IKHWANUL KIRAM MASHURI | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Tiga La Sudan Menjadi Tiga Na’am

Perubahan ‘tiga La’ menjadi tiga Na’am langsung ditolak keras oleh para pemimpin Palestina.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI

Normalisasi hubungan Sudan dengan Israel yang diumumkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump di Gedung Putih, Jumat lalu (23/10), sesungguhnya tidak mengejutkan, terutama bagi pemerhati Timur Tengah. Tanda-tanda ke arah itu sudah terlihat sejak penandatanganan normalisasi hubungan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain dengan Israel pada pertengahan September lalu (15/9/2020). 

Sesudah penandatanganan normalisasi itu, sejumlah pejabat tinggi AS pun mondar-mandir ke Khartum, ibu kota Sudan. Termasuk Menlu AS Mike Pompeo. Kunjungan mereka diperkirakan untuk ‘menekan’ Sudan menjadi negara Arab berikutnya yang akan menormalisasi hubungan dengan Israel. Apalagi kunjungan itu disusul dengan berbagai pertemuan penting lainnya, yang melibatkan para pejabat tinggi AS, Sudan, Israel, dan UEA. 

Gayung pun bersambut. Intinya, Sudan setuju terhadap normalisasi hubungan dengan Israel disertai beberapa syarat. Antara lain AS bersedia menghapus Sudan dari daftar negara sponsor terorisme dan memberi kekebalan dari setiap tuntututan hukum di AS.

Selanjutnya, negara-negara terkait harus berkomitmen membantu Sudan keluar dari krisis ekonomi dan kemanusiaan yang kini dihadapinya. Di sinilah peran penting UEA sebagai negara donor yang akan memberi bantuan ekonomi.

 
Bagi Sudan, penghapusan dari daftar negara teroris sangat penting karena akan membukan pintu bagi kembalinya negara itu ke komunitas internasional.
 
 

Bagi Sudan, penghapusan dari daftar negara teroris sangat penting karena akan membukakan pintu bagi kembalinya negara itu ke komunitas internasional, sistem keuangan dan perbankan global, serta investasi regional dan internasional. Sedangkan syarat harus membayar 300 juta dolar sebagai kompensasi kepada keluarga AS yang terbunuh dalam serangan terhadap Kedubes AS di Nairobi (Kenya) dan Dar es Salam (Tanzania) pada 1998, juga tidak menjadi masalah bagi Sudan. Ada negara pendonor.

Serangan terhadap sasaran Amerika itu dilakukan kelompok teroris Alqaidah yang dilindungi Sudan, menewaskan ratusan warga AS. Pada 1998 Amerika mengenakan sanksi ekonomi kepada Sudan karena dianggap sebagai negara sponsor terorisme.

Waktu itu Sudan dipimpin Presiden Jenderal Umar Bashir, yang juga dituduh oleh Mahkamah Pidana Internasional sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan. Ia kemudian dijatuhkan oleh revolusi rakyat setahun lalu. Sudan kini dipimpin Presiden Majelis Transisi Jenderal Abdul Fattah Burhan dan Perdana Menteri Abdullah Hamdok.

Sudan yang berpenduduk sekitar 41 jiwa ini sebenarnya negara kaya. Negara Arab di Afrika Utara— berbatasan dengan Mesir di Utara, Laut Merah di timur laut, Eritrea di timur, Ethiopia di tenggara, Afrika Tengah di barat daya, Chad di barat, dan Libia di barat laut—ini menjadi miskin lantaran dipimpin presiden yang korup bin diktator-otoriter selama 30 tahun. 

Ekonomi negara ini semakin memburuk ketika berlangsung aksi unjuk rasa besar-besaran selama berbulan-bulan untuk melengserkan rezim Presiden Bashir yang dituduh tidak becus mengurus negara. Kini tugas Presiden Burhan dan PM Hamdok yang memimpin Majelis Transisi Negara Sudan pun semakin berat dengan terjadinya banjir besar beberapa waktu lalu. Akhirnya mereka pun menyambut baik tawaran normalisasi hubungan dengan Israel, yang didahului penghapusan Sudan dari daftar negara teroris oleh Presiden Trump.

 

 
Perjanjian normalisasi hubungan kedua negara memuat sejumlah komitmen dan kewajiban. Beberapa di antaranya bilateral dan beberapa lainnya terkait dengan pihak-pihak dalam perjanjian.
 
 

 

Trump menyatakan, Sudan kini telah mengakhiri era sanksi dan ketegangan yang pahit dengan Amerika. Dalam pembicaraan virtual dengan Presiden Burhan, PM Hamdok, dan PM Benjamin Netanyahu, Jumat lalu, ia menyampaikan dua hal sekaligus: penghapusan Sudan dari daftar negara teroris, lalu normalisasi hubungan dengan Israel. 

Ia yakin beberapa negara Arab lain akan menyusul Mesir, Yordania, UEA, Bahrain, dan Sudan yang telah lebih dulu menormalisasi hubungan dengan negara Zionis itu. Ia mempekirakan minimal lima negara akan menjalin hubungan dengan Israel dalam waktu dekat.

Perjanjian normalisasi hubungan kedua negara memuat sejumlah komitmen dan kewajiban. Beberapa di antaranya bilateral dan beberapa lainnya terkait dengan pihak-pihak dalam perjanjian — Sudan, Israel, dan AS sebagai inisiator, fasilitator, dan sponsor. Antara lain kedua belah pihak sepakat mengakhiri permusuhan dan ikut menciptakan perdamaian di kawasan, menjalin kerja sama di bidang teknologi, pertanian, penerbangan, imigrasi, dan lainnya. 

Selanjutnya, AS akan mengambil langkah-langkah untuk memulihkan kekebalan kedaulatan Sudan, dan melibatkan mitra internasionalnya untuk mengurangi beban utang Sudan. Amerika juga berkomitmen untuk membantu Sudan mendiskusikan tentang keringanan utang, sejalan dengan inisiatif Negara-nNegara Miskin Berutang Berat (HIPC/the Heavily Indebted Poor Countries). HIPC adalah grup yang terdiri dari 37 negara berkembang dengan tingkat kemiskinan dan utang tertinggi, yang layak menerima bantuan khusus dari Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.

Berikutnya, Amerika dan Israel pun berkomitmen untuk bekerja dengan para mitranya bagi membantu memperkuat demokrasi Sudan, meningkatkan ketahanan pangan, memerangi terorisme dan ekstremisme, serta membantu memaksimalkan potensi ekonomi rakyat negara itu.

Dengan diumumkannya normalisasi hubungan dengan Israel, maka tiga La alias tsalatsatu La-at  (tiga ‘tidak’) Sudan otomatis berubah menjadi tiga Na’am (tiga ‘ya’). Tiga La ini merujuk pada KTT Liga Arab yang digelar di Khartum, ibu kota Sudan, beberapa hari setelah Arab kalah perang melawan Israel pada 1967.  Perang ini telah menyebabkan pendudukan Israel atas Tepi Barat dan Jalur Gaza (Palestina), Dataran Tinggi Golan (Suriah), dan Sinai (Mesir). 

KTT Liga Arab pada saat itu mengadopsi keputusan tegas dengan mengeluarkan deklarasi tiga La-at alias tiga ‘tidak’. Yaitu: la shulkh, la tafawudh, la i’tiraf bi-Israil—tidak ada rekonsiliasi, tidak ada negosiasi, dan tidak ada pengakuan atas Israel.

 

 
Bila yang terpilih adalah Donald Trump, maka kebijakan yang sangat agresif mendukung kepentingan Israel akan tetap berlangsung.
 
 

 

Perubahan ‘tiga La’ menjadi tiga Na’am langsung ditolak keras oleh para pemimpin Palestina. Mereka menyatakan normalisasi hubungan Sudan dengan Israel merupakan tusukan baru bagi rakyat Palestina dan juga pengkhianatan atas perjuangan bangsa Palestina.

Mereka juga menegaskan, setiap normalisasi hubungan dengan Israel bertentangan dengan Inisiataif Perdamaian Arab yang disetujui KTT Liga Arab, Organisasi Kerja-sama Islam, dan masyarakat internasional. 

Inisiatif Perdamaian Arab digagas Arab Saudi, berintikan ‘solusi dua negara—Palestina dan Israel—, dengan perbatasan Israel kembali sebelum perang tahun 1967, dan Yerusalem Timur sebagai ibukota Palestina’.

Palestina tidak sendiri. Iran dan Turki juga mengecam keras normalisasi hubungan dengan Israel -- sekarang Sudan dan sebelumnya UEA dan Bahrain. Maka, di Timur Tengah kini terbentuk dua blok ekstrem: mereka yang pro menjalin hubungan dengan Israel dan yang kontra. Perubahan geopolitik ini tak terlepas dari peran Presiden Donald Trump yang kebijakan-kebijakannya sangat agresif, termasuk di Timur Tengah. 

Kita masih menunggu hasil pemilu Presiden Amerika pada 3 November mendatang. Bila yang terpilih adalah Donald Trump, maka kebijakan yang sangat agresif mendukung kepentingan Israel akan tetap berlangsung.

Sedangkan jika yang terpilih adalah Joe Biden yang pernah menjadi wakil Presiden Obama selama delapan  tahun, maka kebijakan solusi dua negara mungkin yang akan ditempuh. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat