Tema Utama
Strategi Sang Khalifah dari Turki Utsmaniyah
Seperti halnya kerajaan-kerajaan besar lainnya, Turki Utsmaniyah pun memiliki rakyat yang majemuk.
OLEH HASANUL RIZQA
Serangan bangsa Mongol atas Baghdad pada 1258 merupakan salah satu tragedi dahsyat dalam sejarah Islam. Abbasiyah yang saat itu pemegang panji kekhilafahan Islam menderita pukulan telak. Dunia Islam pun ikut terguncang. Meskipun kaum bangsawannya dapat bertahan di Mesir dengan perlindungan Dinasti Mamluk, kedaulatan mereka akhirnya ikut tuntas.
Pada 1517, Sultan Selim I dari Turki Utsmaniyah berhasil menjadikan Negeri Piramida itu sebagai wilayahnya. Alhasil, gelar khilafah pun berpindah dari tangan penguasa Abbasiyah—“boneka” Mamluk—kepada trah yang berpusat di Konstantinopel (Istanbul) itu.
Sultan Selim I tidak hanya menjalankan politik ekspansionis saat berkuasa. Raja kesembilan Dinasti Utsmaniyah itu juga menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan negeri-negeri luar, termasuk yang diperintah non-Muslim. Perlahan-lahan, Turki Utsmaniyah pun memulihkan kembali kejayaan Islam di mata dunia.
Dengan menguasai Mesir, Selim I kian mengukuhkan peran kerajaannya dalam percaturan politik dan ekonomi di Laut Tengah. Terutama setelah Perang Salib berakhir pada 1291, geliat perdagangan di kawasan maritim itu semakin pesat.
Dengan menguasai Mesir, Selim I kian mengukuhkan peran kerajaannya dalam percaturan politik dan ekonomi di Laut Tengah.
Para pedagang Muslim membawa berbagai komoditas berharga dari Asia, termasuk rempah-rempah asal Nusantara, ke kota-kota pelabuhan di Eropa Selatan. Masyarakat Barat sangat menggemari hasil bumi yang berbau harum itu. Apalagi, rempah-rempah diyakini dapat menangkal berbagai penyakit menular.
Berkaca dari sejarah, Eropa pada abad pertengahan pernah dilanda wabah pes yang masif. Sepertiga penduduk Benua Biru dilaporkan meninggal akibat epidemi tersebut. Dapat dibayangkan kecemasan warga Eropa bila sewaktu-waktu mereka bisa tertular lagi.
Alhasil, mereka sangat antusias begitu mendengar rumor bahwa rempah-rempah yang berasal dari “negeri yang jauh”— Nusantara—berkhasiat meningkatkan daya tahan tubuh dari berbagai penyakit.
Antusiasme itu mendorong naiknya permintaan. Alhasil, harga segenggam rempah-rempah bisa jadi sangat mahal. Dalam bahasa Belanda waktu itu terkenal ungkapan peperduur, yang secara harfiah berarti 'semahal lada’.
Istilah itu menandakan, masyarakat Belanda atau Eropa pada umumnya memandang lada sama berharganya seperti emas. Tak mengherankan bila banyak pedagang Eropa yang aktif mendistribusikan dan menjual komoditas tersebut.
Dan, tidak mungkin mendapatkan pasokan rempah-rempah tanpa berinteraksi dengan pedagang atau pelaut Muslim, baik Arab maupun Turki Utsmaniyah. Kala itu, negara-negara independen di Semenanjung Italia sudah menjalin hubungan dagang yang baik dengan orang-orang Islam. Kota-kota setempat, seperti Venesia, Genoa, dan Florentina, pun tumbuh menjadi bandar yang sibuk. Penguasa lokal menikmati pundi-pundi kekayaan dari aktivitas perniagaan di sana.
Prancis menjadi negara pertama di luar kawasan Italia dan Balkan yang menikmati kapitulasi dari hubungan diplomatik dengan Turki Utsmaniyah. Bangsa Eropa itu menyadari keuntungan besar yang diperoleh para pebisnis kota-kota Italia dari relasi tersebut.
Sebaliknya, Utsmaniyah pun menyambut baik kerja sama dengan Prancis. Selim I mengizinkan Prancis untuk membuka kantor dagang di Suriah, bahkan menetapkan beberapa hak istimewa untuk perwakilan negara Eropa Barat itu.
Tak hanya dalam bidang ekonomi, sang penakluk Dinasti Mamluk itu juga memperkuat sektor militer dan pertahanan negerinya. Dalam bidang angkatan laut, misalnya, Turki Utsmaniyah sesungguhnya sudah memulai reformasi sejak zaman Sultan Mehmed II al-Fatih.
Sang pembebas Konstantinopel (Istanbul) itu membangun pangkalan angkatan laut di Galata atau sisi utara Golden Horn, yakni wilayah Istanbul yang masuk dataran Eropa. Pada era Selim I, basis pangkalan militer juga diperkuat di Semenanjung Gallipoli, masih sekitaran Golden Horn.
Selama dipimpin Selim I, Turki Utsmaniyah memang tidak hanya mengandalkan kekuatan tempur di daratan, tetapi juga lautan. Dikisahkan, sang sultan suatu kali memanggil patihnya, Piri Mehmed Pasha.
“Jika kalajengking itu (musuh yakni bangsa Eropa Barat atau Kristen) dapat mengitari Laut Tengah dengan kapal-kapal mereka, begitu pula orang-orang Venesia, Roma, dan raja-raja Prancis serta Spanyol dapat berlabuh di Thrace, maka itu semua karena kita menenggang mereka. Maka aku ingin kita membangun angkatan laut yang perkasa, dengan jumlah armada yang banyak,” perintah Selim I.
“Tuanku, engkau memerintahkan apa yang sesungguhnya sudah tebersit dalam benak saya. Instruksi segera dilaksanakan. Prancis akan gentar begitu mendengar kabar ini,” jawab Mehmed Pasha.
Tanpa menunggu waktu lama, berbagai galangan kapal perang pun dibangun di Galata. Untuk menutupi biaya produksi, Turki Utsmaniyah menarik dana dari upeti yang disetorkan perwakilan negara-negara lain yang berdagang di kota-kota pelabuhan milik kerajaan Islam itu. Setidaknya, per kapal memerlukan dana hingga 50 ribu koin emas. Adapun kemampuan produksi per galangan mencapai 150 unit kapal.
Sejak masa kepemimpinan Selim I, wilayah Golden Horn resmi menjadi pusat pembangunan kapal dan markas administrasi angkatan laut Utsmaniyah.
Nyaris tak terdengar lagi ancaman dan gangguan dari bangsa-bangsa Eropa.
Alih-alih menggertak seperti pada Perang Salib dua abad sebelumnya, bangsa-bangsa Eropa Barat justru satu per satu berupaya menormalisasi hubungan diplomatik dengan kesultanan Islam tersebut. Sebagai contoh, Prancis yang kala itu dipimpin Raja Francis I.
Otoritas paus di Roma tak pernah menyangka, raja dari Dinasti Valois itu bakal menjalin aliansi dengan Turki. Padahal, Francis I dahulu pernah bertekad akan memimpin liga kerajaan-kerajaan Eropa, dengan sokongan paus, untuk menghadapi Islam. Tindakan sang penerus Louis XII itu seolah mengamini perkataan Kardinal Richelieu dari abad ketujuh silam, “Kepentingan negara berada di atas kepentingan agama.”
Situasi dalam negeri
Seperti halnya kerajaan-kerajaan besar lainnya, Turki Utsmaniyah pun memiliki rakyat yang majemuk. Mereka tidak hanya memeluk Islam. Ada juga yang beragama Kristen, Yahudi, dan sebagainya.
Secara umum, tradisi Islam mempunyai aturan tentang kewajiban membayar pajak (jizyah) bagi orang-orang kafir yang hidup di bawah pemerintahan Islam. Sebagai balasannya, penguasa Muslim wajib menjamin perlindungan atas mereka. Jizyah diharuskan atas seluruh warga yang non-Muslim kecuali anak-anak, perempuan, orang disabilitas, dan fakir miskin. Utamanya sejak abad ke-11, besaran jizyah di kebanyakan negeri Muslim ditentukan berdasarkan kemampuan per individu sehingga cenderung tidak membebani warga non-Islam.
Sejak pertama kali terbentuk pada akhir abad ke-13, Turki Utsmaniyah juga menunjukkan watak pluralis. Pada zaman Sultan Bayezid II, misalnya, pihaknya menyelamatkan orang-orang Yahudi yang menjadi korban inkuisisi penguasa Kristen di Andalusia (Spanyol). Namun, kaum minoritas non-Muslim di berbagai daerah Utsmaniyah sempat mengalami perlakuan kurang menyenangkan di bawah rezim Selim I.
Sebagai contoh, kaum Kristen Koptik di Mesir. Mereka sesungguhnya berharap, Turki Utsmaniyah akan membawa kehidupan yang lebih baik setelah berhasil menyingkirkan penguasa Mamluk dari Negeri Piramida. Namun, mereka pun terkejut begitu menyadari, wilayahnya tak lagi menjadi pusat kekuasaan sebuah pemerintahan besar, tetapi hanya berstatus sebuah provinsi biasa. Apalagi, para pejabat Utsmaniyah di Kairo mulai melarang berbagai perayaan keagamaan.
Utsmaniyah pun memberlakukan kebijakan pengasingan paksa (surgun) serta pengiriman manuskrip, karya seni, dan bahkan para intelektual dari daerah-daerah taklukan ke Istanbul. Kebijakan tersebut bertujuan mengontrol kabilah-kabilah yang dicurigai tak mau tunduk pada rezim yang baru. Selain itu, beleid itu juga berfungsi sebagai sarana urbanisasi Istanbul, yang sejak ditaklukkan al-Fatih mulai ditinggalkan banyak orang Yunani.
Di antara para intelektual Kristen Koptik yang dipindahkan ke ibu kota Utsmaniyah itu ialah Banub al-Katib, Abu Sa‘id, Yuhanna al-Saghir, Yusuf bin Habul, serta Syekh al-Makin al-Skindari dan putranya. Kepergian mereka otomatis membuat kaum minoritas Kristen Koptik di Mesir tak lagi dipandu tokoh-tokoh panutan dan pembimbing. Mereka bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya.
Tak mengherankan bila pemerintahan Utsmaniyah di Mesir pada masa awal kerap diwarnai berbagai aksi kerusuhan dan pemberontakan. Situasi sosial dan politik di negeri delta Sungai Nil itu cenderung tidak stabil selama Selim I berkuasa.
Barulah pada masa anaknya, yakni Sultan Suleiman I al-Qanuni kondisi keamanan dan ketertiban perlahan-lahan dapat pulih. Sebab, raja ke-10 dari Dinasti Utsmaniyah itu memberlakukan kebijakan baru qanuname i-Misir yang mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal, termasuk komunitas Kristen Koptik.
Selim dan Bajak Laut Muslim Legendaris
Dalam sejarah Imperium Turki Utsmaniyah, ada sejumlah bajak laut Muslim yang menguasai jalur-jalur maritim di Laut Tengah. Mereka sangat disegani lawan maupun kawan. Umumnya, mereka berasal dari Yunani atau Eropa yang kemudian memeluk Islam serta menyatakan kesetiaannya pada Utsmaniyah. Dalam arti, para bajak laut ini akan mengamankan rute perniagaan yang dikuasai kekhilafahan tersebut, khususnya di Mediterania.
Di antara mereka, yang dapat dikatakan paling masyhur ialah Barbarossa bersaudara, yakni Uruc (Aruj) dan Hayreddin (Khair ad-Din) Barbarossa. Keduanya berasal dari Yunani. Nama barbarossa berarti ‘janggut merah’ dalam bahasa Yunani.
Setelah masuk Islam, kakak beradik itu menyatakan setia pada Utsmaniyah. Dan, dalam berbagai kesempatan pun angkatan laut kerajaan ini mengandalkan jasa mereka.
Sebagai contoh, ketika inkuisisi melanda Andalusia (Spanyol). Uruc ikut menolong orang-orang Islam Spanyol yang melarikan diri dari kejaran ekstremis Kristen. Begitu pula dengan para penganut Yahudi yang dipaksa berpindah agama ke Kristen. Mereka semua dibantu menyeberang hingga ke Afrika Utara. Karena sifat murah hatinya, ia pun dijuluki sebagai “Baba Uruc” (Bapak Uruc).
Satu tahun sebelum Mesir berhasil direbut Utsmaniyah, Barbarossa berhasil menguasai kota-kota strategis di pesisir utara Aljazair (Aljir). Waktu itu, Spanyol sudah jatuh dalam kekuasaan raja Kristen, yang masih berhasrat untuk mencaplok wilayah Islam di Afrika Utara. Pada 1516, kedua bajak laut itu memenangkan pertempuran melawan kekuatan maritim Kristen Spanyol. Sejak saat itu, Aljir dikendalikan pemerintahan Muslim sepenuhnya.
Molly Greene dalam Encyclopedia of the Ottoman Empire (2008) mengatakan, Sultan Selim I ketika mendengar kabar kemenangan Barbarossa bersaudara di Aljir begitu gembira. Sebab, dengan demikian kekuatan Kristen dapat terbendung agar tidak mengunci jalur-jalur maritim strategis di Laut Mediterania, khususnya bagian barat.
Selanjutnya, Selim I mengirimkan utusan kepada Uruc dan Hayreddin. Keduanya sepakat untuk bekerja sama, dan bahkan secara de facto menyerahkan kekuasaan atas Aljir kepada Utsmaniyah. Oleh Selim I, Uruc didaulat menjadi sultan Aljir. Namun, tahun berselang, bajak laut berjanggut merah itu dibunuh oleh tentara Spanyol.
Setelah Uruc wafat, Hayreddin meneruskan kepemimpinannya atas Aljir, dengan tetap berkhidmat pada Utsmaniyah. Ia juga terus menakhodai kekuatan bajak laut Barbarossa dalam menghalau bangsa Spanyol Kristen. Selama lebih dari tiga dekade lamanya, Hayreddin berhasil memperkokoh kedaulatan maritim Kekhilafahan Utsmaniyah.
Tidak hanya di Laut Tengah, melainkan juga pantai Maghribi (Maroko) yang menghadap langsung ke Samudra Atlantik dan bahkan Laut Hitam. Kepiawaiannya dalam dunia perkapalan menjadi masukan yang berharga bagi angkatan laut imperium Islam itu.
Adapun Selim I wafat saat sedang menyiapkan ekspedisi militer ke Laut Tengah pada 22 September 1520. Menurut keterangan resmi, ia dikabarkan tutup usia akibat sakit infeksi kulit. Namun, beberapa sejarawan menduga sang penakluk Mesir meninggal karena diracun tabibnya sendiri.
Berpulangnya Selim I tidak menyurutkan kejayaan Utsmaniyah. Bahkan, anaknya yakni Suleiman al-Qanuni akhirnya menjadi raja yang membawa kekhilafahan pada era keemasan.
Selim I wafat saat sedang menyiapkan ekspedisi militer ke Laut Tengah pada 22 September 1520.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.