Jeffry Gunawan melalui berbagai perjalanan hijrah sebelum akhirnya menemukan Islam. | DOK IST

Oase

Jeffry Gunawan, Langkah Hijrah Menuju Hidayah

Hidayah datang saat Jeffry terkesan akan kebaikan orang-orang Islam yang dijumpainya.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

 

 

 

Lika-liku perjalanan untuk menggapai hidayah Ilahi, itulah yang dialami seorang aktivis dakwah asal Palu, Sulawesi Tengah, Jeffry Gunawan. Dalam usia muda, dirinya sudah berhijrah dari satu kota ke kota lainnya; berjumpa banyak orang dengan rupa-rupa cerita.

Tentu saja, hijrah terbesarnya adalah meninggalkan agama lamanya untuk menuju Islam. Lelaki yang kini berusia 29 tahun itu lahir di Surabaya, Jawa Timur. Di Kota Pahlawan itulah, dirinya menghabiskan masa anak-anak.

Sejak kecil, Jeffry dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang cukup religius. Kedua orang tuanya tergolong taat dalam beragama. Mereka membesarkan buah hati dengan telaten. Jeff—demikian sapaan akrabnya—menempuh jenjang pendidikan mulai dari taman kanak-kanak (TK) hingga sekolah dasar (SD) di lembaga edukasi swasta yang berhaluan agama dianutnya kala itu.

Begitu naik ke kelas VIII SMP, remaja penyuka dunia otomotif ini harus menerima keputusan ayah dan ibunya. Mereka ingin agar Jeff meneruskan pendidikan di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Inilah perpindahan atau hijrah pertamanya.

Merantau jauh dari rumah tidak terlalu mengecewakan. Sebab, itulah momen untuk berupaya menemukan jati diri dan menjadi dewasa. Selama di NTT, Jeff tinggal di rumah adik lelaki ibunya. Sama seperti ketika di Surabaya, dirinya pun terus belajar dengan tekun. Begitu lulus dari jenjang SMP, ia meneruskan pendidikan ke SMK Jurusan Pariwisata.

Di Sumba Barat, pemuda ini memiliki banyak teman. Tak sedikit di antara mereka adalah Muslim. Untuk kali pertama dalam hidupnya, Jeff tertarik untuk mengamati perbedaan kebiasaan antara penganut Islam dan non-Islam.

 
Untuk kali pertama dalam hidupnya, Jeff tertarik untuk mengamati perbedaan kebiasaan antara penganut Islam dan non-Islam.
 
 

Sebelumnya, ia selalu acuh tak acuh terhadap perbedaan agama. Mungkin, hal itu lantaran dirinya selalu berada di tengah komunitas seagama, semisal di sekolah atau tempat kursus.

Jeff sendiri tidak mempersoalkan perbedaan iman. Ia berteman dengan siapa saja. Begitu pula kawan-kawannya, tidak pernah mempermasalahkan apa agama dirinya.

“Dulu, saya diizinkan untuk mengendarai sepeda motor. Saya jadi sering memboncengkan teman saya, mengantar ke rumah atau tempat main,” kata dia menuturkan ceritanya kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Di antara sahabat-sahabatnya adalah Anto—bukan nama sebenarnya. Keluarganya adalah perantauan asal Malang, Jawa Timur. Sehari-hari, kedua orang tuanya bekerja wirausaha sebagai pedagang soto dan rujak cingur di pinggir jalan.

Ada banyak kenangan Jeff tentang sahabatnya ini. Diam-diam, ia pun kerap memperhatikan bagaimana keseharian Anto bersama dengan orang-orang terdekatnya, umpamanya, ketika sedang bertamu di rumah.

Satu hal yang mengesankannya, tutur Jeff, sahabatnya itu selalu pamit dengan mencium tangan ayah dan ibunya setiap hendak berangkat ke sekolah. Ia tahu kebiasaan itu karena sering menjemputnya dengan sepeda motor karena searah dari rumah ke sekolah. Ibunda Anto pun bersikap ramah terhadapnya.

Tidak jarang, Jeff ditawari makan siang ketika sedang berkunjung ke kios soto tersebut. Perhatian dari keluarga Anto membuat hatinya tersentuh. “Saya merasa, keluarga Muslim begitu santun dan harmonis,” ucapnya mengenang.

 
Saya merasa, keluarga Muslim begitu santun dan harmonis.
 
 

Waktu itu, Jeff masih cukup taat beribadah. Tiap akhir pekan, dirinya menyempatkan diri ke gereja terdekat. Suatu ketika rekan-rekannya di sana memintanya untuk ikut dalam sebuah konser amal. Ia pun didaulat sebagai pemain drum dan belakangan komposer. Dari sanalah, minat dan bakatnya di dunia musik mulai tumbuh.

Jeff pun serius dalam bermusik. Namanya perlahan-lahan mulai dikenal di lingkungan kabupaten setempat. Akhirnya, bermain musik menjadi profesi baginya. Lingkaran pergaulannya pun kian luas. Mengikuti kawan-kawannya, ia pun menato beberapa bagian tangan dan kakinya.

Pada 2010, Jeff lulus dari SMK. Sempat mencari peruntungan di Bali, ia lantas kembali ke NTT, tepatnya Labuan Bajo. Ketika beberapa temannya tekun di dunia kampus sebagai mahasiswa, dirinya justru sempat terseret pergaulan bebas.

“Pekerjaan membawa saya ke dunia hitam dan gelap. Waktu itu, saya jenuh dan sempat berpikir, harus berubah. Jangan setengah-setengah. Karena, dalam hidup saya tidak ada abu-abu. Jika ingin putih, harus lepas dari hitam,” jelas dia.

 
Dalam hidup saya tidak ada abu-abu. Jika ingin putih, harus lepas dari hitam.
 
 

Akhirnya, Jeff meninggalkan sama sekali dunia musik. Sebab, dirinya merasa berkarier di sana tak kunjung membuatnya merasa pasti akan kehidupan. Langkah kakinya tertuju ke Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Demi bertahan hidup, ia mengambil pekerjaan serabutan. Bahkan, cukup lama dirinya berprofesi sebagai tukang bangunan. Siapa sangka, inilah awal mula cahaya hidayah menyinari hatinya.

Sosok Haji Rahmat

Timnya dalam pekerjaan ini terdiri atas lima atau enam orang. Jeff salah satu di antaranya. Tugas mereka membangun rumah dan indekos milik seorang tokoh Muslim setempat, yakni Haji Rahmat. Awalnya, Jeff bersikap biasa-biasa saja terhadap pemilik proyek tersebut.

Namun, suatu hari dirinya mendapati, ada yang aneh dari Haji Rahmat. Lelaki tua itu menyuruh para tukang untuk membuat empat saluran air tepat di depan rumahnya. Keempat keran itu sengaja disediakan gratis bagi siapa pun jamaah yang hendak shalat di masjid. Memang, tempat ibadah itu terletak tak jauh dari rumah sang haji.

Bagi Jeff, tindakan pemilik rumah merupakan kebodohan. Buat apa buang-buang listrik dan air untuk pengguna jalan? Apalagi, halaman rumahnya sering kotor karena diinjak orang yang mau ke masjid?

Karena merasa heran, akhirnya Jeff memberanikan diri untuk bertanya kepada Haji Rahmat. Yang ditanya hanya tersenyum simpul, tidak menjelaskan apa pun.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Mualaf Center Palu (mci.palu)

Karena “proyek empat keran” itu, Jeff pun sering memperhatikan orang-orang yang datang ke sana. Sebelum tiba di masjid, mereka menyempatkan diri untuk berwudhu di depan rumah Haji Rahmat. Biasanya, mereka datang sebelum atau ketika suara keras—yang belakangan diketahuinya sebagai azan—berkumandang dari masjid. Saking seringnya menyaksikan orang-orang itu, terutama saat istirahat bekerja, Jeff pun hafal tata cara berwudhu.

Sebagai tukang bangunan, dirinya mendapatkan upah harian Rp 50 ribu. Sistem yang dipakai adalah borongan sehingga Jeff menerima bayaran tiap akhir pekan. Usai tiga pekan bekerja, upah yang diterimanya dari Haji Rahmat selalu melebihi yang semestinya. Padahal, tidak pernah ia meminta kelebihan itu.

Pada suatu siang Jumat, Haji Rahmat keluar dari pintu rumahnya. Tiba-tiba, pemilik rumah itu menepuk pundak Jeff dari belakang. “’Mengapa kamu jarang shalat Jumat?’ tanya dia begitu. Saya jawab bahwa saya bukan Muslim. Pak Haji langsung meminta maaf ke saya,” ujarnya.

 
'Mengapa kamu jarang shalat Jumat?’ tanya dia begitu. Saya jawab bahwa saya bukan Muslim. Pak Haji langsung meminta maaf ke saya.
 
 

Kejadian itu membuatnya berpikir, ternyata selama ini bos tempatnya bekerja mengira dirinya Muslim. Apakah karena itu Haji Rahmat selalu berbuat baik kepadanya? Pertanyaan itu terus disimpannya dalam hati.

Namun, tiap akhir pekan, gaji yang diterimanya tetap dilebihkan. Jeff pun bertanya kepada bosnya itu, mengapa setelah tahu bahwa dirinya non-Muslim, kelebihan upah tetap diberikan?

“Dia (Haji Rahmat) bilang, karena kejujuran dan melihat saya rajin bekerja melebih kawan-kawan yang lain. Di situ, saya ingat nasihat keluarga, giat bekerja dan jujur adalah kunci datangnya rezeki,” kenang dia.

Interaksi dengan Haji Rahmat dan keluarganya membuat Jeff paham tentang akhlak Islam. Bahkan, bukan hanya itu. Kenangannya bersama Anto, serta keluarganya yang harmonis dan bersahaja, juga membekas dalam benak.

Ia merasa, ajaran Islam mengubah perilaku seseorang menjadi lebih baik terhadap sesama manusia, tak peduli perbedaan agama.

Sebelum meninggalkan Lombok, Jeff memutuskan untuk berislam. Dua kalimat syahadat diucapkannya di sebuah masjid, dengan bimbingan seorang ustaz. Tepat pada Maret 2013, ia resmi menjadi seorang Muslim.

“Namun, saat itu menjadi mualaf sangat sulit bagi saya karena tidak mendapatkan pendampingan bagaimana menjadi Muslim yang baik,” katanya.  

photo
Kini, Jeffry Gunawan aktif dalam organisasi Mualaf Center Indonesia. - (DOK IST)

Menuai Berkah dari Ujian Kehidupan

 

Walaupun sudah beriman, Jeffry Gunawan kala itu masih sering mengabaikan shalat serta kewajiban-kewajiban lainnya. Malahan, pria yang akrab disapa Jeff itu sempat salah pergaulan.

Sebelum terlambat, dia memutuskan untuk merantau ke luar daerah. Kota Ambon, Maluku, menjadi pilihannya berhijrah pada 2015. Semua alat musik dan perabotan miliknya di Labuan Bajo dijual sebagai ongkos perjalanan.

Di atas kapal, ujian besar dirasakannya. Tas tempatnya menaruh uang ternyat disobek orang usil. Nyaris semua uangnya hilang entah ke mana. “Saya hanya punya Rp 75 ribu, sisa ongkos dan makan selama perjalanan. Total Rp 4,8 juta raib diambil pencuri,” ujar dia menuturkan kisahnya kepada Republika baru-baru ini.

Jeff berupaya menghubungi kenalannya yang seorang anak buah kapal (ABK). Orang itu kebetulan mengenal baik pamannya. Sayang sekali, begitu hendak menginap di rumah kawannya itu, kabar kurang mengenakkan datang dari adik ibunya tersebut.

Sang paman seperti kurang menerima keputusan Jeff untuk meninggalkan agama lama. Fitnah pun dilancarkan kepadanya. Jeff dituding telah membawa kabur sejumlah uang puluhan juta rupiah dari rumah keluarganya.

Pemilik tempat Jeff singgah ikut terpengaruh. Alhasil, pemuda ini terusir. Dalam keadaan bingung dan serbasulit, ia melangkahkan kaki tanpa tujuan. Pandangan matanya kemudian melihat pada sebuah masjid. Di Masjid Raya al-Falah itu ia memutuskan untuk tinggal sementara.

Dalam tas yang ditentengnya, hanya terdapat sedikit bekal. Ada pula sebuah buku lusuh, pemberian dari bosnya di proyek Haji Rahmat dahulu. Buku ini berisi panduan dan tuntunan shalat.

 
Setelah membacanya sekilas, barulah Jeff menyadari sebuah amalan bernama shalat tahajud. Ia pun rutin setiap malam melakukan shalat tersebut. 
 
 

Setelah membacanya sekilas, barulah Jeff menyadari sebuah amalan bernama shalat tahajud. Ia pun rutin setiap malam melakukan shalat tersebut. Padahal, waktu itu seharian shalat lima waktu jarang dikerjakannya.

Selama tiga hari “menggelandang” di masjid, dia tak cukup makan. Bahkan, untuk menghilangkan dahaga pun hanya bisa mengandalkan air keran. Akhirnya, seorang jamaah mengulurkan bantuan kepadanya.

“Beliau Pak Rahmat, seorang pegawai negeri, kemudian mengajak saya untuk mencarikan tempat tinggal dan pekerjaan,” tuturnya.

Seorang kenalan Pak Rahmat memiliki rumah makan. Kebetulan, orang itu sedang membutuhkan pekerja. Jeff pun bekerja di sana sebagai tukang cuci piring dan katering. Mulai saat itu, kariernya terus menanjak. Ia pun menjalin hubungan dengan banyak orang. Bahkan, pindah bekerja ke sebuah perusahaan yang cukup bonafid.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Mualaf Center Palu (mci.palu)

Suatu hari, ia mendengar ceramah seorang ustaz di masjid tentang bahaya istidraj. Ia merasa seperti tertampar. Sebab, dalam kemapanan hidup itu dirinya pun masih sering meninggalkan shalat wajib. Setelah bertobat, Jeff memutuskan untuk hijrah ke Palu, Sulawesi Tengah. Sebab, di sana ada sebuah lembaga tempatnya bisa fokus belajar Islam.

Pada Agustus 2018, ia menikah dengan kakak seorang sahabatnya. Sejak awal, Jeff pun selalu berhubungan baik dengan ibunya dan menghormati keputusannya untuk memeluk Islam. Memang, pada mulanya ayahnya tidak menerima keputusannya. Namun, setelah melihat pribadinya yang semakin baik, keluarganya pun lebih senang dengan sosok Jeff saat ini.

Di sela-sela kesibukannya berbisnis kendaraan, Jeff aktif dalam Mualaf Center Indonesia (MCI) cabang Palu. Bahkan, kini dirinya menjabat sebagai Ketua MCI Sulawesi Tengah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat