Santri Pondok Modern Darussalam Gontor | Siswowidodo/Antara

Narasi

Ustaz Mahmud Gontor, Kroco, dan Korona

Di Gontor, kroco menjadi elemen strategis yang menentukan kualitas bangunan. Santri yang terlibat pembangunan selalu diingatkan memasukkan kroco.

Oleh Shabahussurur Syamsi

Pegiat dakwah

Alumni Pondok Modern Darussalam Gontor 1980 (Godam)

 

Pendidikan karakter tidak cukup dengan mengajarkan ilmu di kelas. Pembentukan karakter santri, murid (peserta didik)  diperlukan latihan terus menerus, praktik berulang-ulang, dengan variasi kegiatan, untuk mendapatkan mutu pendidikan secara maksimal. 

Di Pesantren Gontor seluruh yang dilihat, didengar, dilakukan dan dirasakan santri selama 24 jam dalam Pondok didesain untuk pendidikan. Tidak saja praktik ibadah yang diterapkan, tetapi cara berjalan, makan, minum, berpakaian, bahkan cara tidur santri sengaja diterapkan untuk pendidikan.

Dulu, di antara cara lain yang dilakukan Pondok untuk membangun karakter santri adalah melibatkan mereka dalam kegiatan pembangunan fisik Pondok. Gedung asrama, gedung sekolah, aula, masjid, dan semua bangunan adalah karya para santri. Hasil usaha santri. Dibangun oleh tangan mereka sendiri. Mereka terlibat langsung dalam pembangunan.

Sejalan dengan bertambahnya jumlah santri, maka Pondok harus membangun berbagai sarana fisik. Beberapa gedung yang dibangun saat saya nyantri di Gontor, dari tahun 1980-1984, antara lain: Gedung Saudi Arabia (gedung termegah waktu itu), Gedung Rayon Indonesia Empat (RIEM), Gedung 17 Agustus (renovasi pasca kebakaran), Gedung Komplek Solihin (Komsol), Gedung Satelit, dan Gedung Madrasah (renovasi).

Suatu saat, ada pengumuman, bahwa santri tidak masuk kelas. Kami disuruh berpakaian olahraga, tidak untuk olahraga, tapi untuk kerja bakti mengecor lantai gedung Saudi. Kami senang kalau diajak kerja bakti. Sorak sorai ekspresi kegembiraan kami karena terlibat dalam pengecoran gedung, di tengah lelah belajar, pusing membaca buku, dan ketatnya mengikuti disiplin Pondok.

 

 

Suasana kerja bakti menjadi hiburan tersendiri bagi kami. Tidak mengharap balasan apa-apa. Cukup dibagi makanan "manihut (singkong rebus)" dan seteguk air, kami senang luar biasa. Karena kerja bakti bagi kami adalah dalam rangka pengabdian dan kecintaan kepada Pondok.

 

Kami secara bergiliran dikerahkan untuk kerja bakti. Kami dikumpulkan sebelum kerja. Diberi motivasi agar tidak salah niat dan bekerja dengan sungguh-sungguh: "Kalian akan membangun gedung yang megah. Niatkan ibadah. kerja dengan semangat. Nanti tidak saja kalian yang menempati, tapi akan ditempati oleh santri setelah kalian. Gedung harus kuat, berdiri kokoh puluhan bahkan ratusan tahun. Bekerja dengan baik. Kerja kalian akan dicatat sebagai amal jariah yang pahalanya terus mengalir deras. Bismillahirrahmanirrahim.. Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar.

Kami berhamburan menuju tempat pembangunan, sesuai dengan tugas yang sudah dibagi. Ada yang bertugas di lantai atas ada yang di bawah. Ada yang memegang ember, sekrop, molen, dan cangkul. 

Kami menyaksikan sosok bertubuh tinggi besar, berdiri tegap, dengan pandangan mata tajam. Itulah Pak Mahmud, panggilan akrab kami kepada Ustad KH Abdullah Mahmud (1928-2001), sang jendral perang, jihad fi sabilillah, saat menyelesaikan pengecoran gedung. Beliau adalah ketua Yayasan Wakaf Pondok Modern Gontor (YWPMG), sekaligus sebagai "tukang insinyur" yang tak pernah mengenyam bangku kuliah teknik, tapi karyanya terlihat megah menjulang tinggi di area lebih dari 7 hektar, di tengah desa Gontor, 12 km dari kota Ponorogo, Jawa Timur.

Pak Mahmud sosok yang tidak banyak berbicara. Selama kerja bakti, beliau hanya menerikkan kata-kata dengan suara lantang menggelegar: kroco-kroco. Berulang-ulang mengucapkan: kroco-kroco. Tidak ada kata lain. Selama ngecor, kata kroco diucapkan berulang-ulang. Padahal adonan bahan ngecor selain kroco, ada pasir, semen, dan air. 

Kroco adalah butir-butir batu keras, lebih besar dari kerikil yang digunakan untuk bahan adonan cor; semen, kroco, pasir dan air. Kroco menjadi sangat penting agar bangunan itu kuat dan kokoh. Pak Mahmud selalu mengingatkan, kroco, kroco. Agar jangan lupa adonan cor itu harus diisi kroco secukupnya. Bila tidak, maka bangunan itu tidak akan kuat. 

 

 

Ketika bangunan berdiri, kroco tidak terlihat. Tapi dialah sejatinya yang memperkokoh bangunan itu. Dengan kroco bangunan menjadi kuat membatu.

 

 

Kroco itu kecil ukurannya, tapi ketika disatukan dengan semen, pasir dan air, ia menjadi kekuatan yang dahsyat. Jangan pernah meremehkan kroco. Kecil tapi kuat. Tidak tampak, tapi berperan penting. 

 

 

Teringat saya akan pesan Pak Zar (KH Imam Zarkasyi/1910-1985), salah satu Pendiri Pondok Gontor, ketika memberi wejangan kepada kami. Beliau menerangkan siapa orang besar dan siapa orang kecil. Bagi beliau, orang besar itu tidak karena jabatan tinggi, duduk di kursi empuk, memiliki kendaraan mewah, tinggal di rumah bagai istana.

 

 

Orang besar itu adalah yang berperan penting bagi kemajuan umat dan bangsa walaupun secara materi terlihat bersahaja. Beliau bangga dengan santrinya yang terlihat kecil, mengajar di surau kecil, di kampung terpencil, tidak tersorot media, tapi memberikan manfaat yang besar bagi masyarakatnya. Insya Allah surganya tidak lebih rendah dari mereka yang tinggal di kota besar, disanjung dielu-elukan oleh pengikutnya, tapi hanya untuk menumpuk harta, dan kuasa dengan jumawa. Kecil badannya tapi besar akalnya. Kecil kedudukannya tapi besar perannya.

Kini sering kali orang rendahan disebut sebagai kroco, wong kroco, wong cilik, tiang alit. Mereka itu kekuatan. Kecil tapi penting. Keberadaan mereka dibutuhkan. Tanpa mereka kita tidak bisa apa-apa. Mereka adalah pejuang sesungguhnya. Jangan pernah menyepelekan mereka. 

Di saat merebaknya wabah pandemi virus korona, peran kroco sangat terasa.  Jangan remehkan mereka. Ketika banyak orang berada di rumah karena lockdown, mereka menjadi tentara yang nyata melawan korona. Mereka berhadapan langsung dengan orang yang terserang virus korona. Di saat kebanyakan meninggalkan gedung perkantoran, pasar, dan tempat vital, mereka tetap tinggal di sana, berjaga mengamankan, membersihkan, merawat, dengan segala risiko. Mereka keluar rumah demi tugas, di saat yang lain berlindung di dalam rumah. Mereka adalah pejuang fi sabilillah yang bila terjadi apa-apa maka predikat syahid akan diterimanya. 

Mari bergandeng tangan dengan kroco. Jangan biarkan mereka menjerit terjepit. Ulurkan tangan kepedulian. Beri apa yang bisa diberikan. Sumbang apa yang bisa disumbangkan. Jadilah semen, pasir, air yang bersenyawa dengan kroco. Jangan hinakan mereka. Jangan rendahkan mereka. Agar bangunan negeri ini tegak berdiri ratusan bahkan ribuan tahun. Wabah ini musuh kita bersama. Mari bergandeng tangan. Jangan saling menyalahkan dan berebut peran.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat