Nusantara
Pengentasan Buta Aksara di Papua Terhambat Pandemi
Dari data Disdik Papua hingga Maret 2019, jumlah buta aksara mencapai 850 ribu orang.
JAKARTA -- Hari Aksara Internasional yang diperingati setiap 8 September mengingatkan masih banyaknya pekerjaan rumah (PR) bangsa Indonesia dalam pengentasan buta aksara. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, Provinsi Papua menjadi yang tertinggi.
Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Pemprov Papua Christian Sohilait mengatakan, seluruh disdik di kabupaten/kota yang ada di Provinsi Papua sudah memprogramkan pengentasan buta aksara. Namun, kata dia, program ini terhambat karena adanya pandemi Covid-19 yang juga menyebar di Bumi Cenderawasih.
“Semua kabupaten kita dorong untuk jalan. Covid-19 sedikit mengganggu program pemberantasan buta aksara, tapi semua kabupaten punya program prioritas untuk itu,” kata Christian kepada Republika, Selasa (8/9).
Ada enam daerah yang angka buta aksaranya masih tinggi. Persentase penduduk buta aksara di Papua masih tertinggi dengan angka mencapai 21,9 persen. Disusul NTB 7,46 persen, NTT 4,24 persen, Sulawesi Selatan 4,22 persen, Sulawesi Barat 3,98 persen, dan Kalimantan Barat 3,81 persen.
Data buta aksara ini berdasarkan usia 15-59 tahun. Secara nasional, angka buta aksara Indonesia pada 2019 mencapai 1,78 persen. Angka ini turun sedikit dari 2018 sebesar 1,93 persen.
Dari data Disdik Papua hingga Maret 2019, jumlah buta aksara terdata mencapai sekitar 850 ribu orang. Mereka tersebar di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Papua dengan rentang usia 15-59 tahun.
Christian mengatakan, penyakit yang menular lewat droplet itu mencegah orang dalam jumlah banyak berkumpul. Apalagi, jika berkumpul tanpa mengikuti protokol pencegahan Covid-19. Menurut dia, pemberantasan buta aksara harus tatap muka dan sulit jika dilakukan secara daring.
Namun, klaim ini dibantah Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen) Kemendikbud, Jumeri. Dia menilai, pandemi Covid-19 tak menghambat sepenuhnya program pengentasan buta aksara.
“Hambatannya hanya pada proses koordinasi. Namun, proses pembelajaran tetap bisa dilaksanakan dengan tatap muka dengan protokol kesehatan,” kata dia. Dia menduga, tingginya angka buta aksara berkaitan dengan angka partisipasi kasar (APK) atau persentase penduduk yang bersekolah dan pendapatan per kapita di suatu daerah.
Menurut Duta Baca Indonesia, Najwa Shihab, di Indonesia masih banyak terdapat miskonsepsi tentang literasi yang sering diartikan sebatas kemampuan membaca. Literasi, kata dia, memiliki arti lebih besar dari sekadar membaca. Literasi merupakan kemampuan seseorang untuk bernalar dan memproses informasi yang dibaca.
Selain itu, lanjut dia, miskonsepsi yang juga terjadi, yaitu anak belajar untuk membaca, tapi tidak membaca untuk belajar. “Membaca untuk belajar memerlukan keterampilan yang jauh lebih kompleks. Kemampuan lintas disiplin, jadi membaca bukan tujuan akhir, tapi alat untuk pembelajaran yang jauh lebih besar,” kata Najwa.
Saat ini, masih banyak orang tua yang merasa tugasnya selesai ketika anak sudah bisa mengeja. Tidak sedikit juga orang tua yang berlomba-lomba agar anaknya sudah bisa membaca sebelum masuk TK. Hal ini akhirnya menyebabkan anak hanya bisa membaca, tapi pemahaman terhadap teks rendah.
“Ini akhirnya tecermin bagaimana angka kita ketika diuji di tingkat internasional. Siswa Indonesia kemampuan membaca waktu kecil itu bagus, tapi bagaimana memahami isi dari teks itu nilainya langsung menurun,” kata dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.