Opini
Bangkit dari Resesi
Resesi bukanlah persoalan utama, tapi bagaimana bangkit dari resesi sepatutnya menjadi perhatian utama
SINTONG ARFYANSYAH, Pegawai Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan
Resesi menjadi pembicaraan hangat saat ini. Hal ini tentu terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kontraksi atau negatif dalam kuartal II. Diproyeksikan, tetap negatif pada kuartal III 2020.
Pandemi memang memberikan efek besar dalam menghambat pertumbuhan ekonomi yang selalu positif sejak krisis moneter 1998.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020 menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II 2020 mengalami kontraksi atau negatif sebesar 5,32 persen dibandingkan periode sama pada 2019.
Para ahli menyatakan, resesi terjadi ketika ekonomi suatu negara mengalami pertumbuhan negatif atau turunnya produk domestik bruto (PDB).
Kementerian Keuangan juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal III 2020 akan tetap mengalami kontraksi, meskipun tidak sedalam kuartal sebelumnya, yaitu sebesar -1,7 persen sampai -0,6 persen.
Para ahli menyatakan, resesi terjadi ketika ekonomi suatu negara mengalami pertumbuhan negatif atau turunnya produk domestik bruto (PDB).
Ini berdampak pada naiknya tingkat pengangguran, penurunan penjualan ritel, dan ukuran kontraksi pendapatan dan manufaktur untuk jangka waktu lama. Konsep pembatasan jangka waktu resesi dipopulerkan Julius Shiskin di the New York Times tahun 1974.
Dia menyatakan, sebuah resesi dapat terjadi bila penurunan pertumbuhan ekonomi terjadi dalam waktu dua kuartal berurutan.
Dengan mengacu definisi ini dan berkaca pada masih turunnya proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III, tentu Indonesia dapat dikatakan mengalami resesi. Ini juga dialami sebagian besar negara di dunia akibat pandemi.
Resesi memberikan efek kejut bagi masyarakat. Meningkatnya jumlah pengangguran dan limbungnya UMKM berdampak pada melonjaknya jumlah kemiskinan. Bila berlanjut, dikhawatirkan resesi semakin lama hingga berakibat pada depresi ekonomi.
Untuk itu perlu strategi yang baik bagi pemerintah maupun masyarakat untuk kembali menggerakkan roda perekonomian di negeri ini dan meresponsnya dengan bijak.
Resesi memberikan efek kejut bagi masyarakat. Meningkatnya jumlah pengangguran dan limbungnya UMKM berdampak pada melonjaknya jumlah kemiskinan.
Daya beli dan produksi
Perlu diketahui, pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan PDB yang dipengaruhi konsumsi rumah tangga, investasi, pengeluaran pemerintah, dan perdagangan internasional.
Resesi di Indonesia, secara umum disebabkan menurunnya konsumsi rumah tangga atau daya beli yang menjadi sektor paling dominan, mencapai 57,85 persen dari PDB. Maka, meningkatkan daya beli salah satu cara terbaik mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Untuk itu, pemerintah perlu terus merealisasikan anggaran program pemulihan ekonomi nasional (PEN) melalui berbagai jenis bantuan dan fasilitas untuk mendorong daya beli masyarakat.
Saat ini, pemerintah meneruskan bantuan sosial program keluarga harapan (PKH), bantuan pangan nontunai (BPNT/kartu sembako), paket sembako, bansos tunai (BST), serta bantuan langsung tunai (BLT) Dana Desa.
Di sisi lain, gerakan untuk membeli produk dalam negeri perlu terus digalakkan untuk meningkatkan daya beli sekaligus memutar roda ekonomi dalam menghindari resesi lebih lama.
Sebagai salah satu fondasi terpenting dalam menopang perekonomian dalam negeri, UMKM menjadi salah satu prioritas utama dalam menjaga ketahanan perekonomian saat pandemi.
Saat daya beli masyarakat ditingkatkan, faktor produksi dalam menyediakan kebutuhan konsumsi perlu diperhatikan. Pemerintah perlu terus menjalankan program bantuan untuk UMKM agar berproduksi demi mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sebagai salah satu fondasi terpenting dalam menopang perekonomian dalam negeri, UMKM menjadi salah satu prioritas utama dalam menjaga ketahanan perekonomian saat pandemi.
Ketika krisis melanda Indonesia pada 1998, usaha ini terbukti tetap berdiri dengan baik. Usaha yang lebih dekat dengan masyarakat dan minimnya interaksi dengan mata uang asing menyebabkan UMKM cukup kebal terhadap pelemahan rupiah pada waktu itu.
Sehingga, diharapkan dalam menghadapi situasi berbeda seperti ini, UMKM dapat kembali memberikan pengaruh positif bagi pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah memberikan bantuan sosial untuk menjaga kekuatan utama ekonomi Indonesia ini dengan menunda cicilan pokok kredit usaha rakyat (KUR), mengubah bunga menjadi 6 persen, dan mengubah jangka waktu pemberian subsidi menjadi 9 bulan.
Lalu, bantuan Rp 13,41 triliun kepada 5,59 juta pelaku usaha mikro. Penyaluran bersifat hibah dan bukan merupakan pinjaman sehingga diharapkan mampu mendorong geliat pelaku usaha untuk menjaga sisi produksi dalam mengimbangi peningkatan daya beli masyarakat.
Gerakan membeli produk dalam negeri perlu terus digiatkan agar mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Ketika perdagangan internasional lesu, gerakan lokal menjadi pilihan terbaik dalam mempercepat kembali roda ekonomi.
Masyarakat juga perlu menghindari kepanikan berlebihan terkait resesi karena resesi tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Resesi adalah bentuk istirahat dari perekonomian dunia yang sedang terserang pandemi.
Sehingga, resesi bukanlah persoalan utama, tapi bagaimana bangkit dari resesi adalah hal yang sepatutnya menjadi perhatian utama. Untuk itu perlu sikap bijak dalam menghadapi situasi ini dengan tetap menjaga kesehatan, mempertahankan daya beli, menjaga produksi, dan tetap menjaga kemampuan finansial dalam melewati situasi ini.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.