Relawan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Al Jihad menyemprotkan cairan antiseptik kepada warga sebelum shalat Idul Fitri 1441 H | ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA

Opini

Idul Fitri, Modal Sosial, dan Covid-19

Indikasi keberhasilan Idul Fitri adalah terciptanya relasi sosial untuk menangani Covid-19.

Oleh Yulizar D Sanrego

Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)

 

Setelah melatih diri mengekang hawa nafsu selama 30 hari, umat Islam di seluruh dunia bersama-sama merayakan kebahagiaan. Caranya dengan bertakbir, bertahmid, dan bertasbih, kemudian saling meminta maaf di hari Idul Fitri yang jatuh setiap awal bulan Syawwal.

Idul Fitri adalah hari raya kemenangan (falah/faiz). Disebut kemenangan dalam arti ikhtiar ubudiyah yang kita lakukan selama kurang lebih sebulan penuh menjadi wasilah untuk mencapai derajat takwa (la’allakum tattaqun). 

Indikasi kemenangan dalam kerangka  QS As-Syams ayat 7-10 adalah takwa yang fungsional, yaitu melakukan segala amal perbuatan baik (amal shalih/khair). Dalam tafsir Jami’ al-Bayan  fi Ta’wil al-Qur’an, Imam at-Thabari menjelaskan bahwa seseorang akan mendapatkan kemenangan (falah/faiz) jika dia istiqamah dalam ketakwaannya dengan ta’at kepada Allah SWT dan melakukan amal shalih/khair dengan senantiasa membersihkan dan menghidupkan jiwa (tazkiyah an-nafs).

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah (kemenangan) orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”

Pencapaian tersebut bukan tanpa proses dan syarat. Syarat di sini bermakna bahwa untuk mendapatkan sesuatu harus ada ikhtiar dan mujahadah alias tidak gratis. Aktor utama dalam proses seseorang mencapai kemenangan takwa di akhir Ramadhan adalah jiwa dan hawa nafsu. Jadi syaratnya adalah aktor utama ini bisa dikendalikan dalam kerangka imanan wa ihtisaban untuk mendapatkan kemenangan berupa takwa.

Dari Abu Dzarr, Rasulullah saw bersabda: Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya. Sudah terlalu banyak cerita manusia terjerumus dalam kefasikan (pembuat dosa) karena gagal mengendalikan hawa nafsunya dan turut diperdudak oleh ego untuk memuaskan kepentingan syahwat pribadi.

 

 

Maksud puasa adalah memfungsikan atau menghidupkan  pengendalian nafsu  dalam rangka mencapai tujuan hidup yang penuh dengan hal positif dan bahagia (sa’adah); fungsi pengendalian inilah yang menjadi faktor penolong terbesar bagi terciptanya derajat takwa (fahuwa min akbar al-‘aun ‘ala al-taqwa).

 

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam bukunya Zadul Ma’ad
 

Puncak ibadah shaum yang lebih menitikberatkan penguatan jiwa atau ruhiah individu adalah ditambah dengan “pengkondisian” seseorang untuk memiliki rasa empati dan berjiwa sosial melalui zakat fitrah untuk orang miskin. Zakat fitrah yang harus dikeluarkan sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitri membawa pesan bahwa akan sah kesalehan individu seseorang jika berdampak pada kemaslahatan sosial. 

Dengan kata lain, dikatakan takwa yang berujung kepada kemenangan (falah/faiz) adalah jika pengendalian hawa nafsu tidak bersifat eksklusif (hablum minallah) namun menuntut adanya daya inklusif (hablum minannas) sehingga berdaya guna bagi kepentingan sosial (mashlahah al-’ammah). Ada prinsip moral yang merangkai keseimbangan antara hak dan kewajiban individu dengan hak kewajiban sosial. Bukankah semangat berbagi dan empati akan lahir dari hilangnya hawa nafsu atau ke-egoan (ananiyah) untuk mementingkan diri sendiri.

Demikianlah, Ramadhan mengajarkan sekaligus mengingatkan kaum muslimin agar senantiasa memiliki rasa empati dan berjiwa sosial sebagai penilaian untuk betul-betul mendapatkan kemenangan di mata Allah SWT. Aggregasi dari individu-individu inilah yang bisa dijadikan sebagai modal sosial tangguh bagi keberlanjutan sebuah komunitas dalam ranah mikro maupun negara dalam ranah makro. 

Jauh sebelum dunia barat membahas isu sentral tentang modal sosial, Ibn Khaldun dalam Muqaddimah kitab al-Ibar menyatakan bahwa hubungan atau relasi sosial adalah sesuatu yang urgen (dharuriyyun) dalam kehidupan atau peradaban (al-‘umran) manusia. Jika relasi sosial yang solid tidak ada, maka tidak akan sempurna (lam yakmul) wujud mereka dan tidak akan terwujud apa yang dikehendaki Allah SWT berupa memakmurkan bumi (i’timar al-‘alam) dan menjadikan mereka khalifah-Nya di muka bumi. Kelanggengan umat manusia (baqaun) hanya akan terjaga jika jalinan kerjasama atau tolong-menolong (at-ta’awun) menjadi bagian dari relasi sosial tersebut.

photo
Panitia penerimaan dan penyaluran zakat fitrah menerima pembayaran zakat fitrah di Masjid Pusdai, Kota Bandung, Senin (18/5). Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAZ) menganjurkan zakat fitrah untuk tahun ini di Kota Bandung dalam bentuk beras dengan besaran 2,5 kilogram atau uang senilai Rp 30ribu - (ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA)

Sesungguhnya Ramadhan dan Idul Fitri hanyalah salah satu simpul ajaran Islam yang bermuatan civic engagement; Idul Adha/Idul Qurban, syariat berzakat, shalat, ukhuwwah, silaturahim, saling menasehati dalam kebaikan, termasuk beberapa postulasi naqliyah yang ada dalam Alquran dan sunnah. Artinya agama sangat berperan penting dalam mempengaruhi setiap lini kehidupan umat manusia, termasuk pembentukan modal sosial.

Pada kajian sosiologi, konsepsi modal sosial adalah terkait dengan bagaimana manusia bisa memanfaatkan unsur-unsur relasi sosial seperti nilai norma (norms), jaringan sosial (networks), asas timbal balik atau semangat saling berbuat kebaikan (reprocity), kepercayaan (trust) dalam rangka mencapai keinginan di berbagai bidang kehidupan; ekonomi, sosial, pendidikan, dan pengembangan masyarakat (Sankey & Wilson, 2007).

Relasi kuat antara peran agama dalam membangun modal sosial yang berdampak pada keberhasilan sebuah aktivitas ekonomi dan bisnis bisa ditemukan pada sebuah riset yang berjudul Social Capital, Religion and Small Business Activity. Peneliti berkesimpulan bahwa modal sosial yang kuat dan pembangunan ekonomi komunitas akan tercapai melalui upaya eksploratif terhadap beberapa tradisi, kepercayaan dan norma-norma yang diproksi dalam bentuk agama.

photo
Warga penerima zakat mal melakukan registrasi KTP dan nomer antrean bank di kantor lembaga penyaluran zakat Baitul Mal Lhokseumawe, Aceh, Rabu (29/4/2020). Baitul Mal setempat menyalurkan Rp4,2 miliar dana zakat untuk 3 - (RAHMAD/ANTARA FOTO)

Dalam kerangka konsep modal sosial, indikasi kemenangan (falah/faiz) di hari raya Idul Fitri adalah terciptanya unsur-unsur relasi sosial sebagai natijah madrasah Ramadhan yang bisa difungsikan sebagai salah satu modal untuk menjawab ujian dari Allah SWT dalam bentuk pandemi Covid-19. Pada saat-saat inilah unsur-unsur relasi sosial seperti empati, solidaritas sosial, saling berbagi dan saling menguatkan antara seluruh elemen bangsa mutlak diperlukan untuk turut serta menjaga kelangsungan hidup masyarakat.  

Dalam Islam unsur-unsur relasi sosial tersebut tidak sebatas dipahami sebagai panggilan kemanusiaan (humanity), namun menjadi potensi untuk mendapatkan kemuliaan dan pahala di mata Allah SWT. Sebuah nasehat Rasulullah saw yang bisa kita temukan di dua halaman pembuka kitab Nashaihul Ibad karya Syekh Nawawi Al-Bantani, Rasulullah saw bersabda "Cintailah (atau sayangilah) penduduk bumi agar yang di langit (Allah SWT) ikut menyayangi dan mencintai kamu." 

Dalam jangka panjang, modal sosial ini perlu senantiasa dijaga dan dirawat serta bisa dilembagakan. Lembaga-lembaga sosial yang sudah ada seperti Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Badan Wakaf Nasional (BWI), Dompet Dhuafa, Rumah Zakat dll perlu diperkuat dan saling bersinergi dalam kerangka struktur jaminan sosial nasional bagi keberlanjutan kehidupan anak-anak bangsa di kemudian hari.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat