Sebuah lori berjalan di tengah-tengah salah satu perkebunan kopi. | Dok KITLV

Jawa Timur

Budi Daya Kopi yang Mengubah Kota Malang

Daendels bahkan membangun jalan yang menghubungkan dengan daerah perkebunan kopi.

OLEH WILDA FIZRIYANI

Minum kopi sedang jadi tren di Tanah Air. Kedai maupun coffee shop pun marak di berbagai kota. Hal itu lantas berimbas pada kian berkembangnya budi daya tanaman kopi, dengan berbagai variannya.

Sejatinya, kopi bukanlah tanaman asli Indonesia. Dalam catatan sejarah, kopi pertama kali dikenalkan di Batavia sekitar awal abad 17. Komoditas ini semula berkembang di luar negeri, lalu menyebar ke Asia Tenggara.

Gubernur Jenderal Joan van Hoorn (1704-1709) pernah mencoba mengembangkan tanaman kopi di Kedawung, Batavia. Namun di periode berikutnya dikembangkan di wilayah Priangan.

"Karena dijadikan basis pajak waktu itu," ujar sejarawan dari Universitas Negeri Malang (UM), Reza Hudiyanto, dalam kegiatan diskusi daring yang dilaksanakan terakota.id.

Pada periode Tanam Paksa (Cultuurstelsel), komoditas kopi merupakan salah satu primadona dalam perdagangan internasional. Seluruh wilayah Hindia Belanda yang memiliki geografi pegunungan aktif menjadi wilayah perkebunan kopi (Goor, 1986: 35).

Tak terkecuali di Priangan dan Afdeling Malang. Kebutuhan terhadap produk kopi semakin besar di tahun-tahun berikutnya termasuk saat pemerintahan Herman Willem Daendels.

Bahkan, Daendels tak segan membangun jalan yang menghubungkan dengan daerah perkebunan kopi. Padahal peta pembangunan jalan Daendels seharusnya fokus di pesisir pantai utara.

"Kalau lihat di peta (jalur jalan) menyusuri pantai di Indramayu, Karawang, Cirebon. Kenapa harus ke Megamendung, Puncak, Cianjur, sampai Bandung, belok ke Cadas Pangeran, Sumedang, dan Cirebon? Itu kan jalur berat," jelas Reza.

Perdagangan kopi di dunia internasional semakin intens. Kapitalisme global telah memengaruhi kebijakan negara, termasuk Hindia Belanda. "Harga yang bagus di Indonesia menyebabkan pemerintah kolonial melakukan pengembangan tanaman kopi yang salah satunya di Pasuruan," ujarnya.

 
Harga yang bagus di Indonesia menyebabkan pemerintah kolonial melakukan pengembangan tanaman kopi yang salah satunya di Pasuruan.
REZA HUDIYANTO, Sejarawan dari Universitas Negeri Malang
 

Titik awal pengembangan komoditas kopi di Pasuruan dimulai sekitar 1860 M. Wilayah Malang belum diperhatikan karena masih dalam kondisi hutan belantara. Sementara daerah pesisir dianggap penting dalam dunia perekonomian pada awal sampai pertengahan abad 19.

Kebijakan pemerintah kolonial Belanda lantas membuka lebar investasi perkebunan kopi di Afdeling Malang. Di masa itu, Afdeling Malang masih menjadi bagian dari Keresidenan Pasuruan. Afdeling Malang membawahi daerah Ngantang, Penanggungan, Turen, Karanglo, Gondanglegi, Kepanjen, Pakis, dan Kota Malang.

Reza dalam penelitiannya mengatakan, Afdeling Malang berada di antara Pegunungan Arjuna-Kawi dan Bromo-Semeru. Kondisi geografis ini sangat menguntungkan untuk mengembangkan lahan perkebunan kopi. Sebab, tanah tersebut mengandung banyak abu vulkanis dan sumber air.

Penghasil kopi terbesar

Perkembangan kopi di Afdeling Malang semakin pesat saat memasuki 1870. Berdasarkan catatan sejarah, rel kereta api mulai bermunculan di beberapa daerah. Transportasi ini telah menghubungkan antardaerah penting seperti pelabuhan di Surabaya, Pasuruan, dan lain-lain.

Di dalam proses perkembangan budi daya kopi di Afdeling Malang, masyarakat pribumi hanya berperan sebagai petani. Mereka tidak diperkenankan menjualnya karena pemerintah telah menunjuk suatu kelompok. Kelompok ini mempunyai lisensi untuk mengirim dan menjual kopi ke sejumlah konsumen.

"Kalau orang pribumi jual kopi dianggap penyelundup dan akan kena hukum. Kalau panen enggak bisa petani jual produk ke sembarang orang. Jalur kopi dikuasai dan distribusinya mendapatkan pengawasan ketat karena produk mahal," jelasnya.

 
Jalur kopi dikuasai dan distribusinya mendapatkan pengawasan ketat karena produk mahal.
 
 

Kolonial Verslag pada 1890 menyebutkan Afdeling Malang sebagai wilayah penghasil kopi terbesar di Jawa Timur. Volume produksinya mencapai 143.173 pikul pada 1887 sampai 1889. Sementara di Banyuwangi-Jember, Probolinggo, dan Jombang masing-masing hanya menghasilkan 13.630 pikul, 22.098 pikul, dan 4.332 pikul.

Rixvan Afgani dan Sarkawi B Husain dalam penelitian Manisnya Kopi di Era Liberal: Perkebunan Kopi Afdeling Malang, 1870-1930, mengatakan, perkembangan perkebunan kopi telah menarik orang-orang dari daerah di luar Malang, baik dari Jawa Tengah maupun Madura.

Menurut catatan pemerintah kolonial, jumlah penduduk di Afdeling Malang pada 1847 mencapai 87.990 jiwa. Selain migrasi, penambahan penduduk juga disebabkan angka kelahiran tinggi. Komposisi penduduk di Afdeling Malang sudah mulai beragam pada 1847 dan 1872. Jumlah penduduk Bumiputera telah mencapai angka di atas 80 ribu jiwa. Angka ini termasuk tinggi apabila dibandingkan dengan kawasan lain di tahun sama.

Proses migrasi di Afdeling Malang terus berlangsung hingga memasuki abad XX. Sekitar 20 tahun setelah 1890, daerah Malang mengalami pertambahan penduduk Eropa dan Tionghoa cukup pesat. Berdasarkan laporan Kolonial Belanda pada 1916, pertumbuhan penduduknya masing-masing sekitar 150 persen dan 40 persen.

Di antara lima afdeling di wilayah Keresidenan Pasuruan, Afdeling Malang menempati ranking tertinggi dalam persentase pertambahan penduduk. Jumlah penduduknya secara keseluruhan sebanyak 761.555 orang. "Kemudian diikuti Afdeling Bangil dan Pasuruan," tulis Rixvan Afgani dan Sarkawi B Husain.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat