Opini
Dai di Pusaran Sertifikat
Kebijakan sertifikasi cenderung memunculkan kesan pembatasan terhadap keberadaan dai.
M RIDWAN LUBIS, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dai adalah sosok otonom yang keberadaannya bergantung pada khalayak pendengarnya. Pada dasarnya, dai tidak membutuhkan pengakuan dari institusi pemerintahan karena pengakuan terhadap keberadaan mereka sepenuhnya sudah cukup dari audiensnya.
Mereka tampil menjadi pribadi independen bukan hanya dari institusi pemerintahan, melainkan juga umumnya dari organisasi keagamaan.
Pada satu sisi, dengan sifatnya sebagai pribadi yang otonom, yaitu bebas mengatur dirinya sendiri, di sisi lain, posisi yang demikian sesungguhnya menghadapi kesulitan. Ketika nama mereka berkibar di mimbar ceramah, tentu masih menjadi tumpuan jamaahnya.
Sebaliknya, saat mereka dimakan usia, tampil figur lain ke pentas dakwah. Pada masa lalu, dai memperoleh pengakuan masyarakat ditentukan kemampuan dalam menyampaikan ceramahnya, yang mampu menjelaskan persoalan aktual dari sudut pandangan agama.
Sebab, setiap dakwah adalah ajakan kepada kemaslahatan dan menghindari kerusakan. Titik utama dakwah adalah membangun keseimbangan amar makruf dan nahi munkar.
Sertifikasi
Pemerintah memperkenalkan program sertifikasi dai, semacam pembinaan dai selain dari pengayaan pemahaman materi dakwah, juga bagian sosialisasi kecenderungan aliran pemahaman radikal sehingga bisa menjurus ke radikalisme. Lalu menjadi dai bersertifikat.
Kata sertifikat sesungguhnya bukan tujuan utama dalam mengelola kebijakan sosial. Titik utamanya, agar keberadaan dai menjadi bagian dari modal sosial dalam pembangunan memajukan kehidupan bangsa.
Atas dasar itu, penjelasan mengenai peran dai diperluas. Tidak hanya menekankan kemampuan mengajak jamaah beribadah, tetapi juga membentengi umat dari radikalisme yang menjurus perenggangan hubungan dengan filsafat dan jati diri bangsa Pancasila.
Demikian juga, peran para aparat pemerintah diperluas, termasuk menguatkan kehidupan beragama sehingga agama menjadi landasan etik dan moral pembangunan. Sampai di sini persoalannya tidak begitu rumit.
Sebab, setiap dakwah adalah ajakan kepada kemaslahatan dan menghindari kerusakan. Titik utama dakwah adalah membangun keseimbangan amar makruf dan nahi munkar.
Apalagi, dikaitkan dengan pengalaman dari sejarah kolonialisme, kegiatan dakwah dibatasi hanya mencakup ibadah mahdah sehingga setiap dai harus lolos legitimasi dari pejabat berwenang melalui satu lembar sertifikat.
Tentu kegiatan ini dipahami bukanlah kebijakan vulgar seperti itu. Namun, telanjur menjadi pendapat umum di kalangan dai. Menghapus kesan seperti itu tak mudah, apalagi menghadapi citra negatif terhadap kebijakan bernuansa pengaturan terhadap para dai.
Untuk itu, perlu dipertimbangkan menggunakan cara lain, yaitu membangun tradisi musyawarah bersama dai yang menekankan upaya mempertemukan cara berpikir dari pemerintah dan dai.
Bila diklasifikasikan, keberadaan dai dapat dipilah menjadi kategori asosiatif dan disosiatif. Dai kategori asosiatif cenderung dekat dengan institusi birokrasi, yang sering diajak melakukan kegiatan sosial bertema keagamaan.
Sebaliknya, dai disosiatif cenderung mengambil posisi pinggiran dari dunia birokrasi dan sepenuhnya membina hubungan dengan massa jamaahnya. Sulitnya lagi, saat ketokohan mereka sebagai dai hanya bergantung dari legitimasi massa, bukan melalui lembaga keagamaan.
Dua pilihan ini bila terlalu ekstrem, tidak akan menguntungkan bagi kehidupan masyarakat. Karena sekali masyarakat kehilangan rasa kepercayaan kepada dai, dampaknya akan lebih sulit lagi.
Sebab, tak ada lagi yang mampu menghimpun mereka dalam semangat kebersamaan. Atas dasar itu, jalan terbaik, sebaiknya pemerintah tak menggunakan pendekatan dengan memakai bahasa sertifikasi, baik sertifikasi dai maupun dai bersertifikat.
Alasannya, dari kebijakan itu cenderung muncul kesan pembatasan terhadap keberadaan dai. Poin utamanya, agar dai dapat diajak membicarakan tema-tema keagamaan untuk mewujudkan pesan Islam sebagai pembawa kasih sayang ke seantero alam semesta.
Melalui kerangka pemikiran positif inilah, dialog kebangsaan dan keagamaan dibangun menggunakan ilustrasi menarik rambut dalam tepung, tepung tidak berserak dan rambut tidak putus.
Untuk itu, perlu dipertimbangkan menggunakan cara lain, yaitu membangun tradisi musyawarah bersama dai yang menekankan upaya mempertemukan cara berpikir dari pemerintah dan dai.
Institusi pemerintahan menunjukkan kesungguhannya mendorong agar nilai-nilai keberagamaan berdampak positif pada kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Selanjutnya, dai mengemukakan harapannya terhadap berbagai kebijakan pembangunan yang terus berjalan di atas prinsip amar makruf dan nahi munkar.
Tentu, hal itu diharapkan berlangsung dialogis dengan dukungan argumentasi, bukan prasangka. Dialog bukan mempertanyakan legitimasi sebagai dai karena pada kenyataannya, mereka sudah melaksanakan kegiatan sukarela mengajak umat kepada kebenaran.
Demikian juga, bukan dalam kerangka menelisik kesungguhan pemerintahan mewujudkan pembangunan yang membawa kehidupan yang adil dan sejahtera sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Melalui kerangka pemikiran positif inilah, dialog kebangsaan dan keagamaan dibangun menggunakan ilustrasi menarik rambut dalam tepung, tepung tidak berserak dan rambut tidak putus.
Pemikiran yang didasarkan pada hikmah, mau’izah hasanah, dan dialog rasional yang konstruktif, diharapkan akan mengantarkan kehidupan bangsa berada dalam semangat kehidupan damai dan sejahtera.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.