Internasional
AS Cabut Visa dan Larang Kapas Xinjiang
Cina menuding pencabutan visa 1.000 warga Cina oleh AS sebagai rasisme.
WASHINGTON – Juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Rabu (9/9), menyatakan, pemerintahnya telah mencabut lebih dari 1.000 visa warga negara Cina. Langkah ini merupakan sebagai bagian dari dorongan pemerintahan Presiden Donald Trump untuk memblokir masuknya siswa dan peneliti dari Cina yang diyakini memiliki hubungan dengan militer.
"Mulai 8 September 2020, Kemenlu telah mencabut lebih dari 1.000 visa warga negara Cina yang ditemukan tunduk pada Proklamasi Presiden 10043 dan karena itu tidak memenuhi syarat untuk visa," kata juru bicara Kemenlu AS.
Dalam pengumuman 29 Mei, Trump membatasi masuknya mahasiswa dan peneliti Cina tertentu ke AS. Dia mengatakan, mereka digunakan dalam kampanye Beijing untuk memperoleh teknologi dan kekayaan intelektual AS yang sensitif. Kemenlu AS mulai menerapkan aturan tersebut efektif 1 Juni.
Sebelum pengumuman itu, puluhan mahasiswa Cina yang terdaftar di universitas AS mengatakan, telah menerima pemberitahuan melalui surel dari Kedutaan Besar AS di Beijing atau konsulat AS di Cina. Pengumuman itu menyatakan bahwa visa mereka telah dibatalkan.
Sekitar 360 ribu warga negara Cina yang bersekolah di AS menghasilkan pemasukan ekonomi tahunan sekitar 14 miliar dolar AS. Sebagian besar pemasukan itu dari uang sekolah dan biaya lainnya. Pejabat AS mengatakan, keputusan ini hanya memengaruhi sebagian kecil dari siswa tersebut.
"Kami terus menyambut mahasiswa dan cendekiawan yang sah dari Cina yang tidak memburu tujuan Partai Komunis Cina untuk mendominasi militer," kata juru bicara Kemenlu AS.
Pemerintah Cina mengecam keputusan AS mencabut visa untuk lebih dari seribu warganya. Beijing menilai apa yang dilakukan Washington merupakan diskriminasi rasial.
Dilaporkan laman Sputnik, Kamis (10/9), Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Cina mengatakan pencabutan visa bagi seribu warganya oleh AS merupakan "penganiayaan politik yang mencolok". Juru bicara Kemlu Cina Zhao Lijian turut mengomentari tentang motivasi AS melakukan hal demikian, yakni mencegah masuknya mahasiswa dan peneliti asal negaranya yang dapat menimbulkan risiko keamanan.
Menurut Zhao langkah AS telah melanggar hak asasi para mahasiswa terkait. Cina mengindikasikan akan mengambil tindakan balasan untuk merespons hal tersebut. AS telah mencabut visa untuk lebih dari seribu warga Cina. "Mulai 8 September 2020, Departemen telah mencabut lebih dari 1.000 visa warga negara Cina yang ditemukan tunduk pada Proklamasi Presiden 10043 sehingga tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan visa," kata seorang juru bicara Departemen Luar Negeri (Deplu) AS pada Rabu (9/9).
Proklamasi Presiden 10043 dirilis Donald Trump pada 23 Mei lalu. Hal itu menjadi bagian dari respons AS terhadap pembatasan demokrasi oleh Cina di Hong Kong. Menurut juru bicara Deplu AS, mahasiswa pascasarjana dan peneliti Cina terkategori "berisiko tinggi" dan tak memenuhi persyaratan perolehan visa hanya segelintir kecil. Mahasiswa dan cendekiawan yang sah akan terus disambut di AS.
Sebelumnya Plt Kepala Departemen Keamanan Dalam Negeri AS Chad Wolf mengungkapkan AS telah memblokir visa mahasiswa pascasarjana dan peneliti tertentu asal Cina. Hal itu dilakukan karena mereka diduga terkait dengan strategi fusi militer Cina. Pencegahan agar mereka tak menginjakkan kaki di AS diambil agar tak ada pencurian data atau penelitian sensitif dilakukan.
Sekitar 360.000 warga negara Cina belajar di AS. Hal itu mendatangkan pendapatan yang signifikan bagi perguruan tinggi di Negeri Paman Sam. Namun pandemi Covid-19 telah sangat mengganggu kembalinya para pelajar dan mahasiswa ke kampus pada semester musim gugur ini.
Kapas Xinjiang
Pemerintah AS melalui Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan (CBP) juga telah menyiapkan perintah untuk memblokir kapas dan tomat impor dari wilayah barat Cina, Xinjiang. Kebijakan ini diambil setelah ada tuduhan kerja paksa di Xinjiang.
Pengumuman formal seharusnya disampaikan pemerintah pada Selasa (8/9), namun ditunda sampai akhir pekan ini. "Karena masalah penjadwalan," ujar juru bicara agensi, seperti dilansir Reuters, Rabu (9/9).
Larangan kapas dan tomat, serta produk impor lainnya, dilakukan karena ada dugaan pelanggaran kerja paksa Xinjiang. Keputusan ini tidak pernah dilakukan sebelumnya oleh pemerintahan AS dan berpotensi memicu ketegangan antara dua ekonomi terbesar dunia tersebut.
Dalam regulasi AS, Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan berhak mengeluarkan ‘Perintah Penahanan Pembebasan’ (Withold Release Orders’ menahan pengiriman produk impor berdasarkan kecurigaan keterlibatan kerja paksa.
Perintah itu akan memblokir kapas dari Korps Produksi dan Konstruksi Xinjiang (XPCC) dan pakaian dari Yili Zhuowan Garment Manufacturing Co Ltd serta Baoding LYSZD Trade and Business Co Ltd. Menurut CBP, perusahaan-perusahaan ini menggunakan tenaga ‘kerja paksa’ pemerintah Cina.
Pemerintahan Presiden Donald Trump terus menekan Cina terhadap perlakuannya terhadap Muslim Uighur di Xinjiang. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan, terdapat 1 juta masyarakat Muslim yang ditahan di kamp-kamp dan diminta untuk kerja paksa.
Cina membantah adanya penganiayaan terhadap Uighur. Pemerintahan Beijing menyebutkan, kamp-kamp tersebut merupakan pusat pelatihan kejuruan yang diperlukan untuk melawan ekstremisme.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Zhao Lijian, menyebutkan, tindakan Amerika untuk melarang beberapa komoditas Xinjiang masuk adalah masalah ekonomi. “Langkah itu dilakukan untuk menindas perusahaan Cina, mengguncang Xinjiang dan memfitnah kebijakan Xinjiang,” katanya, dalam jumpa pers.
Lijian memastikan, pemerintah akan melakukan berbagai tindakan yang diperlukan untuk melindungi hak dan kepentingan sah perusahaan negaranya.
Asisten Komisaris Eksekutif CBP Brenda Smith mengatakan, larangan impor secara efektif akan dikenakan pada seluruh rantai pasok kapas. Mulai dari benang hingga tekstil dan pakaian jadi. Kebijakan serupa diterapkan pada komoditas tomat. Larangan diberlakukan untuk buah tomat hingga pasta tomat.
Smith memastikan, CBP memiliki bukti yang masuk akal, namun tidak konklusif, untuk memberlakukan kebijakan larangan impor dari Xinjiang. "Ada risiko kerja paksa dalam rantai pasok yang berkaitan dengan tekstil kapas dan tomat yang keluar dari Xinjiang," katanya, dalam sebuah wawancara.
Smith mengatakan, pihaknya akan terus melakukan penyelidikan untuk menguatkan bukti.
Larangan ini bisa berdampak luas bagi pengecer dan produsen pakaian jadi Amerika, serta produsen makanan. Cina sendiri menghasilkan sekitar seperlima dari kapas dunia, dengan sebagian besarnya dari Xinjiang. Kawasan ini juga merupakan pengimpor serat terbesar di dunia, termasuk dari AS.
Seorang pedagang kapas di Beijing mengatakan, dampak larangan AS mungkin akan terbatas. Sebab, Cina mengimpor sekitar 2 juta ton kapas dan benang kapas tiap tahunnya. Jumlah itu dinilai cukup untuk membuat produk tekstil ke AS tanpa kapas dari Xinjiang. Produksi kapas Xinjiang sendiri sekitar 5 juta ton per tahun.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.