Azyumardi Azra | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Wabah Korona: Kampus Merdeka (2)

Yang disebut Mendikbud sebagai ‘merdeka belajar’ dan ‘kampus merdeka’ baru sampai jargon.

Oleh AZYUMARDI AZRA

AZYUMARDI AZRA

 

Membaca penjelasan pejabat tinggi Kemendikbud dan gambaran dalam media massa, belum ada paradigma, kerangka filosafat, dan praksis ‘merdeka belajar’ dan ‘kampus merdeka’ secara komprehensif untuk Perguruan Tinggi (PT). Juga belum ada respon dari kalangan Kemenag yang juga membawahi banyak PT. Apa yang disebut Mendikbud sebagai ‘merdeka belajar’ dan ‘kampus merdeka’ baru sampai jargon. 

Untuk itu, perlu pembicaraan lebih luas di lingkungan PT dan publik umumnya tentang ‘merdeka belajar’ dan ‘kampus merdeka’. Semua pihak peduli perlu mengembangkan pemikiran alternatif tentang kemerdekaan dan kebebasan belajar atau dalam kehidupan pendidikan keseluruhan.

Wabah korona memberikan pelajaran baik tentang ‘higher education without border—pendidikan tinggi yang dapat diselenggarakan melalui daring tanpa dibatasi tembok dan dinding. Wabah korona dalam segi ini kompatibel dengan ‘merdeka belajar’ yang dipromosikan Mendikbud.

 
Mau ke mana pendidikan tinggi Indonesia? Mau ke mana PT Indonesia di tengah disrupsi kian meningkat akibat Revolusi Industri 4.0 atau bahkan 5.0.
 
 

Sebelumnya, dalam beberapa tahun terakhir, banyak pemikir, praktisi pendidikan dan kalangan masyarakat bertanya: mau ke mana pendidikan tinggi Indonesia? Mau ke mana PT Indonesia di tengah disrupsi kian meningkat akibat Revolusi Industri 4.0 atau bahkan 5.0.

Pertanyaan ini diajukan karena banyak kalangan kampus, pemikir dan praktisi pendidikan pesimis dengan masa depan pendidikan tinggi tanahair di tengah perubahan cepat yang disruptif. PT Indonesia tidak memiliki arah jelas di tengah peningkatan persaingan di tingkat internasional luas. 

Selama lima tahun antara 2014-19 pendidikan tinggi Indonesia dilepas pengelolaannya dari Kemendikbud ke dalam kementerian baru—Kemenristek-dikti. Kementerian baru dalam Kabinet Jokowi-JK ini bermaksud lebih memajukan pendidikan tinggi; terlepas dari beban berat dan kerumitan pendidikan dasar dan menengah. Kini dalam periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi (bersama Wapres KH. Ma’ruf Amin), pendidikan tinggi dikembalikan ke Kemendikbud.

Sebelumnya, dengan pengelolaan di bawah kementerian khusus, kualitas pendidikan tinggi diharapkan dapat terakselerasi sehingga lebih kompetitif vis-à-vis pendidikan tinggi negara-negara lain. Hanya dengan pendidikan tinggi berkualitas tinggi, PT—negeri dan swasta—bisa menjadi lokus pembelajaran dan penelitian inovatif; menjadi ‘mesin modernisasi’ demi kemajuan bangsa seperti terlihat dalam pengalaman RRC misalnya.

Tetapi gagasan dan paradigma ini terlihat makin jauh panggang dari api’. Nomenklatur kementerian ini saja tidak menggambarkan pemberian prioritas pada pendidikan tinggi. Padahal, pendidikan tinggi di banyak negara lain bukan hanya sebagai pusat pembelajaran tingkat tinggi, tetapi sekaligus menjadi lokus utama riset. Memang ada PT di tanahair yang sudah mendeklarasikan diri sebagai ‘research university’, tapi dalam kenyataannya jauh panggang dari api.

 
Kalangan kampus yang kritis menyebut proses birokratisasi ini sebagai ‘kolonialisasi’ perguruan tinggi oleh Kemendikbud dan Kemenag.
 
 

Sebaliknya, dari nama kementerian (Riset-dikti) terlihat riset lebih mendapat prioritas. Padahal, realitas menunjukkan, riset hampir mendapat perhatian khusus pemerintahan Jokowi-JK. Presiden Jokowi sendiri hampir tidak pernah berbicara substantif tentang arah pengembangan riset negara ini menyongsong tantangan global. 

Presiden Jokowi juga hampir tidak pernah bicara konseptual tentang pendidikan tinggi. Boleh jadi karena kenyataan ini, Menristek-dikti tidak terlalu banyak bicara konseptual substantif dan strategis tentang pengembangan riset dan PT Indonesia. Padahal pendidikan tinggi dan riset perlu prioritas khusus jika Indonesia ingin lebih maju dan kompetitif.

Karena itu, tidak jelas bagaimana PT menyelesaikan berbagai masalah serius yang telah lama membelenggu. Salah satu masalah pokok adalah birokratisasi yang merampas otonomi PT dan sivitas akademika khususnya profesor dan dosen. Birokratisasi berasal terutama dari kebijakan Mendikbud di masa Presiden SBY; sebagian lagi bersumber dari KemenPAN-RB, Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Kemenristek-dikti.

Berbagai aspek birokratisasi membuat dosen dan guru besar yang merupakan motor dan dinamisator PT kian kehilangan kebebasan dan kemerdekaan. Mereka kemudian menghabiskan lebih banyak perhatian dan waktu pada urusan ‘tetek bengek’ terkait administrasi. 

Kalangan kampus yang kritis menyebut proses birokratisasi ini sebagai ‘kolonialisasi’ perguruan tinggi oleh Kemendikbud dan Kemenag. PT menjadi hanya sekadar Unit Pelaksana Teknis (UPT) atau Satuan Kerja (Satker) kedua Kementerian. 

Kepemimpinan PT juga mengalami birokratisasi dan politisasi politik partisan. Rektor pada dasarnya ditetapkan Mendikbud dan Menag. Senat PT hampir tidak berperan dalam penentuan kepemimpinan PT sejak dari tingkat rektorat sampai dekanat dan prodi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat