ILUSTRASI Lukisan yang menggambarkan pendiri DInasti Abbasiyah saat menerima delegasi. Pada 750, gerakan Revolusioner Abbasiyah sukses mengalahkan Wangsa Umayyah. | DOK WIKIPEDIA

Tema Utama

DInasti Abbasiyah di Antara Ancaman Pasukan Salib dan Mongol

Kekhalifahan Abbasiyah menghadapi masalah dari pasukan Salib dan Mongol.

 

OLEH HASANUL RIZQA

 

Antara tahun 945 dan 1055 M, Daulah Abbasiyah berada di tangan Bani Buwaihi. Secara de jure, pemerintahan selama lebih dari satu abad itu masih berpusat di Baghdad. Akan tetapi, para khalifah di setiap periode hanyalah simbol atau bahkan “boneka” belaka dari faksi-faksi politik yang dominan. Mereka tidak ubahnya pegawai yang diperintah dan diberi gaji.

Secara de facto, kekuasaan dimiliki Bani Buwaihi. Kaum yang menetap di Shiraz, Iran, itu berhaluan Syiah. Alhasil, mereka sering berkonflik dengan kaum ahlus sunnah waljama’ah (aswaja) serta para petinggi militer dari suku bangsa Turki.

Meskipun situasi politik terbilang kacau, Kekhalifahan Abbasiyah tetap mengalami kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa ini, banyak sarjana Muslim yang berkiprah besar. Sebut saja, al-Farabi (870-950), Ibnu Sina (980-1037), al-Biruni (973-1048), serta kelompok studi Ikhwan as-Safa.

Umumnya, masyarakat juga hidup makmur dari hasil pertanian dan perdagangan. Untuk mereka, negara membangun banyak fasilitas publik, semisal masjid, madrasah, rumah sakit, jalan, jembatan, dan sebagainya. Bahkan, semua itu bisa diakses secara cuma-cuma.

Sejak era Khalifah al-Qa’im, para elite di Baghdad kian “gerah” terhadap kaum Syiah. Mereka lalu “mengundang” kekuatan militer Turki, khususnya dari Bani Seljuk. Pemimpinnya yang bernama Tughril Bey berhasil menguasai Kota Seribu Satu Malam pada 1055.

Status Abbasiyah sebagai kekhalifahan Sunni pun terpulihkan. Bagaimanapun, para khalifah tetap tidak memiliki kekuasaan eksekutif apa pun. Bila dahulu dikontrol Bani Buwaihi, kini mereka adalah “boneka” Bani Seljuk.

Tughril Bey wafat pada 1062. Posisinya digantikan sang putra, Muhammad. Lelaki bergelar Alp Arslan (Singa Pemberani) ini berhasil merebut kembali sejumlah wilayah Mediterania Timur dari tangan Romawi (Bizantium). Makkah, Madinah, serta Palestina pun sukses direbutnya dari hegemoni Fathimiyah, dinasti Syiah yang berpusat di Mesir.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (republikaonline)

Sesudah Alp Arslan meninggal, Malik Shah naik sebagai pemimpin. Inilah puncak kegemilangan Bani Seljuk. Bersama Nizham al-Mulk sebagai perdana menteri, tokoh berhaluan Sunni itu membangun banyak lembaga pendidikan tinggi di Baghdad, Nishapur, dan Thus.

Meskipun dinamakan madrasah, wujud operasionalnya adalah universitas dalam arti modern. Salah seorang tokoh penting yang pernah memimpin Madrasah Nizhamiyah Baghdad ialah Imam al-Ghazali (1058-1111).

Hanya beberapa tahun setelah wafatnya Malik Shah pada 1092, Bani Seljuk mengalami degradasi. Konflik politik pada tataran elitenya berkembang menjadi perang saudara. Wilayah kekuasaannya yang begitu luas—dari Anatolia, Syam, Oman, Irak, Iran, hingga Asia Tengah—kini terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Masing-masing bersifat independen walaupun tetap mengakui Baghdad sebagai pusat kekhalifahan Islam.

Salibis tiba

Sejak abad ke-11, Kekhalifahan Abbasiyah mulai melakukan konsolidasi. Dalam arti, khalifah secara bertahap tidak lagi berada di bawah kontrol dinasti tertentu. Khususnya sesudah era Malik Shah, Baghdad kembali memegang kendali eksekutif.

Sayangnya, wilayah yang bersedia tunduk pada kemauan khalifah hanya sekitar kota tersebut atau sejauh-jauhnya, Irak. Masyarakat di luar itu cenderung taat kepada pemimpin masing-masing. Meskipun enggan mengirimkan pajak atau upeti ke Baghdad, mereka tetap mengakui status Abbasiyah sebagai simbol pemersatu umat Islam sedunia.

Sepeninggalan Malik Shah, Bani Seljuk pecah menjadi banyak kedaulatan. Yang paling besar pengaruhnya ialah para bey (kepala suku Turki) di pesisir timur Mediterania dan Anatolia—wilayah negara Turki modern. Termasuk dalam hal ini, daerah sekitar Baitul Makdis atau Kota Yerusalem, Palestina.

Kawasan itu dianggap suci tidak hanya oleh umat Islam, tetapi juga kaum Kristen dan Yahudi. Pada 1070, Alp Arslan berhasil merebutnya dari tangan Fathimiyah. Kemudian, ayah Malik Shah itu membuat kebijakan, yakni kedatangan orang Kristen dari Eropa ke Palestina dibatasi.

 
Meskipun enggan mengirimkan pajak atau upeti ke Baghdad, mereka tetap mengakui status Abbasiyah sebagai simbol pemersatu umat Islam sedunia.
 
 

Lambat laun, pembatasan itu dikeluhkan para peziarah Nasrani. Yang muncul kemudian tidak hanya keluhan, tetapi juga fitnah. Kalangan gereja di Benua Biru menyebarkan isu bahwa penguasa Muslim bersikap zalim terhadap kaum Kristen.

Inilah awal mulanya Perang Salib. Di Konsili Clermont, Paus Urbanus II menyerukan pengiriman pasukan Kristen ke Yerusalem. Pada 15 Juli 1099, Pasukan Salib merangsek masuk ke kota tersebut.

Dalam waktu beberapa jam, pasukan berbendera salib itu membantai seluruh penduduk setempat—pria, wanita, anak-anak, kaum Muslim, Yahudi, dan Kristen Ortodoks. Jumlah korban jiwa diperkirakan mencapai 60 ribu orang. Mengutip keterangan dari The Catholic Encyclopedia: “Orang-orang Kristen (Pasukan Salib) memasuki Yerusalem dari segala sisi dan membantai penduduknya tanpa memedulikan usia atau jenis kelamin.”

Bagi Bani Seljuk, kebrutalan Pasukan Salib merupakan ancaman nyata, tetapi tidak demikian halnya untuk khalifah. Robert Irwin dalam artikelnya, "Muslim Response to the Crusades" (1997), menjelaskan, pada mulanya para raja Abbasiyah tidak menganggap Salibis sebagai ancaman. Sebab, jarak antara Palestina dan Baghdad terbilang jauh. Lagipula, tidak ada tanda-tanda bahwa kaum ekstremis itu akan bergerak ke arah timur.

 
Bagi Bani Seljuk, kebrutalan Pasukan Salib merupakan ancaman nyata, tetapi tidak demikian halnya untuk khalifah.
 
 

Akan tetapi, masyarakat Baghdad tidak bisa dan tidak mungkin berpangku tangan. Dalam beberapa dekade sejak jatuhnya Baitul Maqdis, gelombang pengungsi dari Palestina kian besar. Orang-orang malang itu harus ditolong.

Seorang imam Damaskus, sesudah mendatangi khalifah, berceramah di Masjid Agung Baghdad. “Wahai jamaah,” katanya berseru, “Saudara-saudara kita di Syam kehilangan rumah-rumah mereka. Kini hidupnya terlunta-lunta di atas sadel unta, di bawah intaian burung-burung bangkai. Kepada siapa lagi mereka meminta bantuan selain saudara-saudara seiman?” Mendengarnya, hadirin menangis tersedu-sedu. Mereka semua menyumbang dalam jumlah besar untuk para pengungsi itu.

Kemenangan Salibis hanya sementara. Hingga paruh kedua abad ke-12, satu per satu wilayah kembali ke pangkuan Islam. Di antaranya adalah Damaskus (1147), Antiokia (1149), dan Mesir (1169). Seorang pemimpin Suni berdarah Kurdi, Shalahuddin al-Ayyubi (Saladin), sukses menggalang kekuatan Muslimin di Mediterania timur. Akhirnya, pada 2 Oktober 1187 pasukannya berhasil membebaskan Baitul Maqdis.

photo
ILUSTRASI Penyerangan yang dilakukan balatentara Mongol di bawah Hulagu Khan terhadap Baghdad. - (DOK WIKIPEDIA)

Ancaman Mongol

Bila kaum Salibis dianggap jauh bagi Baghdad, Mongol adalah sebaliknya. Karena itu, khalifah Abbasiyah lebih takut pada ancaman dari bangsa Asia Timur tersebut. Yang membatasinya dari mereka ialah wilayah Iran, yang sejak paruh kedua abad ke-11 dikuasai Dinasti Khawarizmi.

Pada 1194, bey Khawarizmi berhasil mengalahkan sisa-sisa kekuatan Seljuk di Khurasan, Iran timur. Di sepanjang abad ke-12, wangsa berdarah Turki ini menjalin hubungan yang cukup baik dengan orang-orang Mongol. Interaksi antara keduanya terjalin melalui hubungan dagang dan diplomatik.

 
Sejak 1219, ratusan ribu tentara Mongol berhasil mencaplok Bukhara, Samarkand, dan bahkan Urgrench yang adalah ibu kota negeri.
 
 

Keadaan damai ini berakhir begitu Khawarizmi dipimpin Muhammad II. Bibit konflik antara kerajaan Islam tersebut dan Mongol bermula pada 1218. Genghis Khan mengutus sejumlah duta ke sebuah kota wilayah Khawarizmi. Tujuannya menjalin hubungan dagang. Namun, gubernur setempat—para sejarawan menduga—atas instruksi Raja Muhammad II justru menuding mereka sebagai mata-mata. Para delegasi itu ditangkap dan kemudian dihukum mati.

Genghis Khan mengirim utusan lainnya kepada Muhammad II. Kali ini, tujuannya agar pemimpin Muslim itu menyerahkan si gubernur kepadanya untuk dieksekusi. Ternyata, duta dari Mongol itu dibunuh pula oleh pemimpin Khawarizmi tersebut.

Begitu mendengar kabar itu, Genghis Khan langsung mengerahkan pasukan untuk mengepung kota-kota strategis wilayah Khawarizmi. Sejak 1219, ratusan ribu tentara Mongol berhasil mencaplok Bukhara, Samarkand, dan bahkan Urgrench yang adalah ibu kota negeri. Ketakutan, Muhammad II sempat melarikan diri, tetapi kemudian tewas ketika hendak mencapai Khurasan.

 
Sejak tumbangnya Khawarizmi, tidak ada lagi yang menghalangi Abbasiyah dari ancaman Mongol.
 
 

Sejak tumbangnya Khawarizmi, tidak ada lagi yang menghalangi Abbasiyah dari ancaman Mongol. Pada waktu yang sama, para penasihat Genghis Khan pun memandang kekhalifahan Islam itu sebagai target ekspansi. Datangnya marabahaya tampak semakin tidak terelakkan.

Pada akhir tahun 1222, Genghis Khan memindahkan pusat kekuasaannya ke Transoxiana, suatu daerah subur antara Sungai Amu Darya dan Sungai Syr Darya, Asia tengah. Beberapa tahun kemudian, pada 1227, sang penakluk menghembuskan nafas terakhir. Wilayah kekuasaannya yang amat luas lalu dibagi-bagi kepada anak keturunannya, termasuk Toloui Khan. Lelaki ini kemudian memiliki seorag putra bernama Hulagu Khan.

 

photo
ILUSTRASI Penyerangan yang dilakukan balatentara Mongol di bawah Hulagu Khan terhadap Baghdad. - (DOK WIKIPEDIA)

Bagai Telur di Ujung Tanduk

Sejak 1257, Hulagu Khan telah menarget Abbasiyah. Untuk mewujudkan rencananya, cucu Genghis Khan itu mempersiapkan kekuatan untuk menyerbu Baghdad. Tidak kurang dari 150 ribu orang pasukan berhasil dikumpulkannya. Di samping itu, para petinggi militer Mongol turut menyertainya.

Antara Januari dan Februari 1258, pengepungan berlangsung terhadap ibu kota kekhalifahan Islam tersebut. Baghdad bagaikan telur di ujung tanduk. Sesudah benteng kota itu bisa dijebol, Hulagu kemudian bertemu dengan raja Abbasiyah saat itu, al-Musta’sim. Keduanya terlibat pembicaraan empat mata.

Tentu, percakapan yang terjadi bukanlah antardua orang pemimpin yang setara. Pada faktanya, yang satu adalah mangsa bagi yang lain. Membuka pembicaraan, Hulagu meminta Khalifah al-Musta’sim untuk menyerahkan kepadanya upeti.

Tidak punya pilihan lain, pemimpin Abbasiyah itu hanya bisa taat. Hulagu kemudian membagikan semua hasil rampasan itu kepada para panglima dan sekutunya. Sang pemimpin Mongol sempat menyaksikan sebuah menara besar di istana Baghdad yang penuh sesak akan harta benda milik al-Musta’sim.

Menurut sejarawan Mesir Ibnu al-Furat (1334-1405), sebagaimana dinukil Justin Marozzi dalam Baghdad: City of Peace, City of Blood (2014), sang khalifah sempat dikurung dan dibiarkan kelaparan selama berhari-hari. Dengan kepayahan, al-Musta’sim memohon air dan makanan. Hulagu kemudian menyuguhkan kepadanya emas, perak, dan berbagai perhiasan di atas beberapa piring sambil berkata,“Makanlah itu semua!”

“Semua ini tidak mungkin bisa dimakan.”

photo
Peta wilayah Dinasti Abbasiyah. - (DOK WIKIPEDIA)

“Lantas, mengapa selama ini kau simpan semuanya untuk kepentingan pribadi? Mengapa tidak kau berikan saja kepada para prajuritmu? Mengapa emas, perak, dan juga pintu-pintu istanamu tidak kau lebur saja untuk menjadi senjata yang bisa kau gunakan untuk menghalau pasukanku?” jawab Hulagu.

Beberapa hari kemudian, al-Mu’tashim dimasukkan ke dalam karung. Dalam kondisi demikian, raja terakhir Abbasiyah itu diinjak-injak sampai tewas oleh kuda pasukan Hulagu. Cara eksekusi demikian sesuai dengan kepercayaan bangsa Mongol yang memandang tabu darah seorang bangsawan tumpah ke tanah.

Sasaran kekejaman mereka tidak hanya kalangan istana, tetapi seluruh penduduk setempat. Pasukan Mongol menghancurkan apa pun yang ditemuinya, termasuk Bait al-Hikmah. Semua buku di perpustakaan tersebut dibenamkan ke Sungai Tigris. Aliran airnya menjadi hitam lantaran endapan tinta.

Ratusan tahun lamanya Baghdad menjadi mercusuar peradaban dunia Islam. Hanya dalam waktu beberapa pekan, pasukan Mongol mengubahnya menjadi sebuah kota mati. Beberapa tokoh Abbasiyah yang berhasil lolos dari maut kemudian tiba di Mesir. Mereka lalu menjadi khalifah “boneka”, dengan kekuasaan eksekutif dipegang Bani Mamluk setempat. Dinasti itulah yang akhirnya sukses menghalau balatentara Mongol dalam Pertempuran Ain Jalut pada tahun 1260.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat