Dr Anwar Harjono merupakan seorang pendakwah sekaligus politikus. Seperti umumnya tokoh-tokoh Masyumi yang lahir pada awal abad ke-20, pendiri Gerakan Pemuda Islam Indonesia itu dikenal sebagai pribadi yang bersahaja. | DOK GPI

Mujadid

Dr Anwar Harjono: Mujahid Dakwah, Demokrat Sejati

Anwar Harjono mendirikan Gerakan Pemuda Islam Indonesia pascakemerdekaan RI.

OLEH HASANUL RIZQA

 

 

Harjono lahir pada 8 November 1923 di Krian, Sidoarjo, Jawa Timur. Keluarganya menetap di Kauman, sebuah kawasan yang juga dikenal sebagai kampung santri di daerah tersebut.

Ayahnya, Sumoprawoto alias Tamsir, merupakan seorang pegawai negeri, tetapi pada akhirnya menjadi aktivis Sarekat Islam (SI). Pada awal abad ke-20, gelombang kebangkitan nasional sedang mengemuka di Indonesia, termasuk yang mengusung semangat persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah).

Dari ayahnya, Harjono sejak kecil menyerap semangat perjuangan. Terlebih lagi, rumahnya kerap menjadi tempat diskusi tokoh-tokoh SI lokal yang membahas pelbagai masalah keumatan dan kebangsaan. Dengan mendengar perbincangan mereka, meskipun secara sepintas lalu, pelan-pelan jiwa anak lelaki itu mulai terbina untuk berprinsip demokratis, membela keadilan, dan anti-penjajahan.

Tamsir memilih untuk memasukkan putranya itu ke sekolah lokal, alih-alih sekolah formal bentukan pemerintah kolonial Belanda. Harjono kecil pun mengenyam pendidikan dasar di sekolah Taman Siswa yang berlokasi di Mojokerto.

Berbeda dengan sekolah Belanda, yang di dalamnya para murid harus memanggil guru-guru mereka sebagai tuan (meneer), sekolah Pribumi seperti Taman Siswa justru berkarakteristik lebih demokratis. Para guru disapa dengan sebutan hangat, seperti mas atau mbak (untuk yang masih muda) dan pak atau ibu (untuk orang tua).

 
Oleh orang tuanya, Harjono dididik untuk memandang orang secara setara.
 
 

Oleh orang tuanya, Harjono dididik untuk memandang orang secara setara. Yang membedakan antarmanusia bukanlah warna kulit, ras, atau keturunan, melainkan ilmu yang bermanfaat di tengah masyarakat serta ketakwaannya kepada Allah SWT. Karena itu, sejak kecil dirinya tidak pernah ikut-ikutan merendah di hadapan penguasa. Sebagai contoh, suatu peristiwa yang terjadi tatkala Harjono masih duduk di kelas VI sekolah dasar.

Waktu itu, ia dalam perjalanan menuju Pacitan. Begitu singgah di Surakarta, Harjono berpapasan dengan rombongan Sunan Pakubuwono X yang hendak pergi ke Bandung. Aparat kepolisian menyuruh orang-orang untuk duduk dan membungkukkan badan demi menghormati sang raja.

Hanya mereka di bagian belakang yang diperbolehkan berdiri. Menyadari hal itu, Harjono memilih untuk berdiri di belakang. Dengan sikap demikian, ia menegaskan sikap demokratisnya, alih-alih turut dalam karakteristik feodal.

Tujuh tahun lamanya Harjono menimba ilmu di Taman Siswa. Setelah lulus, ia pun melanjutkan rihlah keilmuannya ke Malang, tepatnya pada Sekolah Mu’alimin Muhammadiyah. Hal itu atas restu ayahnya sendiri.

Beberapa tahun di sana, pihak Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memindahkan lokasi sekolah tersebut ke Yogyakarta. Tujuannya untuk lebih mengintensifkan kaderisasi agar lebih dekat dengan kantor pusat organisasi tersebut. Harjono menjadi salah seorang murid yang ikut pindah ke sana.

Selama di Mu’alimin Yogyakarta, anak aktivis SI itu semakin giat belajar. Keaktifannya tidak hanya di dalam kelas, melainkan juga organisasi pelajar. Umumnya murid-murid sekolah tersebut digembleng agar menjadi kader-kader Muhammadiyah yang andal di masa depan, baik secara teori maupun praktik.

Untuk menempuh studi di sana, mereka harus menyelesaikannya selama lima tahun. Harjono pun lulus dengan nilai yang memuaskan pada 1942, tepat ketika Jepang masuk ke nusantara.

Setamat dari Mu’alimin, ia berkhidmat di lingkungan persyarikatan, yakni sebagai guru di HIS Muhammadiyah. Bagaimanapun, pekerjaan itu tak begitu lama ditekuninya. Sebab, semangat untuk terus melanjutkan pendidikan masih membara dalam dadanya.

Ia kemudian masuk ke Sekolah Menengah Tinggi (SMT) Surabaya, Jawa Timur. Bahkan, ia berhasil membuktikan kemampuan dirinya sehingga tidak perlu menempuh kelas I. Kepala sekolah setempat mengizinkannya untuk langsung duduk di kelas II.

Namun, restu dari sang kepala sekolah harus disertai izin tertulis dari departemen pendidikan yang berpusat di Jakarta. Harjono pun pergi ke Ibu Kota untuk mengurus hal itu. Sayangnya, perizinan yang dikehendakinya tidak direstui otoritas terkait.

Karena kecewa, ia pun menyatakan keluar dari SMT dan menetap di Jakarta untuk sementara waktu. Selama di sana, ia bekerja sebagai staf perpustakaan Biro Pusat Statistik atau Gunseikanbu Soomubu Chosashitsu (GSC). Di samping itu, putra daerah Sidoarjo ini juga mengambil kursus bahasa Jepang.

Sebenarnya, Harjono muda cukup menikmati pekerjaannya di GSC. Namun, pemerintah pendudukan Jepang memberlakukan macam-macam aturan yang mengekang kebebasan rakyat, termasuk pegawai negeri dari kalangan pribumi. Salah satunya ialah seikeirei, yakni upacara menghormati Kaisar Tenno Heika yang dianggap orang-orang Jepang sebagai titisan dewa matahari.

Caranya dengan membungkukkan badan dan menghadap ke arah timur laut saat matahari terbit. Upacara demikian jelas-jelas melanggar syariat Islam, yang melarang manusia bersujud menyembah kepada selain Allah SWT.

 
Harjono sejak kecil dididik dengan pengajaran agama yang kuat. Tak mengherankan bila dirinya memiliki jiwa tauhid yang teguh.
 
 

Harjono sejak kecil dididik dengan pengajaran agama yang kuat. Tak mengherankan bila dirinya memiliki jiwa tauhid yang teguh. Tanpa perlu berlama-lama, ia pun keluar dari GSC.

Selanjutnya, pemuda ini hijrah ke Jombang, Jawa Timur, untuk menimba ilmu di Pondok Pesantren Tebuireng. Kala itu, lembaga tersebut sedang mengalami pembenahan dan pembaruan di bawah arahan KH Abdul Wahid Hasyim, putra sang pendiri Tebuireng, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.

Mendengar informasi tersebut, Harjono pun semakin bersemangat untuk berkiprah di sana. Begitu pula dengan Kiai A Wahid Hasyim. Ayahanda KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu senang sekali dengan kedatangan Harjono. Pemuda ini kemudian diminta untuk mengajarkan kemampuan berbahasa Jepang kepada para santri setempat. Bahkan, dirinya juga terlibat dalam perancangan kurikulum baru dan menggiatkan disiplin di pondok itu.

 
Maka sejak nyantri di Tebuireng, namanya berubah menjadi “Anwar Harjono”.
 
 

Berbagai dinamika dialaminya. Banyak yang mendukungnya, tetapi ada pula yang kontra terhadapnya. Salah satu pengkritiknya sempat membuatnya kurang percaya diri. Sebab, namanya—Harjono—dinilai tidak ada “nuansa” khas santri. Sindiran itu membuatnya untuk menambahkan sebutan “Anwar” di depan namanya. Maka sejak nyantri di Tebuireng, namanya berubah menjadi “Anwar Harjono”.

Pada Juli 1945, sejumlah tokoh nasional mengumumkan pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Harjono sangat ingin menjadi mahasiswa di sana. Keinginan itu lantas diutarakannya kepada Kiai Wahid Hasyim, yang kemudian mendukung niatnya tersebut.

Di kampus yang menjadi cikal bakal Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu, ia bertemu dengan mantan direktur Mu’allimin Yogyakarta, KH Abdoel Kahar Moezakir yang saat itu menjadi rektor STI. Kiai Moezakir heran tatkala melihat biodata mantan muridnya itu. Sebab, kini di depan namanya ada tambahan “Anwar”—sesuatu yang dahulu belum ada.

Aktif di politik

Pada 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan di Jakarta. Anwar Harjono turut serta dalam gelombang pemuda nasionalis yang mempertahankan kedaulatan negeri. Bersama kawan-kawannya, ia mendirikan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) pada 2 Oktober 1945. Ketuanya saat itu ialah Harsono Tjokroaminoto, sedangkan dirinya duduk sebagai sekretaris umum. Barulah lima tahun kemudian, ia didaulat memimpin pergerakan tersebut.

GPII merupakan salah satu unsur pendukung Partai Masyumi. Tak mengherankan bila pada akhirnya keaktifan Harjono juga terjadi di partai berlambang bulan sabit-bintang itu. Inilah langkah awalnya terjun ke dunia politik.

Riwayat Masyumi dipenuhi berbagai peristiwa. Pada 1958, sejumlah tokoh inti partai itu terlibat dalam peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). PRRI sesungguhnya diarsiteki sejumlah panglima daerah, tetapi mereka memiliki kesamaan pemikiran dengan para politikus sipil.

Salah satu intinya, memandang Presiden Sukarno telah melanggar konstitusi saat itu karena menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur kabinet. Apalagi, Bung Karno memberi angin segar bagi Partai Komunisme Indonesia (PKI) dan menganaktirikan daerah dalam pembangunan nasional.

Pada 1960, Bung Karno mengeluarkan keputusan yang memaksa Masyumi untuk membubarkan diri kalau tidak ingin dicap sebagai sebuah organisasi terlarang. Keputusan presiden (keppres) tersebut tentunya disambut girang PKI yang kerap mengaitkan PRRI dengan partai Islam itu.

Waktu itu, Harjono berperan sebagai juru bicara Masyumi dan duduk di DPR sebagai seorang legislator dari fraksi partai tersebut. Setelah Masyumi dibubarkan paksa, ia kembali meneruskan studi pendidikan tinggi. Di Universitas Islam Jakarta, dirinya mengambil program sarjana hukum. Bahkan, beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 1968 ia berhak menyandang titel doktor hukum.

Meski bukan lagi “orang politik” dalam pengertian formal, rezim masih memburunya bersama para figur Masyumi lain. Tepat di hari pembukaan Games of the New Emerging Forces (Ganefo), 10 November 1963, dia ditangkap aparat. Dalam dua setengah bulan pertama, ia bersama sejumlah kawannya ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) Jakarta. Statusnya kemudian menjadi tahanan kota. Para tokoh Masyumi ini baru bisa bebas setelah Orde Lama tumbang.

photo
Tiga tokoh pimpinan Dewan Dawah Islamiyah Indonesia (dari kiri ke kanan): M Yunan Nasution, Dr Anwar Harjono, dan Mohammad Natsir. - (DOK REPRO Buku Biografi Dr Anwar Harjono)

Teladan Moralitas Politik

Usainya Orde Lama tidak lantas membuka ruang bagi tokoh-tokoh Masyumi untuk kembali berkiprah di ranah politik. Di era Presiden Soeharto, Dr Anwar Harjono dan kawan-kawan sempat hendak memulihkan Partai Masyumi. Namun, upaya tersebut gagal karena penguasa Orde Baru itu menentangnya.

Para tokoh Masyumi lantas mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. Bila dahulu Harjono telah “membuktikan diri” sebagai demokrat sejati, kini saatnya berkiprah menjadi mujahid dakwah.

Ya, tatkala rezim Sukarno berkuasa, ia turut serta dalam pendirian Liga Demokrasi, yang menentang berbagai praktik nirkonstitusional yang dilakukan sang penguasa Orde Lama, semisal pembubaran DPR hasil pemilihan umum. Liga Demokrasi dibubarkan paksa oleh Bung Karno pada 1961.

Sebelum ikut dalam Dewan Da’wah, Harjono sempat terlibat dalam pendirian Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada 1967. Namun, eksistensi Parmusi terus dihegemoni Orde Baru. Ia pun meletakkan jabatan sebagai ketua partai tersebut dan bergabung dengan Mohammad Natsir dan kawan-kawan di Dewan Da’wah.

Aktivitas politik kembali digelutinya saat menandatangani Petisi 1950. Itu adalah ungkapan keprihatinan atas sentralisme kekuasaan yang dijalankan Orde Baru. Barulah pada April 1996, ia nonaktif dari Petisi '50. Bagaimanapun, rezim tetap mencurigainya. Dewan Da’wah pun kerap dituding sebagai “sarang fundamentalis” hanya karena berseberangan dengan pemerintah.

Pada 1989, ia bersama tokoh-tokoh umat Islam lainnya mendirikan Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI). Melalui FUI, kalangan tradisionalis dan modernis Islam dapat duduk bersama membicarakan persoalan-persoalan umat. FUI lantas melahirkan Badan Koordinasi Umat Islam (BKUI), cikal-bakal Partai Bulan Bintang (PBB). Sebagai sesepuh PBB, Anwar Harjono selalu menekankan pentingnya moralitas untuk dimiliki setiap insan politikus Muslim.

 
Anwar Harjono selalu menekankan pentingnya moralitas untuk dimiliki setiap insan politikus Muslim.
 
 

Baginya, kepentingan umat dan bangsa selalu menjadi yang utama. Karena itu, bekerja sama dengan lawan politik pun tidak mengapa asalkan demi kepentingan utama tersebut. Ia mencontohkan bagaimana Pak Natsir yang baru saja selesai menjalani hukuman rezim Orde Lama diminta oleh Orde Baru untuk membantu pemulihan hubungan RI-Malaysia. Hubungan dua negara itu sempat tegang ketika Orde Lama menjalankan kampanye “Ganyang Malaysia”.

Tidak hanya Malaysia, Natsir pun membantu pemerintah untuk mendapatkan bantuan dari Jepang dan Arab Saudi. Inilah yang dimaksud dengan moralitas politik seorang demokrat sejati.

Dalam kehidupan sehari-hari, Harjono selalu hidup bersahaja. Bapak sembilan anak ini jauh dari kesan ambisius terhadap jabatan, bahkan ketika berbagai kesempatan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia wafat di Jakarta pada 16 Februari 1999 akibat penyakit stroke serta asma yang telah lama dideritanya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat