John Smith dan Hanan Sandercock saat diwawancara Walesonline | Walesonline.co.uk

Oase

John Smith, Hanan Sandercock: Bahagia Memeluk Islam

Keduanya memeluk Islam dengan jalan dan kisah masing-masing.

 

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

Hidayah Allah bisa datang kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Inilah yang dirasakan pasangan suami istri, John Smith dan Hanan Sandercock. Keduanya menemukan Islam dengan jalan dan kisah masing-masing. Titik temunya adalah peristiwa 9/11, aksi terorisme yang mengguncang Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001 silam.

Hanan lahir dengan nama Donna Sandercock. Pada 1990-an, ia tiba dengan penuh optimisme di Cardiff, Wales, untuk mencari pekerjaan. Kala itu, ijazah sekolah seni sudah ada di genggamannya.

Ia mengenang, periode itu menjadi tonggak perubahan nasibnya. Berbeda dengan masa 1970-an atau 1980-an, yang mana kehidupannya cenderung monoton. Sebagai gadis kelahiran desa kecil di Cornwall, Inggris barat daya, suasana multikultural di Cardiff menarik hatinya. Ia mulai mengenal kemajemukan dalam arti yang sesung guhnya.

Di kota itulah, ia berteman dengan seorang pemuda Muslim seusianya. Seiring waktu, Hanan mengenal agama Islam dan komunitas Muslim. Mereka menampilkan kesan religius. Tak hanya di tempat ibadah --yang kala itu baru diketahuinya bernama masjid-- tetapi juga rutinitas di manapun berada.

"Saya tertarik. Agama sangat penting bagi mereka. Dan, mereka solid, memiliki suatu sistem kepercayaan yang tidak saya miliki waktu itu," kata Hanan, seperti dilansir Wales Online, baru- baru ini.

Lebih dari itu, lanjut dia, orang-orang Islam itu ramah. Seringkali Hanan diundang untuk jamuan makan malam di rumah keluarga Muslim. Ia sangat terkesan. Mereka menganggapnya bagian dari keluarga besar. Ini menimbulkan perasaan bahagia dalam dirinya.

Pada musim panas tahun 1994, Hanan berkesempatan mengunjungi komunitas kibbutz di wilayah pendudukan Israel. Masyarakat setempat mengandalkan pertanian dan sangat menjunjung tinggi tradisi. Bagaimanapun, kesempatan tur itu ia manfaatkan pula untuk mengenal lebih dekat kebudayaan dan sejarah Muslim-Palestina. Alih-alih Yahudi, ia justru lebih tertarik mempelajari Islam.

"Di tengah hari yang panas, bersama dengan seorang teman saya tersesat. Tidak ada telepon seluler waktu itu, sedangkan kami kehabisan air," tutur Hanan.

photo
Tangkapan layar wawancara Walesonline dengan John Smith dan Hanan Sandercock - (Walesonline.co.uk)

Ia mengenang, dalam kondisi sulit itu ia menggumamkan doa yang belum pernah sekalipun dipanjatkan sebelumnya. Dalam doanya, ia berkata, "bila keluar dalam keadaan selamat, dirinya akan menjadi seorang Muslim." Ternyata, jauh di lubuk hatinya ia menemukan kedamaian dalam Islam.

"Itu bukan kata-kata yang pernah saya ucapkan sebelumnya, tetapi kesadaran itu ternyata ada di dalam diri saya," ujar dia.

Akhirnya, ia dan kawannya berhasil menemukan jalan keluar. Hanan tidak menganggap main-main janjinya itu. Selanjutnya, ia terus memperdalam Islam. Dalam hal ini, Hanan banyak ditolong seorang kawannya asal Yaman. Saat temannya itu bertanya, ia berkata tegas, keinginannya menjadi pemeluk Islam didasarkan panggilan batin, bukan paksaan siapapun.

Sepulangnya ke Inggris, ia segera mencari imam yang dapat membimbingnya bersyahadat. Di Islamic Centre Butetown, perempuan itu akhirnya mengucapkan ikrar sakral: "Asyhaduan Laa ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah." Prosesi ini disaksikan langsung Imam Syekh Said selaku tokoh Muslim setempat. Sejak menjadi Muslimah inilah, ia memilih Hanan sebagai nama barunya.

"Saya langsung merasa lega. Islam menjelaskan banyak hal kepada saya. Semua jawaban terkait hidup ini ya ada di sana. Saya menjadi bagian dari umat yang beragama," katanya.

Perubahan tidak hanya di lisan. Hanan juga mulai mengenakan kerudung atau abaya. Ia ingin menampilkan identitas diri sebagai seorang Muslimah. Beberapa bulan kemudian, ia menikah dengan seorang Muslim asal Aljazair yang sedang merantau di Cardiff. Dari pernikahan ini, ia dikaruniai empat orang anak. Kini masing-masing berusia 22 tahun, 21 tahun, 14 tahun dan 10 tahun.

Sayangnya, rumah tangga yang dibinanya terpaksa berakhir dengan perceraian. Keadaan lebih buruk lagi ketika 9/11 terjadi. Islamofobia menjamur di berbagai belahan dunia, termasuk Britania Raya. Hanan pun merasakan imbasnya.

Ia mendapati kabar, banyak perempuan Muslimah yang mengalami perundungan di ruang-ruang publik karena busana tertutup yang dikenakannya. Karena takut diserang, Hanan memutuskan untuk berhenti mengenakan abaya.

Ia merasa, persekusi pasca-9/11 sungguh di luar batas kewajaran. Waktu era 1990-an, ia ingat, dirinya juga pernah diteriaki para lelaki di jalan-jalan Cardiff. Bagaimanapun, kebencian yang bernada rasisme usai serangan teroris 11 September sangat berbeda.

"Kerudung terus saya pakai, tetapi tidak abaya. Saya berhenti memakai abaya setelah 9/11. Saya tahu, kasus penyerangan atas beberapa Muslimah di Inggris atau Amerika. Waktu itu, saya berpikir, punya anak-anak yang masih kecil. Tidak ingin mengambil risiko," jelas dia.

Sementara itu, peristiwa 9/11 juga berdampak pada John Smith. Waktu itu, lelaki tersebut belum memeluk Islam. Betapapun begitu, kejadian nahas di New York itu justru menjadi jalan baginya mengenal Islam.

John lahir di Omagh, Irlandia utara. Ibunya adalah seorang Protestan. Ayahnya masuk dalam dinas kemiliteran Inggris. Saat serangan 11 September 2001, ia masih menetap di Pontypridd, Wales. "Peristiwa 9/11 membuat saya masuk Islam," kata pria yang kini suami Hanan tersebut kepada Wales Online.

Ia mengingat bagaimana mula-mula pencarian imannya. Di kampus, John bertemu dengan seorang mahasiswa University of South Wales (USW). Temannya ini rupanya beragama Islam. Langsung saja John menuding, "Bagaimana orang Islam bisa melakukan terorisme? Apa alasannya?"

"Kawan saya itu memberi tahu saya, orang-orang yang melakukan serangan hanya memakai nama khas Muslim, tetapi sejatinya mereka bukan Muslim. Lalu, ia memberikan saya buku terjemahan Alquran," katanya mengenang.

Ia pun membaca kitab suci umat Islam itu dengan teliti, sungguh-sungguh. Mulanya, ada niatan untuk menemukan dalil Islam yang menyuruh perbuatan teror. Akan tetapi, yang ditemukan John justru ajaran-ajaran tentang kedamaian.

Tidak cukup dengan membaca. Ia juga bertanya langsung kepada tokoh-tokoh Muslim, termasuk yang dari kalangan akademisi. Ia juga kerap menghadiri ceramah ulama. Makin lama, Islam pun dipahaminya secara komprehensif.

"Mengucapkan dua kalimat syahadat adalah suatu deklarasi. Anda harus melakukannya perlahan dan benar-benar ingin melakukannya. Dan, budaya Islam sangat kaya. Kita tak pernah berhenti belajar," ujar John.

Akhirnya, ia memeluk Islam. Ia meyakini, agama ini menunjukkan pada kebenaran sejati. Waktu itu, di Pontypridd belum ada masjid. Ikrar syahadat diucapkannya di hadapan seorang tokoh Muslim. Sehari-hari, ia memanfaatkan ruangan di USW untuk melakukan shalat.

 
Mengucapkan dua kalimat syahadat adalah suatu deklarasi. Anda harus melakukannya perlahan dan benar-benar ingin melakukannya.
JOHN SMITH
 

Menikah

Pada 2017, John mulai berkenalan dengan Hanan. Dari sekadar teman, keduanya lalu jatuh cinta sehingga memutuskan untuk menikah. Pernikahan islami itu berlangsung hanya beberapa bulan setalah keduanya saling mengenal.

Kini, pasangan berbahagia itu tinggal di Cardiff. Kota ini cukup nyaman untuk komunitas Muslim. Setidaknya, ada dua masjid --al-Manar dan Dar Ul Isra-- yang menjadi sentra aktivitas keagamaan bagi umat Islam setempat. Di sana pula, suami istri tersebut aktif dalam organisasi sosial, di samping ibadah harian dan peringatan hari-hari raya. Sebagai pemeluk Islam, keduanya saling mendukung dalam belajar agama dan menguasai bahasa Arab.

Seperti Muslim lainnya, mereka tak hanya sekadar memeluk Islam tetapi juga merayakan Idul Fitri, shalat lima waktu sehari, dan tidak makan daging babi atau minum alkohol. Hanan yang kini berusia 51 tahun, telah mengenakan jilbab selama 23 tahun sejak menjadi Muslim di usia 28 tahun dan membesarkan keempat anaknya dalam agama yang sama.

Bagi mereka, Islam sungguh telah mencerahkan jalan kehidupan. Selalu muncul perasaan bahagia saat menyadari diri ini meyakini Allah Yang Maha Esa. Dan, keimanan itu tak sekadar tecermin dalam ritual-ritual ibadah. Khususnya bersama dengan komunitas Muslim, keduanya terus mempraktikkan Islam yang rahmat bagi semesta.

Hanan menceritakan, setelah pihak keluarga tahu dirinya memeluk Islam mereka tak lantas berbalik mengecamnya. Justru, bagi mereka perempuan ini sudah dewasa sehingga bebas menentukan jalan kehidupan yang dilaluinya. Memang, ada beberapa kawan Hanan yang kemudian memutuskan hubungan.

Begitu pula dengan John. Keluarganya tak mempersoalkan dirinya menjadi Muslim. Bagi mereka, perilaku dan tutur kata --itulah tolok ukur dalam menentukan nilai seseorang. Pasangan suami-istri ini mengaku sangat beruntung lantaran keluarga masing-masing menerima dengan tangan terbuka.

Bahkan, Hanan mengatakan, adik perempuannya baru-baru ini memeluk Islam. Tiap Idul Fitri dan Idul Adha, keluarga besarnya datang ke Cardiff untuk merayakannya bersama-sama. Ini menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Hanan, yang kini mengepalai sebuah sekolah Steiner di kota tersebut.

Betapapun lingkaran terdekat menerima, lingkungan tak selalu baik-baik saja. Pernah suatu ketika, ia menyaksikan sendiri jilbab anaknya ditarik saat sedang berlalu di Roath Park. Pelakunya adalah seorang remaja yang sedang mengayuh kencang sepeda.

Hanan berpikir, inilah ujian kesabaran baginya dan seluruh umat Islam di negeri-negeri minoritas Muslim. Islamofobia bagaikan virus yang merusak perayaan atas kemajemukan.

Wawancara selengkapnya di Walesonline.co.uk

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat