Budayawan yang juga seorang mubaligh, KH Muhammad Jadul Maula. Menurut pengasuh Pondok Pesantren Kaliopak, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), itu, dalam berdakwah seorang dai niscaya menggunakan pendekatan seni. | DOK IST

Hiwar

KH Muhammad Jadul Maula, Seni Mesti Hadir Dalam Dakwah

Ketika dakwah meninggalkan seni, resonansinya tidak akan semasif seperti yang telah dilakukan wali songo.

Dalam catatan sejarah, syiar Islam memasuki wilayah Indonesia dengan jalan damai. Para perintis dakwah Islam di Nusantara memanfaatkan cara-cara kultural untuk menyampaikan risalah agama ini kepada masyarakat lokal. Menurut seorang budayawan yang juga mubaligh KH Muhammad Jadul Maula, pendekatan budaya terbukti efektif dalam mengislamkan penduduk di Tanah Air.

Sebagai contoh, para wali songo yang membawa Islam ke Tanah Jawa. Sembilan orang tokoh itu kerap menggunakan kesenian sebagai medium dakwah. Dengan demikian, lanjut Kiai Jadul Maula, orang-orang pun tertarik untuk mengenal Islam lebih dekat.

“Jadi, jelas sekali pendekatan seni itu penting dan niscaya. Tidak hanya dalam syiar Islam, melainkan juga di dalam dakwah supaya sampai kepada tujuan-tujuannya,” ujar pengasuh Pondok Pesantren Kaliopak, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), itu.

Ia pun menerapkan metode-metode kultural di lembaga yang dipimpinnya itu. Malahan, Kaliopak akhirnya terkenal sebagai salah satu pesantren seni dan budaya di Indonesia. Pihaknya biasa menggelar pelbagai acara kebudayaan, semisal pameran karya, pertunjukan seni, pembacaan puisi, serta menonton bareng dan diskusi film.

“Pesantren, seperti dikatakan Gus Dur, adalah sebagai subkultur dari masyarakat. Maka pesantren seharusnya tidak terlalu kesulitan dalam menghadirkan seni, selama tujuannya untuk mendukung pendidikan dan dakwah Islam,” ucap alumnus Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.

Berikut wawancara lengkap wartawan Republika, Muhyiddin, bersama sosok yang akrab dipanggil Kang Jadul ini beberapa waktu lalu.

Mengapa seni menjadi sebuah instrumen penting bagi syiar Islam?

Seni dalam pengertian esensialnya adalah keindahan, estetika. Itu sejalan dengan salah satu naluri dasar dari manusia, sebagai ciptaan Allah SWT, Zat yang bersifat Maha Indah. Jadi, seni itu ungkapan rasa manusia akan keindahan. Seni mengomunikasikan perasaan itu kepada sesama manusia yang juga cenderung kepada keindahan. Pada saat bersamaan, seni juga menjadi ungkapan manusia dalam menyelaraskan dirinya dengan alam. Puncaknya adalah upaya mendekatkan diri kepada Tuhan.

Dalam konteks dakwah, seni dalam definisi itu sangat berkaitan erat dengan tujuan ajaran Islam. Yakni, untuk mendidik manusia agar mereka mampu menghayati sifat-sifat jamaliyah (keindahan Tuhan), jalaliyah (keagungan Tuhan), dan kamaliyah (kesempurnaan Tuhan).

Manifestasi dari penghayatan nilai-nilai di atas tecermin dalam perbuatan manusia. Ini yang disebut sebagai akhlak atau budi pekerti. Kita tahu, Nabi kita Muhammad SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia di muka bumi ini. Maka, jelas sekali bahwa pendekatan seni itu penting dan niscaya.

Sejarah perkembangan Islam di Nusantara tak lepas dari medium seni?

Jika kita tarik ke belakangm, sejarah perkembangan Islam di Nusantara tentu tidak bisa dipisahkan dari pendekatan dakwah dengan unsur seni. Begitu lekatnya sampai-sampai seni itu tidak hanya menjadi instrumen, tetapi juga manifestasi atau jalan keagamaan itu sendiri.

Ada beberapa faktor. Salah satunya adalah, generasi pertama pembawa Islam ke Nusantara adalah para wali. Mereka sudah mencapai tingkatan tinggi dalam penguasaan hakikat dari ajaran Islam. Mereka pun menguasai sejarah dan adat-budaya masyarakat sasaran dakwahnya. Alhasil, mereka paham betul strategi budaya dan instrumen-instrumen apa saja yang relevan dengan kondisi penduduk lokal. Apalagi, masyarakat Nusantara saat itu sudah memiliki peradaban dan seni yang tinggi.

Seandainya para mubaligh itu tak memakai pendekatan seni-budaya, bagaimana jadinya?

Tentu akan berbeda jalan ceritanya. Pastinya, perkembangan Islam di Nusantara tidak akan semasif ini. Sebab, intisari dari ajaran Islam yang sangat indah itu tidak sampai meresap dalam kesadaran kolektif masyarakat.

Memakai pendekatan budaya sesungguhnya sangat logis. Sebelum Islam datang, sekitar abad ke-13 terutama, kita sudah merupakan sebuah bangsa yang besar. Kita mempunyai peradaban yang tinggi. Ini tecermin dari peninggalan yang bisa kita saksikan hingga hari ini. Ambil contoh, Candi Prambanan dan Borobudur, dengan relief-reliefnya. Atau, banyak manuskrip dan naskah-naskah kuno.

Makanya, kalau strategi dakwah para wali tidak tepat, Islam pasti tidak akan diterima mayoritas masyarakat Nusantara. Namun, faktanya para wali memiliki kapasitas rohani dan intelektual yang sangat baik. Mereka mampu memeras inti ajaran Islam sebagai dasar untuk menyusun strategi dakwah di Nusantara. Ini tentu menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat kita.

Anda menyebut wali songo sebagai salah satu contoh. Namun, bagaimana cara mereka berdakwah?

Para wali songo peka terhadap ekspresi budaya masyarakat Nusantara. Dan, mereka memahami betul bahwa kesenian memuat tiga hal utama, yaitu tontonan, tuntunan, dan tatanan. Misalnya, pertunjukan wayang kulit yang ada di Jawa. Wayang memuat unsur tontonan. Artinya, dalam pertunjukan tersebut ada dimensi hiburan, menarik sejenak para penontonnya keluar dari realitas persoalan hidup. Wayang bisa menjadi obat kegundahan hati mereka.

Nah, wayang juga memuat unsur tuntunan, yakni mengajak kepada kebaikan. Bahkan, lebih jauh lagi mengajak manusia agar mengenal Tuhannya. Adapun aspek tatanan berarti (wayang) sebagai wujud dari tatanan skala individual (mikrokosmos), sosial (kenegaraan), maupun makrokosmos. Bahkan, metakosmos yang berarti bahwa setiap apa pun yang ada di dunia ini harus dengan aturan yang jelas.

Wali songo memahami semua itu. Contohnya, Sunan Kalijaga. Ia sebagai dalang begitu memikat penonton. Artinya, aspek tontonan dalam wayang pun diperhatikannya. Sunan Kalijaga-lah yang membuat tokoh-tokoh (wayang), seperti Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong. Satu lakon wayang yang digubahnya adalah Jimat Kalimasada yang sebenarnya diambil dari (terinspirasi) dua kalimat syahadat. 

Apa pelajaran yang bisa diambil dari dakwah kultural para wali?

Ada banyak hal. Misalnya, pemaknaan bahwa dalam seni itu ada tatanan. Wayang, misalnya, ada batasan-batasan yang bila dituruti maka akan menghasilkan harmoni. Itu (batasan) dikenal sebagai pakem. Pakem itu kalau diibaratkan dengan kondisi masyarakat, maka seperti syariat agama.

Dengan menonton wayang sebagai medium dakwah, kita tidak seperti mendengarkan ceramah agama hari-hari ini yang metode umumnya hanya nasihat-nasihat verbal normatif. Dengan kesenian, dakwah disampaikan dengan berbagai instrumen. Mulai dari cerita, tata panggung, suara tabuhan gamelan, dan tata artistiknya.

Para penonton pun tidak seperti dinasehati secara langsung. Akan tetapi, mereka terpantik pikiran, perasaan, dan imajinasinya untuk merenungi esensi terdalam dari ajaran agama. Itulah yang dilakukan para wali, yang salah satu tokoh utamanya adalah Sunan Kalijaga. Sekali lagi, seni adalah bagian paling halus dan subtil dari manusia dan kemanusiaan. Ketika dakwah meninggalkan seni, resonansinya tidak akan semasif seperti yang telah dilakukan wali songo dan ulama-ulama terdahulu.

Bagaimana pesantren menghadirkan seni untuk pendidikan dan dakwah Islam?

Pesantren, seperti dikatakan Gus Dur, adalah sebagai subkultur dari masyarakat. Maka pesantren seharusnya tidak terlalu kesulitan dalam menghadirkan seni, selama tujuannya untuk mendukung pendidikan dan dakwah Islam. Sebab, pesantren tumbuh dan hadir di tengah masyarakat itu sendiri. Pesantren semestinya lebih mengetahui apa-apa yang dibutuhkan mereka.

Jika kita ingin menghadirkan seni dalam pesantren, yang mesti dilakukan terlebih dahulu adalah dekatkanlah pesantren itu terhadap realitas masyarakatnya. Dengan begitu, kita menjadi tahu apa yang dibutuhkan masyarakat. Sebab, tiap daerah memiliki kebutuhan yang jelas berbeda-beda. Disadari atau tidak, kesenian di tengah masyarakat juga merupakan ekspresi terdalam dari karakteristik mereka.

Pesantren semestinya bisa mengadopsi kesenian yang ada untuk dijadikan sebagai medium dakwah Islam. Malahan, itu bisa dilakukan dengan tidak meninggalkan kesenian yang memang sudah berkembang di tengah masyarakat. Cara ini sebenarnya lazim dilakukan banyak pesantren tua pada zaman dulu, khususnya di pelosok-pelosok desa di Jawa.

Pesantren tidak hanya sebagai ruang pendidikan formal keagamaan, tetapi juga laboratorium kebudayaan yang di dalamnya mengajarkan kesenian, tata sosial/politik masyarakat, sampai hal-hal teknis—seperti pertanian dan perdagangan.

Batasan haram dan halal dalam seni menurut Islam?

Hukum asal kesenian itu adalah mubah, yakni boleh. Seni menjadi halal ataukah haram tergantung pada niat dan praktiknya. Selama tidak melanggar prinsip-prinsip dasar syariat Islam, seni itu sah-sah saja dilakukan. Malahan, bisa bernilai sunah. Barang yang halal bisa menjadi haram jika niatnya salah. Begitupun sebaliknya.

Memang, masih banyak perdebatan. Misalnya, dalam musik. Di antara para ulama, ada yang membolehkan. Ada pula yang tidak membolehkannya. Perdebatan itu biasa dalam hukum Islam.

Ketika kesenian diperuntukan untuk mengajak orang agar lebih mengenali dirinya, sesamanya, serta lingkungan alam sekitarnya, maka kesenian itu adalah salah satu wujud dari kebaikan. Begitu pula ketika seni membawa orang agar lebih dalam mengenal hakikat kehidupan, hakikat Penciptanya—yaitu Allah SWT—sehingga sampailah dia pada kesadaran untuk membentuk tatanan masyarakat yang damai-harmonis, maka itu adalah wujud dari kebaikan.

Jika kita melihat kesenian semata-mata dalam norma “hitam dan putih”, pemaknaan itu malah tidak ketemu. Memang seharusnya ketika kita membicarakan kesenian, sampai kepada aspek hakikatnya.

Artinya, mesti melihat pada esensi kesenian itu?

Persisnya begitu. Bahwa pada esensinya, kesenian adalah buah dari upaya manusia dalam mewujudkan potensi-potensi keindahan yang tertanam dalam dirinya. Itu dilakukan baik secara jasmani maupun rohani. Dengan begitu, bisa menghibur, menyenangkan, dan membahagiakan orang lain atau sesamanya.

Menyenangkan orang lain termasuk inti dari akhlak mulia sesuai dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Kalau dihubungkan dengan jati diri pesantren sebagai institusi pendidikan keagamaan, maka jangan mengambil jarak dengan kesenian. Kalau berjarak dengan (kesenian) yang tumbuh di tengah masyarakatnya, maka pada akhirnya pesantren akan semakin menjauh dari ruhnya sebagai bagian dari institusi besar bernama masyarakat itu sendiri.

photo
Budayawan yang juga seorang mubaligh, KH Muhammad Jadul Maula. Menurut pengasuh Pondok Pesantren Kaliopak, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), itu, dalam berdakwah seorang dai niscaya menggunakan pendekatan seni. - (DOK IST)

Ikhtiar Meneruskan Ajaran Wali Songo

Secara geografis, Kali Opak membelah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi dua bagian, timur dan barat. Aliran sungai tersebut menimbulkan kesuburan bagi tanah-tanah di sekitarnya. Masyarakat setempat memanfaatkannya untuk berbagai kebutuhan, mulai dari pertanian, irigasi, hingga pariwisata.

Budayawan yang juga mubaligh asal DIY, KH Muhammad Jadul Maula, terinspirasi keindahan Kali Opak. Karena itulah, ia sengaja menamakan sebuah lembaga pendidikan yang didirikannya pada 2004 lalu sebagai Pondok Pesantren (Ponpes) Kaliopak. Pesantren ini berlokasi di Desa Klenggotan, Jalan Wonosari Kilometer 11, Bantul, DIY—persis di pinggiran sungai tersebut.

Berbeda dengan pondok-pondok pesantren pada umumnya, Ponpes Kaliopak meniti jalan di ranah kebudayaan. Karena itu, orang-orang sering menyebutnya sebagai “pesantren budaya.” “Ini karena aktivitas dan kegiatannya di dalam ponpes ini, setidaknya selama 11 tahun belakangan, selalu berhubungan dengan kesenian dan kebudayaan,” ujar Kiai Jadul kepada Republika, baru-baru ini.

Dapat dikatakan bahwa Ponpes Kaliopak menjadi salah satu pionir dalam menghidupkan kembali pendekatan seni untuk syiar Islam di Tanah Air. Menurut aktivis Nahdlatul Ulama (NU) itu, kesenian bisa menjadi jalan untuk memanggil orang-orang agar bersedia menghayati kehidupan.

Apalagi, di tengah arus pendangkalan kehidupan lantaran inflasi informasi dan materialisme di segala aspek. Tentunya, Kaliopak juga terus berupaya merawat dan mengembangkan berbagai ekspresi kesenian yang mungkin selama ini luput dari perhatian.

“Hal ini mungkin cara kita untuk meneruskan ajaran para wali songo, penyebar Islam pada masa-masa awal. Dalam dakwah para wali, sebenarnya tidak bisa dipisahkan (dakwah) dengan kebudayaan dan kesenian,” kata lulusan UIN Sunan Kalijaga itu.

Selain sibuk mengurus pesantren, Kiai Jadul juga mendapatkan amanah dari para kiai NU untuk mengurus Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi). Dalam sejarah organisasi NU, Lesbumi sempat “mati suri” tatkala Orde Baru berkuasa. Barulah pada zaman Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, lembaga tersebut dihidupkan lagi, khususnya pasca-Muktamar NU tahun 2001 di Kediri, Jawa Timur.

Lesbumi Pengurus Wilayah NU DIY baru dibentuk pada periode 2007-2012. Pada tengah masa tersebut, dirinya ditunjuk menjadi ketuanya. Sejak 2010 hingga kini, Kiai Jadul berposisi sebagai wakil ketua Lesbumi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

“Oleh karena itu, saya menjadikan Ponpes Kaliopak ini sekaligus sebagai laboratorium seni budaya-nya Lesbumi. Sebagai wahana diskusi, belajar berekspresi, kaderisasi, koordinasi serta mengembangkan komunikasi dan jaringan kerja sama (Lesbumi) dengan berbagai komunitas kajian dan kebudayaan,” jelasnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat