputer. "Sebanyak 50 sensor dari Jateng, DIY dan Jatim, intensitasnya ada 11 lokasi. Dan WRSNG (Warning Receiver System New Generation) untuk diseminasi info ada 10 lokasi," ujar Agus kepada Republika.
Terkait hasil riset ITB, Agus mengatakan, memang ada potensi tsunami hingga ketinggian 20 meter di selatan Jawa. Namun, hasil riset ini bukan sebagai prediksi atau ramalan yang akan terjadi dalam waktu dekat.
Menurutnya, hasil riset tersebut dapat dipakai sebagai upaya meningkatkan literasi masyarakat. "Padahal tidak demikian (sebagai prediksi akan terjadi tsunami dalam waktu dekat). Karena kapan, di mana, dan berapa besar terjadinya tidak kita ketahui. Model potensi bencana hasil kajian para ahli bertujuan dipakai sebagai upaya literasi mitigasi bagi masyarakat," jelasnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.