Hikmah Republika Hari ini | Republika

Hikmah

Mencintai Rasulullah

Adakah kebahagiaan yang melebihi dirindu dan dinanti Sang Kekasih, Rasulullah SAW?

Oleh MAKMUN NAWAWI

OLEH MAKMUN NAWAWI

Suatu hari, ketika Rasulullah SAW tengah duduk bersama para sahabatnya, beliau melemparkan pandangannya yang penuh sayang ke batas cakrawala yang jauh dengan tatapan yang penuh gelora cinta dan sukacita, seraya berucap, “Semoga saya bisa menemui segenap kekasih saya.”

Para sahabat pun bertanya, “Bukankah kami ini kekasih-kekasihmu?”

“Bukan, kalian adalah sahabatku, sedang kekasihku adalah suatu kaum yang datang setelah kalian. Mereka mengimaniku sebagaimana kalian mengimaniku; mereka mencintaiku sebagaimana kalian juga mencintai aku, meski mereka tidak melihat aku. Maka aku berharap, semoga aku bisa menemui mereka.”

Ujaran Nabi ini sungguh melambungkan optimisme dan kebahagiaan yang besar bagi kita yang merembes ke seluruh relung dan rongga dada terdalam kita. Kini, Sang Rasul sudah tiada, tidak berada di tengah-tengah kita, dan kita pun tak bisa hidup bersamanya. Tidak seperti para sahabat, kita tidak bisa bercengkerama bersama Nabi dengan syahdu dan indah.

Maka, dengan ungkapan di atas, segenap kesedihan dan kerinduan yang menggebu pada Sang Rasul pun luruh karena kini Nabi tengah menanti dan menyambut kedatangan kita dengan setia. Adakah kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan ini, dirindu dan dinanti Sang Kekasih, Rasulullah SAW?

Guna mendaki maqam dan meraih posisi spesial di sisi Rasulullah SAW ini, tentu tidak sembarang orang mendapatkannya. Namun, harus ada pertautan atau chemistry spiritual antara kita dengan beliau. Jangan sampai, hubungan cinta kita dengan Rasulullah bertepuk sebelah tangan.

Bila kita sudah rela berkorban demi meraih cinta dan simpati seseorang, lantas pengorbanan apa yang sudah kita persembahkan untuk meraih cinta Rasul? Sementara, syariat yang dibawanya dianggap sudah basi dan kehilangan aktualitas, sunah-sunahnya enggan dijalankan, ketika nama beliau disebutkan saja, malas menjawab dengan shalawat kepadanya, apalagi menjadikan shalawat kepada beliau sebagai wirid?

Mencintai Rasulullah, seyogianya beliau SAW terus memberi napas bagi sepanjang kehidupan kita. Dalam tidur dan terjaga kita, dalam profesi kita, dalam makan kita, dalam duduk, dalam diam dan bicara kita, dalam kesendirian dan keramaian, dalam interaksi sosial dan ritual ibadah kita.

Semua ini bukan hanya indikasi dari cinta tulus kita kepada Sang Rasul, melainkan juga menjadi terapi untuk merawat cinta itu sendiri. Dengan begitu, semoga kita pun bisa mereguk manisnya iman, sebagaimana yang disabdakan beliau.

“Ada tiga hal, barang siapa yang berada di dalamnya, maka ia akan menemukan manisnya iman, (yaitu) Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya ketimbang lainnya, mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan benci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka.” (HR Muslim).

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat