Sunarsip | Daan Yahya | Republika

Analisis

Presidensi G-20 dan Agenda Sektor Energi

Peran sebagai Presidensi G-20 ini tentunya dapat memberikan manfaat bagi Indonesia.

OLEH SUNARSIP

Tahun ini, Indonesia memperoleh giliran sebagai Presidensi G-20 setelah tahun lalu dipegang Italia. Berdasarkan urutan, India akan menjadi Presidensi G-20 pada 2023. G-20 tidak memiliki ketua tetap sehingga fungsi presidensi dipegang oleh salah satu negara anggota, yang berganti setiap tahun secara bergiliran.

G-20 juga tidak memiliki sekretariat tetap, sehingga fungsi untuk menjaga kesinambungan dipegang oleh Troika, yang terdiri dari negara yang sedang menjabat presidensi, negara yang menjabat satu tahun sebelum, serta negara yang akan menjabat di tahun berikutnya. Dengan demikian, Troika G-20 kali ini dipegang oleh Indonesia (Presidensi 2022), Italia (Presidensi 2021), dan India (calon Presidensi 2023).

Peran sebagai Presidensi G-20 ini tentunya dapat memberikan manfaat bagi Indonesia, seperti (i) memperkuat citra positif Indonesia, (ii) menampilkan kemajuan pembangunan kita seperti infrastruktur, konektivitas, potensi pariwisata, dan (iii) menarik investasi. Namun demikian, peran sebagai Presidensi G-20 juga menjadi tantangan kepemimpinan bagi Indonesia.

Terlebih, tahun depan, India akan menggantikan peran sebagai presidensi. Sebagai negara yang lebih besar, India tentu akan berupaya memperlihatkan kepemimpinannya sebagai Presidensi G-20 yang lebih baik, setidaknya dibanding presidensi tiga tahun sebelumnya.

Banyak agenda yang akan dibahas selama Presidensi G-20. Salah satu agenda yang kemungkinan akan menarik perhatian adalah transisi energi. Terlebih, di tengah agenda transisi energi ini, dunia kini juga dihadapkan dengan sejumlah peristiwa krisis energi termasuk yang terjadi pada anggota G-20, baik karena faktor disrupsi, geopolitik, maupun pasar. Tahun lalu, dunia dikejutkan dengan krisis gas di Inggris, lalu disusul krisis batubara di Tiongkok, dan terakhir krisis batubara yang menimpa Indonesia.

 
Tantangan saat ini adalah bagaimana dunia mampu menjaga keseimbangan antara upaya transisi energi dengan kepentingan jangka pendek dan menengah.
 
 

Tantangan saat ini adalah bagaimana dunia mampu menjaga keseimbangan antara upaya transisi energi dengan kepentingan jangka pendek dan menengah yang ternyata masih menyisakan persoalan. Nah, di sinilah kepemimpinan kita sebagai Presidensi G-20 akan diuji: mampukah Indonesia menjadi jembatan dari berbagai kepentingan yang cenderung bertolak belakang ini.

Salah satu caranya adalah Indonesia harus dapat menjadi contoh bagi dunia bahwa kita memang mampu mengawal proses transisi energi di dalam negeri dengan lebih baik.

Implementasi transisi energi khususnya negara berkembang jelas tidak mudah. Negara-negara berkembang “terlanjur” telah membangun infrastruktur energi fosilnya secara masif. Hingga kini, negara-negara berkembang juga masih melanjutkan pembangunan infrastruktur energi fosil, berbarengan dengan infrastruktur energi terbarukan. Alasannya, energi fosil adalah resources energi utama yang mereka miliki sekaligus biayanya masih relatif lebih murah.

Pembangunan infrastruktur energi terbarukan membutuhkan investasi besar, baik di sisi hulu (pembangkit) maupun hilirnya (transmisi, distribusi, storage). Kajian McKinsey (2019) menunjukkan bahwa selama 2018-2025 investasi di sektor kelistrikan global diperkirakan mencapai €719 miliar yang terdiri pembangkit fosil (€103 miliar), nuklir (€45 miliar), energi terbarukan (€286 miliar), serta investasi untuk transmisi, distribusi dan storage sekitar €286 miliar.

 
Pembangunan infrastruktur energi terbarukan membutuhkan investasi besar, baik di sisi hulu maupun hilir.
 
 

Besarnya nilai investasi untuk energi terbarukan yang relatif sama dengan investasi untuk transmisi, distribusi, dan storage memperlihatkan bahwa pembangunan kelistrikan di sisi hulu (termasuk di dalamnya energi terbarukan) perlu diimbangi dengan investasi yang sama besarnya di sisi hilirnya.

Persoalannya, di banyak negara berkembang, investasi di sektor kelistrikan antara hulu dan hilir cenderung tidak berimbang. Investasi di sisi hulunya lebih agresif dibanding sisi hilirnya. Selain karena investasi di hulu lebih menarik, relatif tertinggalnya investasi di sisi hilir juga dipengaruhi oleh struktur pasar kelistrikan. Pada umumnya, struktur pasar kelistrikan di negara-negara berkembang masih monopoli terutama di sisi hilir dan pemasarannya.

Sisi hulu telah melibatkan banyak pemain mulai dari BUMN hingga swasta (independent power producer/IPP). Sedangkan di sisi hilirnya, masih menjadi tanggung jawab monopolistik BUMN kelistrikan. BUMN kelistrikan memiliki tanggung jawab monopolistik untuk menjadi pembeli (off-taker) atas listrik yang dihasilkan IPP. 

BUMN kelistrikan juga memiliki tanggung jawab monopolistik untuk membangun jaringan transmisi dan distribusi. Pemasaran juga dimonopoli BUMN kelistrikan, tapi harga jual listrik diatur pemerintah. BUMN kelistrikan harus membeli listrik dari IPP (biasanya dengan harga paling tidak sesuai keekonomiannya), tapi menjual listriknya ke konsumen (biasanya dengan harga di bawah keekonomian).

 
BUMN kelistrikan juga memiliki tanggung jawab monopolistik untuk membangun jaringan transmisi dan distribusi.
 
 

Nah, struktur pasar kelistrikan seperti inilah yang menyebabkan infrastruktur hilir kelistrikan relatif tertinggal. BUMN kelistrikan sebagai pemilik tanggung jawab monopolistik membangun infrastruktur hilir kelistrikan memiliki keterbatasan modal akibat adanya mismatch antara sisi pendapatan dengan biaya. Tentu tidak relevan mengungkit isu struktur pasar kelistrikan yang berlaku di setiap negara dalam forum G-20.

Namun, justru di sinilah salah satu peran yang dapat ditampilkan Indonesia sebagai Presidensi G-20. Yaitu, Indonesia mampu membangun kesepahaman di antara anggota G-20, terutama dari negara-negara maju dalam memahami struktur pasar energi di negara-negara berkembang.

Keberhasilan transisi energi di kelistrikan tentunya akan mempengaruhi sektor lainnya. Bila kelistrikan berhasil mengurangi penggunaan energi fosil dengan sendirinya akan mengurangi intensitas produksi energi fosil terutama batu bara maupun minyak dan gas bumi (migas). Tantangan transisi energi selanjutnya adalah sektor migas, khususnya pada sisi hilirnya. 

Studi WoodMackenzie (2021) menyebutkan kilang pengolahan relatif rendah dalam menyumbangkan emisi, yaitu sekitar 3 persen dari total emisi sektor energi global. Namun, bila perusahaan kilang dikenakan pajak karbon (carbon tax) akan memberikan dampak keuangan yang cukup material. Ini mengingat, mereka tidak memiliki keleluasaan membebankan tambahan biaya kepada konsumen melalui harga jual BBM.

Keberhasilan transisi energi setidaknya dipengaruhi dua hal. Pertama, pendanaan yang cukup. Kedua, faktor keekonomian dari energi terbarukan. Dorongan untuk mewujudkan transisi energi berasal dari negara maju. Di sisi lain, kemampuan finansial yang dialami negara-negara berkembang sangat terbatas. 

Sedangkan komitmen pendanaan dari negara maju juga tidak dapat dipenuhi. Dalam COP15 disepakati adanya dukungan pendanaan sebesar 100 miliar dolar AS per tahun. Realisasinya, negara-negara maju gagal mencapai target tersebut.

Negara berkembang berkepentingan menyediakan energi dengan harga yang terjangkau (affordable) bagi masyarakat dan tidak membebani anggaran negara. Oleh karenanya, harga energi terbarukan perlu dibuat lebih murah sehingga bebannya layak diserap. 

Salah satu caranya adalah dengan menciptakan berbagai skema dukungan, misalnya skema project development facility (PDF), credit enhancement facility (CEF), viability gap funding (VGF), dan lain-lain. Pengembangan skema dukungan ini perlu dikembangkan di setiap negara dan tentunya perlu diikuti dengan komitmen investasi dari negara-negara maju.

Indonesia memiliki peluang untuk memperlihatkan kemampuannya sebagai Presidensi G-20, yaitu terutama dalam merumuskan berbagai formula yang dapat mendorong keterlibatan aktif negara maju di bidang pendanaan, sekaligus menjaga komitmen negara-negara berkembang untuk menjalankan transisi energi. Semoga kita mampu melahirkan legacy yang akan menjadi monumen kita di G-20 selama menjadi presidensi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat