Nasional
Pemerintah Bentuk TGPF
Komnas HAM tidak dilibatkan dalam TGPF Intan Jaya.
JAKARTA -- Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemko Polhukam) membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengungkap peristiwa kekerasan dan penembakan yang menyebabkan empat orang tewas di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Rangkaian kasus kekerasan yang terjadi pada kurun 17-19 September 2020 itu menewaskan dua anggota TNI dan dua warga sipil, termasuk seorang pendeta.
"Kami hari (Jumat) ini membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta atau TGPF kasus Intan Jaya dengan nomor keputusan 83 tahun 2020. Di dalam lampiran 1, kami itu angkat tim investigasi lapangan. Ketuanya Pak Benny Mamoto, Wakil ketua Sugeng Purnomo," kata Menteri Polhukam Mahfud MD dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (2/10).
Tim ini diberi tugas sejak dikeluarnya surat keputusan itu hingga dua pekan ke depan. Nantinya, TGPF akan melaporkan hasil investigasinya kepada Kemenko Polhukam.
Rentetan penyerangan terjadi di Distrik Hitadipa, Intan Jaya sepanjang September. Polisi menyebut penyerang adalah kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB).
Pada Selasa (15/9), serangan kelompok tersebut melukai dua orang tukang ojek, Laode Anas dan Fatur Rahman. Pada Kamis (17/9), serangan menewaskan dua orang, yaitu anggota TNI Serka Sahlan dan tukang ojek bernama Badawi. Pada Sabtu (19/9), dua orang kembali tewas, yaitu anggota TNI Pratu Dwi Akbar Utomo dan Pendeta Yeremia Zanambani.
TNI-Polri mengeklaim tindakan KKSB itu untuk mencari perhatian menjelang sidang utama PBB. Mahfud mengatakan, KKSB yang menurut TNI dan Polri bertanggung jawab justru menuding balik aparat. "Nah terakhir itu diramaikan dengan tewasnya Yeremia. Karena ditembak, tetapi sampai sekarang belum jelas karena aparat sendiri masih sulit menembus keluarganya, apalagi melihat mayatnya," kata dia.
Pemerintah akan tegas untuk melakukan penegakan hukum sebagaimana mestinya dan memberi penjelasan tentang fakta yang sebenarnya ke masyarakat. "Banyak masukan dan aspirasi dari tokoh masyarakat agama dan lain lain, yang minta dua hal, yaitu segera penegakan hukum berat dan bentuk tim pencari fakta," ucapnya.
Mahfud mengatakan, TGPF beranggotakan gabungan dari unsur TNI-Polri, Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Badan Intelijen Negara, Kemenko Polhukam, dan tokoh masyarakat Papua. "Tim terdiri dari dua komponen, ada komponen pengarah, juga ada pejabat-pejabat resmi Kemenko Polhukam maupun TNI-Polri. Kemudian, ada dari KSP, ada dari BIN, dari tokoh masyarakat Papua Michel, lalu (komponen) tim investigasi lapangan ada sebanyak 18 orang," kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini.
Tidak adanya nama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam TGPF itu menjadi pertanyaan. Mahfud mengeklaim, awalnya mereka hendak mengajak Komnas HAM. Namun, kata dia, setelah melewati pertimbangan secara matang, pemerintah memutuskan meninggalkan Komnas HAM.
Mahfud mengaku khawatir ada anggapan pemerintah mengkooptasi Komnas HAM dalam menyelidiki kasus penembakan itu. Pemerintah ingin menyelesaikan masalah ini dengan sejujur-jujurnya. Dia mempersilakan jika Komnas HAM ingin melakukan penyelidikan sendiri.
"Kita mau yang sejujur-jujurnya, maka kita jalan, kita bentuk tim ini tanpa Komnas HAM dan kita mempersilakan Komnas HAM sesuai dengan wewenangnya itu melakukan penyelidikan juga. Dia kan punya wewenang UU juga," tuturnya.
Kepala Polda Papua Inspektur Jenderal Paulus Waterpauw menyebut, sejak awal pihaknya kesusahan menjangkau tempat kejadian perkara di Distrik Hitadipa. Selain karena akses yang sulit, daerah itu juga sudah dikuasai KKSB yang datang dari berbagai wilayah di Papua.
KKSB, kata dia, ingin melakukan provokasi dan perang terbuka dengan TNI-Polri menjelang sidang umum PBB. Kemudian, membalikkan informasi seakan TNI-Polri yang melakukan kekerasan. "Ini pola-pola propaganda yang dimainkan. Kami tahu kok, ini kan mau sidang PBB," kata dia pada Jumat (18/9) lalu.
Tim gabungan TNI-Polri baru bisa masuk Hitadipa pada Sabtu (26/9). Olah TKP kemudian dilakukan hingga Ahad (27/9). Kabid Humas Polda Papua Kombes Ahmad Musthofa Kamal mengatakan, olah TKP dipimpin Ipda Y Urbinas.
Setelah sejumlah personel itu sampai di Kampung Sugapa Lama, mereka berjalan kaki menuju Kampung Hitadipa. "Karena akses jalan untuk kendaraan roda empat terputus," kata Kamal, Ahad (27/9).
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono mengatakan, kasus penembak Pendeta Yeremia itu masih simpang siur. Polri juga hingga kini belum mengumumkan hasil olah TKP tersebut.
Tuntutan
Sebelumnya, Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPP GAMKI) berharap keadilan bisa didapatkan oleh keluarga mendiang Pendeta Yeremias Zanambani. Pada Sabtu (19/9), Yeremias tewas setelah terkena peluru di tengah baku tembak yang terjadi di wilayah Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua.
"Berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari media resmi Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) serta beberapa media nasional dan lokal Papua, pendeta Yeremias Zanambani terkena tembakan aparat pasukan TNI yang sedang melakukan operasi militer di wilayah tersebut. Sedangkan menurut pemberitaan beberapa media lain yang mengutip klarifikasi dari pihak TNI, penembakan dilakukan oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB)," kata Ketua Umum GAMKI Willem Wandik, Jumat (25/9).
Kontak tembak antara TNI-Polri dan KKB telah terjadi berkali-kali selama beberapa tahun terakhir dan mengakibatkan korban jiwa dari masyarakat sipil Papua, serta juga korban jiwa dari kedua pihak. Ratusan bahkan ribuan warga, termasuk perempuan dan anak terpaksa mengungsi ke kampung-kampung lain dan masuk ke hutan demi menjaga keselamatan nyawa mereka.
"Terbunuhnya pendeta Yeremias Zanambani dan peristiwa sebelumnya yang telah menelan korban jiwa dari masyarakat sipil merupakan tindakan keji yang melanggar hak asasi manusia, secara khusus hak untuk hidup setiap warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945," kata Wilem.
Sekjen GAMKI Sahat Martin Philip Sinurat menambahkan, terkait peristiwa penembakan, organisasinya menyatakan enam sikap. Pertama, GAMKI mengecam keras penembakan yang menyebabkan terbunuhnya korban dari masyarakat sipil ini.
Kedua, kata Sahat, GAMKI mendesak pemerintah untuk segera mengungkap secara transparan setiap kasus penembakan, terkhusus yang mengakibatkan terbunuhnya masyarakat sipil Papua. "Untuk itu perlu dibentuk tim pencari fakta dan investigasi independen yang melibatkan perwakilan masyarakat sipil, antara lain, lembaga gereja, lembaga adat, dan lembaga sipil lainnya," kata Sahat.
Ketiga, GAMKI meminta panglima TNI dan kapolri untuk menghentikan pengiriman dan mobilisasi ribuan pasukan nonorganik TNI-Polri ke Papua, seolah-olah tanah Papua adalah daerah operasi militer sehingga menimbulkan wacana yang dibangun oleh sebagian warga Papua beberapa tahun terakhir ini dengan julukan Indonesia sebagai bangsa kolonial.
Keempat, lanjut dia, GAMKI mengingatkan kepada Bapak Presiden bahwa penggunaan kekerasan dan operasi militer hanya akan menyebabkan ketakutan dan luka hati yang mendalam di dalam diri warga Papua yang seharusnya justru mendapat perlindungan dan jaminan keamanan dari negara.
Kemudian, GAMKI memohon kepada Bapak Presiden untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama ini di tanah Papua serta menyelesaikan masalah Papua dengan melibatkan lembaga agama dan kultural yang ada di tanah Papua dengan pendekatan persuasif, kultural, dan kearifan lokal.
"Keenam, GAMKI meminta Bapak Presiden untuk mengevaluasi kinerja Panglima TNI, Kapolri, dan jajaran TNI-Polri yang terkait jika dalam waktu mendatang masih terjadi kasus penembakan yang menyebabkan adanya korban jiwa dari masyarakat sipil di tanah Papua," ujar dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.